Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Jumat, 13 Juli 2012

Leher Botol


Bumi, planet yang konon berumur sekitar 4,5 miliar tahun, adalah planet yang menjadi dunia para manusia. Makhluk yang menempati planet ini karena sebuah dosa ini adalah makhluk yang tergolong dalam kategori paling sempurna. Akal dan hati menjadi titik keunggulan absolut manusia terhadap spesifikasi makhluk ciptaan Tuhan lainnya, tentunya yang hingga sekarang ini telah ditemukan.

Meskipun banyak ilmuwan meragukan bahwa bumi adalah satu-satunya planet yang menjadi dunia kehidupan, dan lubuk hati saya yang memiliki keyakinan jika banyak kehidupan di luar sana, hingga saat ini belum ada publikasi global yang menyatakan bahwa 'dunia lebih besar dari sekedar bumi'. Bahkan setelah 43 tahun Neil Armstrong mencicipi berjalan di atas bulan, dengan jutaan orang menonton secara langsung dari televisi, masih ada jutaan orang yang meragukan kebenarannya.

Apa yang hingga sekarang manusia bicarakan tetaplah terlalu jauh dari kenyataan. Seiring percobaan dan penelitian mengenai kebenaran atas pertanyaan "Adakah planet lain yang mampu dihuni oleh manusia?", alangkah baiknya manusia tetap pada trek pemikiran yang realistis dengan mengasumsikan bahwa 'bumi adalah dunia manusia'.

Sewajarnya manusia ingin tinggal pada lingkungan yang nyaman. Sehat menjadi kunci utama kehidupan, karena kesakitan hanya berujung pada penderitaan. Ketika bersih pangkal sehat, maka sudah seharusnya manusia sadar bahwa bumi nya mereka ini tidaklah sehat karena tidak lah lagi bersih.

Cukupkah itu alasannya? Tidak. Dalam bukunya yang berjudul Hot, Flat, and Crowded, Thomas L. Friedman menjelaskan bahwa bumi telah terlalu panas, terlalu rata, dan terlalu penuh sesak. Seperti kata pepatah, segala sesuatu yang 'terlalu' tidak akan pernah menjadi baik. Dari sudut pandang ekonomi pun, yang berusaha memaksimalkan profit, equilibrium lah yang dicari. Apapun, 'terlalu' tetaplah 'terlalu', tidak akan pernah imbang dan menghasilkan keseimbangan.

Banyak faktor masalah yang mampu menjelaskan mengapa tiga hal tersebut terjadi, namun singkatnya semua mengerucut pada satu jawaban pasti: The world already over-populated.

Badan Pendudukan PBB menyatakan bahwa tahun ini akan ada sekitar 7 miliar kepala manusia yang hidup dalam hari yang sama. Pertumbuhan ini akan terus menggila, seperti fakta yang membuktikan bahwa penduduk dapat bertambah sebanyak satu miliar manusia dalam kurun waktu 12 tahun skala global.

Tidakkah manusia ingat jika ukuran dunia tidak berubah dari 4,5 miliar tahun yang lalu?  Belum lagi jika mengingat manusia hanya mampu bernafas di daratan, yang hanya sepertiga dari ukuran dunia, dan terus menyusut seiring pemanasan global?

Tulisan ini sejujurnya tidak akan pernah dapat membantu sedikitpun dalam penyusutan penduduk, atau apapun. Namun, bolehkah saya bertanya apakah yang dibutuhkan dunia saat ini?

Sesuai dengan hal yang dibahas pada awal tulisan, penelitian mengenai kemungkinan 'dunia luar' untuk ditinggali oleh manusia terus berjalan. Lalu, apalagi?

Dengan volume bumi yang konstan, dan pertumbuhan manusia yang terus melonjak ekstrim, benarkah bila bumi membutuhkan lahan daratan yang lebih luas? Apakah dengan membuang air laut ke laur angkasa? Ataukah hanya seleksi alam yang menentukan, sekiranya seperti yang digambarkan oleh Roland Emmerich pada film 2012?

Yang selama ini diterapkan oleh pola pikir kapitalisme bukanlah regenerasi, tapi kesuksesan instan dengan bermodalkan kekayaan. Bukti? Pemugaran panel surya yang dipasang oleh Jimmy Carter, presiden ke-39 Amerika Serikat, oleh Ronald Reagan, suksesornya, pada tahun 1986. Mungkin sepele, tapi presiden yang melakukan membuktikan sebuah kebijakan negara tersebut.

Meskipun begitu, masih ada negara yang berusaha 'solutif' dengan permasalahan global ini. Connie Hedegaard, menteri iklim dan energi Denmark, mengatakan bahwa negaranya sepakat berpolitik sehat dengan alam.

"Kami memutuskan untuk menggunakan pajak, maka energi dibuat relatif lebih mahal dan (karena itu) orang tergerak untuk berhemat dan berbuat apapun di rumah masing-masing supaya lebih efesien. Itu hasil dari tekad politik. Sebagai contoh, industri angin belumlah sebuah 'apa-apa' pada 1970-an. Kini, sepertiga dari semua turbin angin terestrial di dunia berasal dari Denmark", ujar Hedegaard.

Sedikit materi dalam notes ini telah tertuang dalam tulisan penulis dengan judul "Raksasa Jumawa". Apa intinya? Gerilya industri modern, yang sekarang ini seolah menjadi patokan pembangunan negara maju, membuat manusia semakin raksasa. Ketika diasumsikan satu orang dewasa memiliki satu sepeda motor, maka satu orang di dunia ini memiliki berat lebih dari 110 kg dan ukuran sekiranya dua kali lipat dari normal. Betapa sempitnya dunia ini, bukan?

Rasa ketidakpuasan manusia terkadang menghasilkan sebuah pembunuhan. Mengapa? Mengingat manusia adalah makhluk yang selalu ingin tahu dan dimungkinkan untuk berkembang, namun segala sesuatu yang 'terlalu' akan sangatlah memberatkan, apalagi bila dilakukan secara tidak imbang (antara pembangunan dan pengrusakan alam).

Maka, sepelik apakah dunia hari ini? Klaus Kelinfeld, direktur Alcoa yang merupakan pabrik alumunium kelas dunia, menggambarkannya dengan sebuah kalimat sederhana: "Sekarang, kemanapun Anda berpaling, Anda berjalan menuju ke leher botol"

Bagaimana menurutmu?

Mata Hamka


Manusia adalah makhluk Tuhan yang memiliki akal pikiran. Sejengkal otak dalam kepala manusia memiliki kemungkinan yang besar untuk mampu menyelesaikan ribuan persamaan logatirma, dan itulah yang memang terjadi di dunia. Para nama besar ilmuwan yang menopang kehidupan hingga hari ini, selayaknya Einstein dan Thomas Alfa Edison, mungkin dulu tidak banyak berpikir dan bertanya 'Akan jadi apakah saya nantinya?', namun mereka belajar, bukan hanya hidup dan bekerja.

Buya Hamka pernah berkata, "Kalau hidup sekedar hidup,  babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja."

Entah apa solusi yang solutif dari perkataan beliau tersebut, namun saya meyakini bahwa dengan belajar semua dapat terselesaikan. Kuasa manusia atas pikiran dan pandangan adalah anugerah terbesar Tuhan dalam kehidupan, dan beliau berpikir bahwa otak tidak cukup baik jika hanya dimanfaatkan untuk bekerja dan menyambung hidup. Elevasi kehidupan haruslah menjadi sebuah tujuan.

Dalam kehidupan, manusia dianugerahi panca indera untuk dapat terus belajar dan bekerja. Sepasang bola mata ialah salah satu bagian dari indera untuk melihat, yang kerap dimanfaatkan manusia untuk menjalani hari ini untuk besok dan besok untuk lusa.

Namun, bila memang Anda percaya bahwa pernyataan Buya Hamka diatas adalah benar, maka Anda harus percaya jika keberadaan mata (dan juga telinga) ialah untuk meraba. Tangan? Untuk bekerja. Kaki? Berjalan (atau mungkin berlari, yang juga bagian dari 'kerjaan').

Meraba kehidupan menjadi sebuah ide untuk menciptakan pandangan. Situasi perlu untuk dipelajari, sehingga manusia bisa menentukan aksi dan melangkah pasti dengan percaya diri. Semua tahu, perbedaan pandangan adalah hal rutin dalam kehidupan. Argumen menjadi hal yang dianggap manusia dapat 'menyelesaikan', sehingga 'melobi' terkadang menjadi hobi dan politik menjadi sesuatu yang tidak lagi antik dan unik.

Seorang ahli manajemen sumber daya manusia pernah berujar kepada saya, dan juga tujuh orang teman saya (yang memiliki pola pikir tak sama), bahwa sudah menjadi kodratnya bila manusia hidup dengan asas kepentingan dan kebutuhan akan sesuatu. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang 'bekerja' dengan kebutuhan untuk 'melanjutkan hidup'. Setuju? Hingga detik ini saya belum menemukan alasan untuk tidak setuju, seiring dengan kepercayaan ilmu ekonomi bahwa 'people respond to incentive'.

Tapi, satu hal yang pasti, hidup tidaklah hidup bila hanya sekedar 'melanjutkan hidup' dari hari ke hari, tanpa sebuah aksi yang (mungkin) melahirkan opsi dan mosi.