Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Minggu, 27 Juli 2014

Cepat Tepat

Sejak kecil, setiap orang rasanya ingin segera besar. Anak kecil pun seringkali menerima pertanyaan, “Kalo udah gede mau jadi apa?”. Mungkin sang penanya ingin menumbuhkan mimpi di setiap jiwa jiwa muda itu, atau mungkin juga sepenuhnya penasaran apakah cita-cita mereka. Namun apapun tujuan sang penanya, saya yakin mayoritas setiap anak kecil ingin segera tumbuh besar.

Ketika bocah lelaki ingin segera mengendarai motor dan mobil, maka bocah perempuan ingin segera jago masak ataupun menimang anak. Apakah seindah itu meninggalkan masa kecil?

Sialnya, ketika mereka semua beranjak besar dan memasuki fase remaja ataupun dewasa, mereka benar-benar tidak diharapkan untuk me-reka ulang apa yang telah mereka lewati. Sekali saja mengulang masa kecil mereka, maka tak jarang terderang sahutan, “Lo waktu kecil main apa aja deh?” ataupun “Masa kecil lo kurang bahagia, ya?”.

Semua orang gue rasa sudah cukup paham bahwa kedewasaan tidak bisa diukur dengan satuan umur. Apa yang anak kecil mau (dan jawab) ketika mereka masih kecil adalah “menjadi besar”, bukan “menjadi dewasa” mengingat sangat jarang orang bertanya “Kalo udah dewasa nanti mau apa?”. Setuju? Meskipun maksud kata ‘gede’ atau ‘besar’ yang terucap dari para penanya adalah ‘dewasa’, namun kedua hal ini tentunya tidak bisa disamakan. Maka jangan salahkan mereka bila tumbuh hanya menjadi besar dan (kurang) dewasa sesuai umurnya.

Jika merujuk pada arti kata yang tersurat, maka sukseslah seluruh anak kecil itu ketika mereka tumbuh besar dan berhasil mengendarai motor dan mobil, ataupun menimang anak pada waktu dan proses yang salah. Toh itulah harapan mereka secara tersurat. Mereka besar dan tidak seorangpun menjamin kedewasaan dalam diri mereka.


Melihat hal ini, gue jadi makin percaya bahwa setiap pelajar dan mahasiswa berhak untuk lulus di waktu yang tepat, bukan cepat-cepat. Sama perlakuannya dengan alasan para ‘anak besar’ untuk menikah di waktu yang tepat ketika banyak orang menggoda mereka untuk cepat-cepat. Semua (akan) selalu indah pada waktunya.

Minggu, 20 Juli 2014

Darat, Laut, dan Udara

Gue rasa yang namanya hidup itu selalu saja penuh dengan perbedaan, pertentangan, dan juga penerimaan. Setiap orang, termasuk kalian yang lagi membaca tulisan ini, pasti pernah dan akan selalu menemukan perbedaan pada setiap individu, pertentangan pada setiap kelompok, dan juga penerimaan pada setiap pasangan. Boleh jadi, ini adalah hal yang matriks. Boleh jadi, mereka yang berpasang-pasangan, menghadapi pertentangan (bahkan perceraian) dikarenakan perbedaan dan hilangnya penerimaan. Boleh jadi pula, mereka yang bersaudara dan berlandaskan satu kesamaan kemudian memutuskan untuk menjadi berbeda dan memulai pertentangan, seperti yang dilakukan kacang ketika ia melupakan kulitnya.

Semua itu mungkin, dan apa yang membuat itu semua menjadi sebuah kemungkinan ialah kehidupan itu sendiri. Albert Einstein menyimpulkannya dengan sebuah kalimat: Satu-satunya yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri. Sebuah titik perbedaan akan terus mendorong kita kepada dimensi yang berbeda pula, maka jangan remehkan satu jengkal pun perbedaan dan jangan pernah heran bila itu mendorong kalian ke perbedaan sebesar jurang di kemudian hari.

Darat, laut, dan udara. Semuanya fakta. Masing masing diantaranya menganggap satu sama lain adalah alam fana. Manusia, dengan ilmunya berusaha untuk tidak hanya hidup berdampingan di tiga alam berbeda, namun juga hidup di dalamnya, maka terciptalah gantole dan olahraga scuba-diving. Namun tetaplah jelas bahwa perbedaan lingkungan hidup tidak dapat dihilangkan meskipun dengan usaha yang sedemikian rupa.

Seorang teman berpendapat bahwa yang namanya selera itu tidak ada sekolahnya. Kalimat aktif ini benar, dan saya memilih untuk mengucap ulang kalimat tersebut secara pasif: Tapi sekolah tentunya menentukan selera (setiap orang). Maka jelaslah ikan-ikan di akuarium mungkin akan bahagia berenang di tempat yang ‘segitu-gitu aja’ selama ia tidak pernah melihat lautan. Jelas pula bahwa seseorang tidak akan berpikir membeli Gucci bila seumur hidupnya tidak pernah mengerti apa itu Gucci.

Lalu kemudian akan muncul perbedaan, pertentangan, dan (mungkin juga) penerimaan diantara makhluk-makhluk tidak-matriks ini. Manusia darat akan merasa paling hebat dan menceritakan gunung dan hutan ketika berpendapat melawan ikan laut yang mengagung-agungkan luasnya lautan dan kehidupan terumbu karang didalamnya. Segala hal ini tidak akan menemukan titik terang hingga ada keputusan untuk melakukan penerimaan terhadap setiap individu terkait.

Tentunya kalian pernah bersahabat dengan orang yang sombong, dan kalian berusaha untuk mengingatkannya dengan melakukan beberapa aksi dan cara yang berbeda namun tidak berhasil.

Tentunya kalian pernah bersahabat dengan orang yang tidak percaya diri, dan kalian berusaha meningkatkan kepercayaan dirinya dengan beragam trik berbeda namun tidak berhasil

Atau mungkin kalian juga pernah bersahabat dengan orang yang comel, yang kalian tidak begitu suka dengan sifat tersebut dan berusaha mengingatkannya bahwa itu tidaklah bijak, namun tidak berhasil.

Apakah kalian harus berhenti bersahabat dengan mereka-mereka semua, yang jelas berbeda dengan diri anda, dan jika diruntut alasannya maka akan tercipta begitu banyak cerita yang berujung pada perbedaan lingkungan hidup? Gue rasa, jangan.

Jika anda seorang bos besar yang memiliki karyawan yang tidak pintar, maka mungkin mudah untuk memberhentikannya dari pekerjaan. Namun jika anda adalah orang tua yang memiliki anak yang tidak pintar, apakah anda berpikir untuk memberhentikannya (dari sekolah)?

Penerimaan adalah jawabannya. Sulit, namun pasti bisa. Gue pernah berujar pada seorang teman (yang dia sepakati) kira-kira seperti ini: Kadang-kadang kepikiran, daripada selamanya jadi buntut naga, mendingan jadi kepala ayam?


Gimana menurut lo?

Rabu, 09 April 2014

Media Kita

Orang bijak seringkali berkata bahwa gajah mati meninggalkan belang, dan sepantasnya manusia mati meninggalkan tulisan. Pada masa masa terdahulu, sangat dimungkinkan bahwa yang dimaksud dengan tulisan adalah sesuatu yang ditulis oleh individu itu sendiri, namun sekarang gue percaya bahwa yang dimaksud tulisan itu bisa berupa apapun yang tertulis berkaitan dengan dirinya. Ketika Harper Lee meninggalkan novel legendarisnya To Kill A Mockingbird, dan Adam Smith meninggalkan Wealth Of Nations di dunia ini, maka dua buah karya tulis beda jenis ini mampu merefleksikan banyak hal mengenai mereka semasa hidupnya, yang mungkin begitu dicari oleh orang-orang yang hidup di zaman setelahnya, termasuk gue (mungkin).

Namun hari ini semua berubah sedemikian rupa. Teknologi lagi lagi menjadi jawabannya. Media menjadi binatang buas di alam nyata, ketika jeruji tidak lagi sama, sehingga kebun binatang pun adalah hal yang fana. Layar kaca menampilkan kita beragam suka dan duka ketika kertas koran bertuliskan berita kesenangan dan juga kesengsaraan. Semua menjadi begitu biasa, tak terkecuali fitnah dan alih kata.

Sebenarnya apapun bahasa dan apapun yang tertulis di luar sana, semua akan menjadi sah-sah saja karena tulisan menjadi salah satu karya seni manusia. Tidak semua orang suka menulis dan lo bisa tanya sama orang terdekat lo, apakah dia suka menulis atau tidak. Gue juga gak bilang bahwa menulis adalah hal yang sakral, sulit, atau anti-mainstream, karena setiap orang berhak memilih apakah dia mau menulis atau tidak.

Yang menjadi masalah hari ini ialah, apakah segala yang tertulis itu adalah benar? Plagiarisme menjadi objek yang paling sensitif dalam setiap jenis karya seni manusia. Namun menulis sebuah fakta (menurut saya) telah menjelma menjadi problema di setiap manusia hari ini. Percayakah Anda?

Bagi gue yang suka menulis, gue menyarankan kalian semua, para pembaca, untuk tidak mempercayai seluruh hal dari apa yang kalian baca. Tulisan terkadang fana, hiperbola, bahkan anti-fakta. Seluruh tulisan harus kalian baca, namun tidak seluruh tulisan harus kalian cerna. Dulu pernah ada senior gue berkata bahwa dalam berteman, lo harus coba berteman dari yang ‘sajadah’ hingga ‘haram jadah’. Gue pikir hal ini juga berlaku dalam membaca. Bacalah dari yang ‘sajadah’ hingga ‘haram jadah’, maka selanjutnya lo bisa memilih apa yang menarik perhatian lo untuk dibaca.

Membaca tulisan juga mempengaruhi pola pikir manusia, terutama generasi instan. Gen Y, yang katanya adalah generasi saya (yang mencerminkan kehidupan instan dan anti-loyalitas), adalah generasi yang akrab dengan quotes-quotes orang terkenal, tokoh-tokoh besar Gen X, dan sering menumpahkannya dalam jejaring sosial. Sebutlah Path atau Tumblr, hingga orang tersebut mengakhiri hari nya dengan “Anjir ini gue banget”, atau mungkin “Gila sumpah gue pernah giniiii”.

Semua yang beredar disana itu kan sebenarnya adalah ‘katanya’, dan hanya sekedar ‘katanya’, tanpa ada bukti jelas yang berbicara. Gue gak bilang seluruhnya, tapi sebagian besar demikian adanya. Dimana kalian baca quotes-quotes terkenal? Share gambar dari jejaring sosial? Seberapa banyak yang mengecek ulang kebenarannya? Bukankah lo semua juga tau bahwa sebegitu mudahnya melakukan edit foto hari ini?

Bahkan beberapa kali gue mendapatkan fakta bahwa ada aja orang yang memajang foto orang lain sebagai foto dirinya dengan menyamarkan muka ‘orang di foto tersebut’ dengan gambar muka kucing. Crazy world.

Gue tidak mengajak kalian untuk tidak percaya, tapi hanya mengingatkan bahwa segala kata-kata yang ada diluar sana itu tentunya gak seluruhnya benar. Sir Alex Ferguson dalam autobiografinya menjelaskan bahwa media seringkali merangkai ulang kata-katanya ketika press conference menjadi menarik untuk headline, namun membuyarkan arti inti dari kalimatnya. Karena gue telah menakut-nakuti lo semua terhadap validitas tulisan, untuk yang ini silahkan cek di bab XX.

Masih mau gampang percaya?


Kamis, 27 Maret 2014

Terserah Bapak Saja...

Seminggu terakhir ini gue selalu mendengarkan satu channel radio yang sama setiap harinya, terutama di jam-jam hectic dalam hidup gue. Kisaran jam 5-7 dan 17-20, gue setiaaaaaa banget sama salah satu radio yang kalo pagi dihebohkan dengan ocehan Farhan dan Asri. Gue rasa, gue kurang banyak selera dalam memilih channel radio, karena pilihan gue sebenernya ‘itu itu aja’, sampe akhirnya gue seminggu ini gak tergoda untuk mengutak atik radio mobil.

Selama gue dengerin seluruh bagian dan ocehan yang keluar dari radio itu, termasuk lagu-lagu terbaiknya, gue hampir tidak menemukan bagian yang menjadi ciri khas dari siaran radio itu. Terkecuali pagi, sih. Soalnya tiap pagi tentunya pembawa acara radio kan berbeda-beda. Yaaa, well, tetep aja itu bukan sebuah ciri khas sih bagi gue, dan gue juga gak butuh ciri khas. Yang penting enak, gue denger.

Sore ini sesuatu terjadi. Ada sebuah ocehan jokes baru yang belum pernah gue denger sebelumnya selama berminggu-minggu dari radio ini. Kira-kira begini ceritanya:

Pada suatu hari, terdapat sepasang pemuda bukan homo yang hendak mengabdi untuk negaranya. Mereka berdua berjuang melalui jalur interview agar mampu berkontribusi bagi nusa dan bangsa. Sampe nya barengan, dan mereka bertemu seorang lagi disana. Lima menit kemudian orang pertama dipanggil masuk ke interview.

“Mas, seratus tambah seratus berapa?” kata yang nanya.

“Dua ratus, Om!” jawab orang pertama.

“Yyyyyaaaaaa, maaf mas gak diterima. Kalo gini caranya, Mas bisa korupsi!” jawab yang nanya dengan lantang dan menggema.

Keluar deh orang pertama, lalu orang kedua masuk bergantian.

“Siapa bro nama lo?” kata yang nanya.

“Karmin, Om. Saya keterima gak jadinya?” jawab orang kedua.

“Ooooh bentar-bentar. Seratus tambah seratus berapa ya bro?”

“Seratus lima puluh, Om! Keterima gak nih??” kata orang kedua yang mulai penasaran.

“Gagal. Keluar lu. Yang kaya lu nih bro, ini bisa me-ru-gi-kan negara, tau ga?”

Maka banting pintu lah si orang kedua ini, sehingga masuklah yang ketiga.

“Pak, saya mau interview, Pak, hehe, pertanyaannya apa ya, Pak?” kata orang ketiga yang kayaknya agak kampungan.

“Seratus tambah seratus berapa cepet jawab!”

“Ooohhh, kalo yang begitu sih saya sih gimana bapak aja pak, saya ngikut pak berapa aja saya tetap oke! Hehe” jawabnya dengan cengengesan.

“Nnnnaaahhhh, ini yang saya cari. Pas nih kamu buat negara. Mantap jaya! Hahahaha minggu depan langsung masuk ya!” jawab sang penanya dengan sumringah.

Maka diterimalah orang ketiga, yang tidak salah namun tidak mampu menjawab dengan benar dalam interview.

Gue agak terkesima sedetik-dua detik setelah denger cerita dialog diatas dari radio. Mungkin disini kurang lucu, tapi di radio itu sumpah lucu. Dan bukan karena hal lucu nya yang membuat gue terkesima, tapi intisari dari percakapan itu sendiri.

Apa bener para pejabat negara sekarang tidak butuh orang yang benar, melainkan yang ikut-ikut saja agar sang pejabat terus diatas dan memperluas kekuasaannya? Apakah politik sekarang begitu polos untuk meneruskan sebuah dinasti? Gue pikir sih dimana-mana pasti begitu. Kolusi adalah praktik yang seringkali terjadi, terutama dalam hubungan keluarga. Namun bila kolusi tersebut berubah jadi konspirasi yang tidak akan mampu menghasilkan sesuatu yang signifikan, apakah boleh ditolerir?

Seringkali gue denger kalo di Indonesia jangan jadi orang yang pinter-pinter amat, nanti digulingkan macam Habibie. Seringkali juga gue denger jangan jadi orang yang terlalu jauh cari ilmu, nanti cuma jadi pengangguran bergelar Phd. Dan seringkali pula saya mendengar bahwa kesuksesan itu berasal dari asas melayani dan jilat muka sana-sini.

Sayangnya, di dialog diatas tidak menceritakan momen dimana seseorang yang memiliki jawaban benar mampu dikalahkan oleh seseorang yang ‘tidak mampu menjawab’. Dialog diatas hanya menggambarkan bahwa orang yang mentalnya ngikut, melayani, dan tidak mampu menjawab adalah orang yang berhasil. Dalam kacamata gue, seharusnya tidak seorangpun diterima karena jelas pertanyaan mudah itu tidak ada yang berhasil jawab. Tapi pria muda yang manut dan bermental ngikut itu, ditambah modal cengengesan tebar senyum pesona, mengalahkan pesaing lainnya.

Apakah seperti itu politik kita? Apakah perlu mengorbankan intelektual dan/atau memilih untuk tidak mengutamakan kemampuan, tapi mendahulukan muka dan mental pelayan? Adanya seorang warga negara kita yang mampu bercerita seperti itu membuat gue berpikir, “Apakah bener ada orang yang berpikir sesempit itu, ya?”


Tentunya pemimpin bukanlah seorang bermental pelayan, tapi seorang yang mampu bertindak benar dan mampu melayani.

Sabtu, 22 Maret 2014

Ekspektasi

Pernah denger lagu Khalayan Tingkat Tinggi? Lagu yang populer dengan suara Ariel, vokalis Peterpan, ini sedikit banyak bercerita mengenai apa yang dinamakan dengan mimpi dan harapan. Dalam liriknya yang bisa lo semua cek di google, tersurat seluruh harapan sang penyanyi terhadap seorang gadis idaman.

Tidak jauh dari itu, rasanya hampir semua lagu jaman sekarang seringkali bercerita mengenai cinta, sampai-sampai Cholil dari Efek Rumah Kaca mungkin bosen dan terinspirasi menciptakan Lagu Cinta Melulu. Gue rasa semua cinta itu berasal dari harapan yang terkadang terlihat fana namun bisa jadi benar adanya

Dari kacamata gue, gue merasa sebenarnya seluruh hidup kita itu berawal dari harapan. Hal Lindsey berujar, "Man can survive 40 days without food, 3 days without water, 8 minutes without breathing, but only a sec without hope". Harapan selalu menjadi kunci dari segalanya, karena tampa adanya harapan memperoleh makanan, air, ataupun bernafas, segalanya menjadi sia-sia saja.

Terus apa sih yang dimaksud dengan harapan? Harapan bagi gue sudah sewajarnya memperlihatkan keinginan dan kegigihan untuk mencapai kehendak yang ingin dilakukan. Harapan juga sepantasnya menciptakan kemampuan dan mengakali segala permasalahan menjadi sebuah proses penyelesaian. Harapan bukanlah sesuatu yang independen, melainkan kontrol. Harapan harus diciptakan, kecuali lo melawan Tuhan.

Seminggu terakhir ini ada sebuah pertanyaan terlempar dari mulut pengisi materi training di kantor. Beliau berujar, "Apa sih yang menggerakkan harga pasar (saham)?". Maka beberapa saat kemudian terlempar pula beragam jawaban, dan jawaban paling tepat ialah 'ekspektasi'. Orang yang menggerakan harga. Tepatnya jutaan orang pemain saham lah yang menggerakannya. Sesuai dengan cara berpikir seorang ekonom, penawaran dan permintaan lah yang akan mempengaruhi harga suatu komoditi. Pengisi materi pun menambahkan bahwa banyak jawaban yang mampu menjelaskan perubahan harga saham, namun kata 'ekspektasi' menjadi yang terbaik. Idem bagi gue.

Lucunya, dalam kehidupan seringkali orang berpikir bahwa ekspektasi itu menyakitkan. Dalam tulisan gue sebelumnya, jauh sebelum posting ini, gue pernah membahas apa yang sebut batas atas dan batas bawah sebuah ekspektasi. Mungkin ada baiknya gue ulang sekali lagi. Bandingkan:

"Bercita-citalah setinggi langit, sehingga jika gagal, maka Anda mendapatkan awan"

"Bercita-citalah setinggi langit-langit, sehingga Anda pasti mampu meraihnya"

Kalimat pertama memiliki ekspektasi tinggi, namun tersirat bahwa keyakinannya adalah hanya mencapai awan. Sedangkan kalimat kedua memiliki ekspektasi rendah, namun amat sangat yakin bahwa ekspektasi tersebut mampu (dan pasti mampu) diraih.

Bagi gue, segala ekspektasi harus diciptakan, dan tidaklah bijak jika mengungkapkan ekspektasi dengan keyakinan tidak mampu memperolehnya. Walau pada akhirnya kita semua harus berserah diri pada Tuhan YME, yang mutlak menentukan pencapaian lo semua, tapi tidak bijak kan jika berujar tanpa keyakinan?

Kasarnya, apa bedanya dengan menipu diri lo sendiri? Gue juga merasa motivasi tidak dilahirkan dengan kata-kata dari diri sendiri, tapi dari ketakutan akan kegagalan.

"Aduh, gue takut nih kalo gak lulus" atau "Kalo gak lulus gimana ye?" gue rasa adalah bagian dari cara setiap pribadi (salah satunya gue) untuk memotivasi diri sendiri. Bukankah setiap kehidupan yang hidup pasti memiliki tantangan? Bukankah hampir semua orang mengatakan bahwa kesuksesan tidak akan berasal dari comfort zone, dan membutuhkan usaha untuk mampu keluar dari sana?

Banyak orang bijak berujar bahwa yang berhasil itu adalah orang yang berfokus diri pada kelebihan, bukanlah kekurangan. Setuju, tapi lebih setuju lagi dengan, "Orang yang berhasil itu adalah orang yang berfokus diri pada tantangan, berekspektasi menyelesaikan tantangan tersebut, dan selesai."

Semoga semua mampu berkhayal tingkat tinggi, dan meraihnya. Amin

Senin, 17 Maret 2014

4.15

Pada dasarnya, hidup gue tiga minggu terakhir ini dimulai pada pukul 4.15. Alarm ponsel berbunyi, maka waktunya untuk segera pergi mandi. Pagi sekali, tapi yaaaaa mau apa lagi. Kereta menanti, busway siap untuk kunaiki. Selamat pagi, Jakarta.

Tapi suer deh di waktu yang amat sangat pagi sekali ini, gue rasa gue mulai lebih menghargai waktu per menitnya. Bagi kalian yang mungkin sudah terbiasa untuk menggunakan Commuter Line Jabodetabek, terutama dari Bogor, maka pasti ngerti deh apa arti telat satu menit untuk satu kursi demi satu jam sauna.

Hal yang paling menarik dalam hidup gue tiga minggu terakhir ini adalah kemampuan gue untuk melihat lebih jauh sisi kemanusiaan para rombongan kerja. Gue mulai banyak mengetahui seberapa pentingnya kereta bagi mereka semua. Seberapa rela nya mereka berdesakan untuk pekerjaan. Seberapa capek nya seorang ibu tergopoh turun angkot mengejar kereta. Juga seberapa tangguhnya mereka-mereka yang mengurusi perjalanan kereta setiap harinya.

Hari pertama, gue cuma melihat kucuran keringat. Hari kedua, gue cuma melihat ibu-ibu sok lugu memohon kursi pada pria gagah di ujung gerbong kereta. Hari ketiga, gue mulai muak dan merasa kereta bagaikan neraka. Namun hari keempat, gue melihat kehidupan ini semua jauh lebih dalam dari sekedar yang saya lihat.

Pernah nonton "I Don't Know How She Does It"? Film ini menceritakan kehidupan seorang istri, ibu, dan wanita karir yang sukses  namun cukup kesulitan mengatur waktunya karena begitu dibutuhkannya ia dalam setiap detik kehidupan suami, anak, serta bos nya. Sarah Jessica Parker memerankan tokoh utama dengan luar biasa dalam film ini, dan bila ada film seperti itu, maka gue percaya pasti amat sangat banyak orang diluar sana yang memiliki hidup serupa.

Tentunya ibu-ibu yang tergopoh-gopoh turun angkot dan berlari mengejar kereta setiap harinya adalah ibu-ibu yang (sebagian besar) memiliki keluarga. Jika dia jam 5.00 sudah di stasiun, jam berapa ia meninggalkan rumah, keluarga, dan anak-anaknya? Akan amat sangat luar biasa bila ia membereskan semua pekerjaannya sebagai seorang istri dan ibu tepat waktu sebelum berlari ke stasiun kereta. Lalu juga bapak-bapak kaya dengan pangkat tinggi yang masih saja rela berdesakan di kereta sauna untuk menafkahi keluarganya. Bukan tidak mampu bayar transportasi lain, tapi macet di jalanan Jakarta amat sulit untuk di prediksi. Kereta sauna, baginya (dan bagi saya juga), memang terasa neraka namun lebih mudah untuk ditakar waktunya.

Dan semua perjuangan mereka ini belum gue jelaskan dengan adu otot ketika turun kereta nantinya. Sejauh ini, penumpang kereta memang belum banyak mengerti apa definisi dari kata 'antre', walau gue merasa alhamdulillah bila penumpang busway TransJ tidak se-beringas KRL.

Entah kenapa, gue merasa senang aja memperhatikan para penumpang kereta setiap perjalanan pulang dan pergi kantor. Melihat begitu banyak orang berbeda, dengan tujuan naik kereta yang mungkin serupa dengan gue, namun pasti raut muka mereka menggambarkan seperti apa hari yang telah mereka lalui.

Dan menyenangkan bila melihat orang begitu bersemangat turun kereta dan hendak pulang menuju keluarganya. Sedikit sisi humanis ini menggambarkan sungguh banyak rasa sayang mereka terhadap yang menunggu di rumah. Semoga kedepannya Jabodetabek dapat merasakan kualitas perjalanan kereta yang lebih baik lagi, mengingat ribuan orang baik rela mengantre dan menggunakan jasanya.

Selasa, 25 Februari 2014

Aura Gaib

Gue selalu percaya kalo kepercayaan itu sesuatu yang gak bisa lo buat dalam semalem. Kepercayaan itu dilahirkan. Bagi saya, kepercayaan, sesuatu yang muncul dari sebuah proses, adalah ukuran dari harga sebuah pribadi di mata masyarakat. Dengan kepercayaan, beragam hal dapat terlihat lebih nyata  dan terprediksi mendekati pengharapan yang ada.

Kayaknya udah berulang kali dalam beragam tulisan gue menjelaskan apa definisi kepercayaan tersebut bagi gue pribadi. Berulang kali juga gue menjelaskan bahwa kepercayaan itu diawali dengan 'hamil' dan 'melahirkan'. Yang jadi pertanyaan gue saat ini, seberapa jelas blue-print dari sebuah definisi 'hamil' dan 'melahirkan' kepercayaan tersebut? Apakah semua kepercayaan berasal dari kandungan yang serupa dan dilahirkan melalui media yang sama?

Agak sukar gue menjelaskan ini karena pada dasarnya gue melihat bahwa penilaian sebuah kepercayaan itu bermacam-macam. Gue punya teman dengan tipikal orang yang gampang percaya, yang juga berarti gampang ditipu. Ada pula orang yang susah percaya dan merasa tidak begitu yakin bila belum melihat dan mengerti sepenuhnya, contohnya bokap gue. Pendekatan kedua macam orang itu berbeda pula. Yang pertama lebih menghargai pertemanan dan jiwa sosial, sedangkan yang kedua lebih logis, teknis, dan well-planned.

Dari dua macam manusia yang berbeda cara memandang arti dari sebuah kepercayaan, kepercayaan tetap hadir dalam kehidupan mereka. Maka jelaslah proses 'hamil' nya berbeda karena cara pandang yang berbeda pula. Ketika salah satu hanya perlu berkata, "Eh gue nitip mobil ya di rumah lo? Sabi kan?", dengan asumsi dia sendiri belum pernah datang melihat garasi dan tingkat keamanan rumah tersebut, ketika orang yang lainnya harus, "Bro, lo di rumah ga ntar sore? Gue main dong. Ada rencana mau nitip mobil nih di rumah lo kalo aman. Boleh ga?"

Hal yang menurut gue menarik adalah, gue percaya bahwa hal yang paling jujur yang menentukan kepercayaan sebuah kepercayaan adalah aura.

Gue sendiri gak begitu paham apa sih arti dari sebuah aura manusia. Ada yang menjelaskan bahwa aura adalah energi positif yang terpancang dari dalam diri. Selain itu juga banyak rumor bila aura tuh banyak macam warnanya, dan melambangkan kepribadian setiap manusia. Bukannya gue gak percaya, tapi gue gak bisa liat warna apapun jadinya gak bisa yakin juga terhadap warna-warna tersebut.

Namun walau gue gak begitu mendalami pengertian dari aura tersebut, gue tetap percaya bahwa aura itu ada, aura itu terpancar dari dalam diri manusia, dan aura mampu menentukan kepercayaan orang lain terhadap diri kita. Kenapa? Karena bagi gue, aura itu dibentuk oleh perjalanan waktu.

Beberapa waktu yang lalu alhamdulillah gue diterima untuk bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang saham. Melalui penelusuran yang gue lakukan di berbagai media, perusahaan ini adalah nomor wahid di seantero Indonesia. Gue percaya, dan jika kalian bertanya sama gue apakah gue udah pernah kesana atau belom pada saat memutuskan untuk percaya, maka jawabannya adalah, "Belom. Bahkan punya kenalan disana aja kaga".

Mungkin itu cukup simpel karena melihat dari sisi gue, pencari kerja, yang sebenarnya memang tidak mencari-cari alasan untuk tidak percaya pada perusahaan. Tapi gimana kalo dilihat dari sisi mereka, si perusahaan?

Dalam perjalanan proses seleksi, gue melalui beragam tahapan termasuk psikotes dan beberapa wawancara. Yang menarik, sebagai fresh-graduate yang ijazahnya belom jadi, mereka tetap percaya gue adalah fresh-graduate, tanpa sedikitpun berkas asli kelulusan yang gue tunjukan, contohnya surat tanda lulus. Satu-satunya hal yang gue perlihatkan adalah CV dan fotokopi KTP.

Aura. Ya, gue pikir mungkin selama ini tidak pernah ada yang mencoba menipu mereka, dan gue pun gak nipu karena emang udah lulus, tapi aura yang menjawab itu semua. Apa yang mereka cari tentunya adalah kandidat terbaik untuk perusahaan tersebut. Bagi gue, definisi terbaik juga termasuk dalam proses 'mampu memberi lebih banyak dari apa yang perusahaan beri'. Mereka harus mengetahui seluk beluk orang tersebut sebelum menerimanya karena mereka akan berinvestasi sumber daya manusia.

Dan proses melihat potensi investasi tersebut tergambarkan dari rangkaian seleksi yang dijalani, utamanya wawancara. Maka ketika gue diterima, pertanyaan gue terletak pada, "Apa ya yang membuat gue diterima?". Bukannya gimana gimana, tapi proses wawancara terkadang proses yang cukup gaib untuk diramalkan.

Contohnya, sebagian pihak pernah menjelaskan pada saya bahwa kadang terlalu ambisius itu buruk, seperti bila menjelaskan bercita-cita menjadi direktur di perusahaan tersebut bila diterima. Nyatanya, selalu ada juga cerita teman diterima dengan menjawab seperti itu, walau tentunya ada juga yang tidak.

Contoh lainnya, sebagian pihak berusaha keras menampilkan yang terbaik dalam proses wawancara dan mengikuti segala yang diminta oleh pewawancara, termasuk menunjukan kemampuan berbahasa asing. Banyak dari kalian tentu berpikir bahwa bila tidak mampu menunjukan dengan baik, maka logisnya itu sudah menjadi nilai buruk dari wawancara kalian. Nyatanya, gue punya teman yang menawar, "Boleh dengan bahasa saja, Pak?" dalam proses wawancara ketika diminta untuk berbahasa Inggris, dan diterima.

Gaib, dan gue pikir Aura lah yang menjawab semua itu (dan tentunya doa).


Kamis, 20 Februari 2014

Ikan-Ikan Politik

Sejujurnya, saya bukanlah orang yang banyak mengerti seluk beluk politik Indonesia. Bagi saya, politik seringkali terlihat baik dan seringkali pula terlihat buruk. Prestasi politik di mata saya ini agaknya mudah untuk dibayangkan sebagai grafik yang sangat fluktuatif: Senin baik, Selasa hancur. Sebagai bagian dari pemuda non-partai, masyarakat sipil, mahasiswa ekonomi, dan calon pemilih pada Pemilu 2014, kebanyakan pengetahuan politik saya peroleh dari berita-berita yang beredar di media massa.

Tidak pernah rasanya saya tertarik bicara panjang soal politik karena saya selalu lebih tertarik berbicara soal pemikiran-pemikiran manusia dalam hidupnya. Kali ini, saya pikir sebuah keputusan politik telah mengecewakan saya sebagai penduduk Indonesia.

Berita #SaveRisma santer beredar di masyarakat hampir dua minggu terakhir ini. Semua pihak, dari kacamata saya melalui pemberitaan media massa, menyayangkan rencana pengunduran diri salah satu pemimpin terbaik pilihan Tempo 2013 ini. Dari yang saya coba telaah, beliau tampaknya telah bersiap diri untuk mundur dari kursinya terkait sederet isu politik yang menerpa kewajiban, hak, dan juga pribadinya.

Dari sisi kewajiban, beliau tampaknya memperoleh tekanan begitu kuat atas penolakan proyek pembangunan tol di Surabaya. Menurut Risma, proyek tol, yang telah 'gol' oleh walikota sebelumnya, tidak tampak cukup baik untuk mengentaskan permasalahan lalu lintas Surabaya. Dalam beberapa kesempatan, beliau tampak gigih untuk lebih memprioritaskan proyek trem yang direncanakan berjalan tahun ini. Agaknya, permasalahan ini juga pernah terjadi di Bandung, ketika gerakan #SaveBabakanSiliwangi akhirnya berhasil mencapai tujuannya melalui Ridwan Kamil.

Saya berpikir bahwa jelaslah setiap pemimpin memiliki cara tersendiri untuk memimpin kalangannya, baik itu skala kecil maupun besar. Kewajiban dalam pekerjaan politik seringkali terlihat 'di-sampah-in', salah satunya adalah proyek jalan tol ini. Seharusnya, tidak perlu ada polemik panjang lebar mengenai ini, karena pembangunan dijadwalkan untuk berjalan ketika Surabaya dipimpin oleh Risma, yang menolak. Apakah Risma harus dengan terpaksa meng-iya-kan dan pasrah atas jalannya proyek yang disetujui oleh pendahulunya? Ingat mental kita: Jika berhasil, semua ingat walikota yang lama. Jika gagal, salahkan yang sekarang.

Dari sisi hak dan pribadinya pun Risma tampak terganggu melalui ancaman pembunuhan hingga 'dikadali' oleh 'banteng' perihal pencalonan wakil walikota, yang akan berpasangan dengan Risma.

Atas dasar beberapa hal diatas, mungkin Risma akan memilih untuk mundur. Mundur ketika kewajiban, hak, dan pribadinya terganggu, setelah beliau sendiri mempertaruhkan tiga aspek tersebut demi kepentingan masyarakat. Saya rasa tidak perlu kita berbicara sebesar apa effort dan prestasi beliau selama hampir empat tahun terakhir ini karena seluruh informasi tersebar di media massa.

Namun, bicara mundur, tokoh penting lainnya yang terakhir mundur dari tanggung jawabnya adalah seorang menteri. Gita Wirjawan namanya, Menteri Perdagangan pos nya, Konvensi alasannya. Saya rasa semua juga telah mengetahui polemik ini, yang berisikan pro dan kontra, karena sudah berlalu cukup lama. Namun adakah diantara anda yang bisa memberikan saya alasan logis atas pengunduran dirinya?

Gita berkata bahwa alasan pengunduran dirinya adalah konvensi Partai Demokrat, dengan tujuan akhir memenangkan Pemilu 2014 (Sumber: http://www.merdeka.com/politik/5-cibiran-pada-gita-wirjawan-mundur-gara-gara-konvensi-demokrat.html). Dalam kesempatan lain, beliau juga berkata bahwa 'Saya mundur karena mampu memenangkan konvensi' (Sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/02/05/n0iw68-gita-wirjawan-saya-mundur-karena-mampu-menangkan-konvensi).

Terlepas dari keputusannya yang merupakan hak dari setiap individu, pos yang ditinggalkannya adalah pos sentral pembangunan negara ini, dan berada dalam posisi kritis. Kementerian Perdagangan merupakan kunci utama dari penerapan kebijakan pemerintah mengenai pemenuhan kebutuhan, terutama kebutuhan dalam negeri menyangkut sandang dan pangan. Logika saya berbicara: Kalau Anda bisa membenahi masalah ini sekarang, semua akan memandang dan semua tidak akan ragu atas potensi anda dalam memenangkan konvensi.

Keputusan mundur merupakan keputusan mental teri dari seorang politisi berjabatan menteri. Apakah kewajiban, hak, dan pribadinya telah terganggu sebagamana yang terjadi pada Risma? Menurut pemberitaan media massa, saya pikir tidak. Saya juga tidak meragukan pekerjaan beliau, dan saya yakin beliau selama ini menjalankan kewajiban-kewajibannya. Namun hal ini akan berujung pada satu pertanyaan: Berhasil gak?

Mungkin pertanyaan 'Berhasil gak?' itu terkesan sangat simpel, instan, dan tidak mempertimbangkan proses di balik layar. Jelek dan saya bukanlah orang yang pro terhadap kebijakan instan. Tapi bila ada sebagian orang yang berkata instan adalah buruk, bukankah kebijakan impor demi pemenuhan kebutuhan dalam negeri selama ini adalah instan?

Mundur selalu menjadi jalan terakhir yang harus ditempuh, bila memang benar-benar harus ditempuh. Selalu ada akhir dari setiap perjalanan, namun memilih untuk mengakhiri dengan self-intention selalu tampak tidak baik bagi saya.

Melihat kejadian-kejadian politik seperti ini, tampaknya kita semua dapat melihat beberapa sendi pemikiran masyarakat dalam memandang hidup. Penolakan terhadap pengunduran diri Risma tentunya bukan tanpa alasan: Beliau berhasil. Supply creates its own demand. Risma menawarkan banyak hal di masa depan setelah berhasil di masa kini, dan itu menciptakan gelombang permintaan masyarakat yang berjerit, "Bu, jangan mundur, KBS jadi kuburan kalau ibu mundur!".

Salah satu bagian favorit saya dalam perkuliahan adalah diagungkannya mahasiswa ilmu ekonomi sebagai 'peramal masa depan' dengan apa yang sering disebut forecasting. Ekonomi menjelaskan bahwa high-risk, high-return adalah hal yang sewajarnya terjadi, dan ini pun berlaku dari sisi sumber daya manusia. Semakin tinggi tanggung jawab seseorang, maka semakin besar pula dua hal yang terkait padanya: keberhasilan dan kegagalan.

Di sisi lain juga terlihat pihak-pihak yang merasa alasan pengunduran diri Gita adalah hal yang dapat dimaklumi dan tidak. Sebagian yang maklum mungkin tidak melihat masa depan berdasarkan masa kini, dan sebagain yang tidak maklum mungkin melihat masa depan berdasarkan masa kini. Untuk kasus ini, mari kita lihat apakah menteri yang pede ini mampu memenangkan konvensi atau tidak, karena otak politik sempit saya sekali lagi ingin berteriak: Kalo lo gagal (lagi), terus apa konsekuensi dari status eks-Menteri Perdagangan anda, yang akan dibawa hingga akhir hayat nanti?

Masa depan, tetaplah di depan dan teruslah tergantung di depan, karena jika sekarang adalah masa depan, maka apa lagi yang harus diperjuangkan?

Kamis, 13 Februari 2014

Mati Suri, Hidup Lagi

Kehidupan yang hidup ialah kehidupan yang menghidupkan

Saya selalu percaya bahwa kehidupan yang hidup ialah kehidupan yang menghidupkan. Apapun itu, tak terkecuali diri Anda sendiri. Kehidupan yang menghidupkan ialah kehidupan yang tidak melulu bicara tentang bagaimana Anda hidup, bagaimana Anda menjalani hari-hari Anda, dan bagaimana Anda beranjak tua. Kehidupan yang hidup, menurut saya, sudah seharusnya dapat membawa kehidupan bagi setiap hal yang terkait dengan Anda yang hidup dan menjalani kehidupan ini.

Merujuk pada shared-link dalam akun Facebook salah satu dosen favorit saya, ada sebuah satir menyentuh karya Seno Gumira Ajidarma:

Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin yang hanya akan berakhir dengan pensiun yang tidak seberapa.

Sebuah kalimat suram yang dituangkan penulisnya dalam karya yang berjudul Menjadi Tua di Jakarta ini, dalam kacamata saya, telah "mematikan kehidupan yang seharusnya hidup". Kasarnya, secara hiperbolis diwakili dengan "memilih kematian dalam hidup". Tentu selalu ada pro dan kontra dari setiap karya dan mahakarya di dunia ini, mengingat itu adalah sifat dasar manusia yang secara alamiah mencintai adanya perbedaan. Sebagian dari kalian mungkin terpesona dengan satir diatas, dimana sebagian lagi mencibir sembari ngedumel, "Kayak udah pernah pensiun aja!".

Apapun itu, saya pribadi telah merasakan bahwa kehidupan yang tidak menghidupkan sesuatu terasa sia-sia, dan bahkan sangat mungkin lupa untuk merasa hidup kembali.

Persoalan pertama saya menulis tulisan ini ialah ketika saya menyadari bahwa saya sudah amat sangat meninggalkan dunia ketik-mengetik di blog ini, dengan terlalu asyik menyelesaikan tulisan-tulisan lain yang sifatnya kewajiban: tugas, skripsi, presentasi, dan lainnya. Tetek bengek itu mungkin cukup mewakili sepenggal satir diatas untuk refleksi dari kata-kata "tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat" dan "kehidupan seperti mesin". Saya merasa sudah tidak lagi hidup dalam dunia ini, dan cukup kesulitan untuk memulainya kembali.

Empat tahun terakhir, selama masa perkuliahan, saya memang merasa cukup sulit meluangkan waktu pribadi dan berjam-jam duduk di depan laptop, meluangkan waktu untuk mengetik apapun yang tersirat. Saya merasa telah tumbuh menjadi pribadi yang lebih banyak membaca dari sebelumnya, dan juga lebih sering menceritakan segalanya kepada mereka-mereka yang ada dalam kehidupan saya, dan melupakan gairah untuk menumpahkannya dalam tulisan.

Saya rasa saya telah mematikan salah satu kehidupan saya dengan tidak menghidupkan dunia tulisan, dan kesulitan untuk memulainya kembali karena tidak banyak hal yang belum saya tumpahkan di melalui ketukan jemari di keyboard ini, hingga saya benar-benar memaksakan diri untuk menulis dengan menceritakan kesulitan saya dalam menulis ini.

No one ever takes a picture of something they want to forget

Quote diatas, yang saya temukan dari akun instagram seorang sahabat (dan ternyata berasal dari sebuah film), saya pikir juga berlaku bagi setiap sisi kehidupan dan hobi manusia. Sebagai seorang yang seringkali mengaku hobi menulis, saya ingin meninggalkan kesan dari setiap tulisan. Lebih jauh, saya ingin mampu mengingat segala sesuatu yang pernah saya rasakan dengan membaca ulang setiap tulisan.

Menulis telah menjadi emosi pribadi, dan sudah seharusnya hal itu terjadi bagi setiap hobi yang Anda miliki. Seluruh harapan dan keinginan ada di sana,dan harus selalu dihidupkan selama Anda bisa, karena sekali mati, cukup sulit untuk hidup kembali.