Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Selasa, 22 September 2015

Indonesia: Bersyukurlah..

Kakek saya, pria generasi 1920-an yang merupakan angkatan ke IV IPB (dahulu masih bergabung dengan Universitas Indonesia), suatu hari bercerita mengenai pengalamannya bersama dosen warga negara Belanda. Dosen tersebut bertanya kepada kakek saya mengapa beliau hendak menuntut ilmu menggeluti bidang kehutanan. Dengan polos, kakek saya berujar bahwa Indonesia kaya akan hutan dan memang inilah satu satunya kesempatan yang ia miliki untuk bersekolah. Perlu diketahui bahwa kakek saya dapat kuliah di IPB karena beasiswa dinas dari kementerian kehutanan saat itu. Selanjunya, sang dosen mengutarakan pendapatnya.....

"Enak kalian yang tinggal di Indonesia, sungguh banyak yang dapat kalian kerjakan. Berbeda dengan di negara kami yang kecil dan tidak banyak hal yang bisa kami kerjakan."

Dosen tersebut berpendapat bahwa beruntunglah kakek saya, teman teman nya, dan seluruh mahasiswa Indonesia (serta rakyatnya) atas kemerdekaan Indonesia dan terlahir sebagai bangsa Indonesia. Banyak yang mampu dikerjakan di tanah ini. Sang bule pun melanjutkan, bahwa di tanah kelahirannya sudah terlalu banyak hal yang dikerjakan, sehingga inovasi terhambat dan teknologi (saat itu) belum dapat dikembangkan

Bingung. Orang Belanda berpikir bahwa Indonesia beruntung (saat itu) padahal baru saja lepas dari penjajahan. Bingung

Dan saya pun kembali bingung ketika hingga hari ini (memang benar) banyak hal yang harus dikerjakan, dan bingung untuk mengerjakannya. Seolah berteriak, "gue mesti mulai darimana sih?"

Ketika menulis ini, saya baru saja turun dari metromini 640 untuk mencapai Stasiun Sudirman. Malam itu perjalanan dari Semanggi-Sudirman 'diusik' oleh pria setengah baya yang ngamen dengan berpuisi.

Puisi?

Duta SO7 berpikir bahwa puisi adalah sebuah bintang. Elok dan indah. Namun mendengarnya di bus kota? Bahkan hampir tidak terdengar suara pria tersebut. Dan menurut saya, pria tersebut amat sangat sungguh bingung dengan hidup

Mungkin terbesit dalam pikirannya, "Apa lagi yang harus ku perbuat untuk menyambung hidup?" dan berpuisi (mungkin) menjadi pilihannya karena sejujurnya saya pun baru sekali mendengar seorang pengamen mencari nafkah di hutan beton dengan puisi dalam bus kota. Inisiatif dan menjadi beda sebenarnya adalah sebuah kreativitas, namun kali ini hal tersebut membingungkan saya

Di sisi lain, kehidupan kantor saya selalu berwarna dan warna warna tersebut penuh masalah dan solusi. Selalu saja terasa kekurangan di sana sini, baik itu berupa teknologi maupun sumber daya manusia. Hal hal remeh sungguh diabaikan di sana dengan dalih tiada manusia yang hendak mengerjakan. Apa pekerjaannya? Mengirim surat, membereskan meja, ataupun menara letak ruang kerja? Sejujurnya saya pun tidak ingin habis waktu untuk mengerjakan itu semua karena banyak hal lain yang harus saya kerjakan. Namun tidak bisakah pria yang berpuisi tersebut melakukannya?

Dari sudut mata pria tersebut, mungkin ia bingung apa yang dapat ia kerjakan. Dari sudut mata saya, saya bingung mengapa pria pria seperti itu, yang berbadan sehat, tidak dapat kesempatan untuk mengerjakan hal hal 'remeh' di kantor? Dan tebak sendiri, kira-kira pria tersebut akan amat sangat bingung gak ya kalo tau di kehidupan kantor saya sungguh banyak hal yang dapat ia kerjakan?

Jika sudah begini, setelah 69 tahun merdeka, saya rasa dosen dari Belanda tersebut tidak salah jika memiliki hipotesa bahwa amat sangat banyak hal yang dapat dikerjakan disini (dan dapat menjadi uang).

Contoh lainnya: Siapa diantara kalian yang mengembalikan set dashboard makanan di restoran fast food ke tempat penampungan? Saya yakin amat sedikit, karena di Indonesia hal tersebut dapat menjadi pekerjaan bagi mereka-mereka yang membutuhkan. Di Singapura (dan mungkin negara lainnya), hal tersebut dikerjakan sendiri oleh sang pemakan ayam dan pemakan burger, sehingga tidak diperlukan lagi banyak waiter untuk membereskannya

Masih bingung apa yang harus dikerjakan?

Minggu, 24 Mei 2015

Selamanya Pertama

Sejak awal zaman, manusia selalu memperbincangkan keperawanan sebagai tolok ukur seorang wanita dalam aktivitas seksualnya. Keperawanan seringkali menjadi objek bahasan sosial, yang apapun artinya, bila tidak sesuai dengan umur maupun status sosial, akan menjadi perbincangan positif dan negatif.

Dari sudut pandang guem gue cuma berpikir bahwa keperawanan itu adalah "awal", yang kebetulannya ada pada sesuatu yang seringkali dianggap sakral dalam kehidupan manusia dan agama. Padahal, selalu ada yang pertama, kan, untuk semua hal?

Bahkan yang kedua pun adalah yang pertama

Ketika lahir seorang anak kedua dari keluarga sederhana, maka anak kedua itu adalah "anak kedua pertama" dan "satu-satu nya anak kedua di keluarga tersebut", yang juga menjadi "adik pertama" dari sang kakak.

Ketika Rossi finish di urutan kedua di Le Mans, Prancis, 2015, maka itu adalah "pertama kalinya Rossi finish di urutan kedua di tahun 2015.

Ketika Anda pindah ke kantor baru, baik itu kantor kedua ataupun ketiga dalam karir Anda, maka tetaplah hari pertama kerja Anda akan menjadi "hari pertama bekerja di kantor baru".

Seringkali orang lupa bahwa waktu itu tidak dapat di ulang. Oh, sorry, gue salah: Orang terlampau ingat bahwa waktu tidak dapat di ulang, sehingga mereka melupakan arti dari kata-kata sakti tersebut. Manisnya sesuatu akan hilang ketika seluruh makanan Anda adalah manisan. Tidak terlihatnya gajah di depan muka adalah hal yang biasa apabila memang sudah terlampau dekat dan terlampau sering.

Kealfaan  manusia akan fakta ini seringkali berujung pada penyesalan, yang kemudian disusun dalam suatu kalimat (agak) bodoh: "Penyesalan selalu datang di akhir". Well, menurut saya, tidak akan ada akhir karena segala sesuatu adalah hal pertama dalam hidup. Yang mungkin membalikkan kalimat (agak) bodoh ini mungkin cuma satu: Pembelajaran. Namun, apakah segala sesuatu yang berjalan dalam hidup ini sama persis dengan apa yang dipelajari pada masa lalu? Big no.

Seseorang yang beriman akan bergumam bahwa apabila penyesalan terjadi, setelah melalui best effort (dengan segala prediksi dan teori-teori), maka itu adalah ujian dari Yang Maha Kuasa, dan inilah satu-satunya jalan untuk mensyukuri hidup.

Ketika menghadapi hari, yang harus dilakukan adalah memotivasi diri sendiri bahwa hari ini tidak akan pernah sama dari hari sebelumnya, dimana kita sudah belajar dari hari hari sebelumnya untuk menghadapi hari selanjutnya, sehingga seluruh hal "pertama" akan menjadi debut yang mengesankan kita semua. Siap untuk menghadapi yang pertama?

Minggu, 15 Maret 2015

Muka Sosial: Realita atau Digital Semata?

Seorang teman pernah bilang bahwa semua yang di posting di dunia maya adalah hanya cover baik nya aja. Seluruh yang terpampang disana hanyalah sisi  kehidupan yang ingin dipamerkan ke penduduk dunia ini (atau mungkin sebagian dari penduduk dunia ini), yang mana bisa jadi itu merupakan bestfriend, co-workers, bosses, atau mungkin temen lama dari jaman SD yang udah lamaaaaaa banget ga ketemu dan akhirnya kembali “berteman” di dunia maya karena dua alasan: Gak enak kalau gak approve friend request-nya, atau temen lo itu udah gak kalah eksis dan menarik hidupnya sehingga lo merasa harus catch up lagi dengan kehidupannya sekarang.

“Eh, jelaslah kalo apa yang lo liat disitu (sebuah jejaring sosial dengan lambang "P") cuma yang bagus-bagusnya aja. Mana mau mereka share sama lo kalo lagi susah”

Gue cuma bisa bilang, ada benernya juga nih kesimpulan. Malahan hampir sepenuhnya benar, sampai gue mengingat kadang ada temen yang emang hobi nya share hal-hal konyol dan cenderung bersifat “memalukan” di mata orang kebanyakan,  yang mungkin di mata dia hal itu bersifat “anjrit kocak banget nih”.

Sebenarnya, jejaring sosial sendiri hingga hari ini masih belum menembus seluruh kalangan masyarakat, atau dalam kata lain gue masih memiliki banyak temen yang tidak (atau mungkin belum) merasakan manfaat dari dunia maya. Beberapa rekan masih ada yang dengan batu nya mempercayai bahwa teknik melamar kerja yang paling efektif adalah door to door macam Si Doel, dengan menenteng hard copy curriculum vitae dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, atau mungkin dari booth satu ke booth lainnya dalam event-event jobfair yang marak diselenggarakan, ketika sebagian teman lebih dulu berpikir, “Emang itu lowongan ga bisa lo temuin di twitter?”

Dari hal ini gue melihat sebenarnya perilaku orang berselancar di dunia maya dengan kekhususan jejaring sosial itu dibagi menjadi beberapa kategori besar utama:

Aktivis Kehidupan
Tipikal orang ini ialah tipikal yang seringkali dapat memprediksi the future after this social networks. Mereka adalah orang-orang yang setelah aplikasi tersebut ramai maka akan segera berpikir, “OMG I’m done with this shit, what’s next?” ketika akun private nya mulai dipenuhi kicauan berbau perdanganan lokal, bahkan oleh temannya sendiri. Orang ini berpikir apapun dalam hidupnya, baik menarik maupun tidak, akan mereka share ke teman-temannya, dan (mungkin) seringkali tidak menyadari (atau tidak menggubris) bahwa banyak temannya di luar sana yang sudah berpikir “Anjir gini gini doang pake di post deh, maunya apa sih?!”.

Go With The Flow
Ini adalah golongan kebanyakan umat manusia saat ini (walau gue belom pernah melakukan research) terutama apabila mereka adalah Gen Y.  Ketika para Aktivis Kehidupan sudah beralih ke jejaring paling update, maka mereka akan mulai membuat account juga, dan bergaul dengan para Aktivis Kehidupan lalu mendorong orang-orang kudet di luar sana untuk join dengan mereka dengan mempromosikan jejaring sosial ini. Sesuatu yang tidak akan dilakukan oleh para Aktivis Kehidupan. Terlalu banyak variasi dalam golongan ini, dan beberapa diantara mereka seringkali melakukan efesiensi dalam membandingkan “sejak kapan sih gue main ini?” dengan “gue udah berapa kali posting ya sejak pertama kali main?”, dan akan coba menyesuaikan hal tersebut secara berkala, agar tidak terlihat bergeser ke arah Aktivis Kehidupan maupun Silent Reader (yang akan kita bahas setelah ini).

Silent Reader
Yang terakhir adalah tipikal orang kudet tapi tidak tertinggal. Mereka tipikal orang-orang yang sudah terinformasi apa yang booming sejak lama, namun menyangsikan kegagahan dan kehebatannya sehingga menghabiskan banyak waktu untuk menganalisa “Buat apa sih gue main itu?” hingga akhirnya menyerah terhadap dominasi dan tekanan khalayak luas dalam superioritas jejaring sosial, lalu bikin akun dimana salah satu hal paling konyolnya disebabkan oleh perubahan status: pacaran!

Dari tiga golongan utama yang gue share di atas, at the end of the day semuanya bergabung pada jejaring sosial, dan kehidupannya terukut dari: jumlah posting, apa yang di posting, kapan melakukan posting, daaaaaan sebagainya yang menjurus pada satu kesimpulan bagi yang memperhatikannya: apa sih tujuan dia melakukan posting tersebut?

Kode? Atau jangan-jangan, terpaksa?

Jika gue boleh berpendapat, hari gini, 2015, ketika seluruh kebebasan berpendapat (yang bertanggung jawab, tentunya) dapat disuarakan oleh siapa saja, even itu mencak-mencak terhadap Presiden negara ini, maka tidak seharusnya aktivitas jejaring sosial dilakukan dengan terpaksa. Bener ga?

Dalam perjalanan gue menggunakan jejaring sosial, gue selalu share apa yang memang pengen gue share, dan gue sendiri menggolongkan diri gue dalam kelompok orang-orang “Go With The Flow”, yang melakukan efesiensi dan tidak begitu memperdulikan spam-spam pedagangan lokal.

Tentunya, sungguh sah apabila orang menggunakan jejaring sosial untuk tujuan tertentu: kampanye politik, beropini tentang hak asasi, memperjuangkan demokrasi, hingga flirting sana dan sini. It’s your own expression and nobody can’t stop you, unless you breaking a life-rule. Namun yang gue sayangkan hari ini ialah beberapa orang menggunakan jejaring sosial karena terpaksa.

Kok tau? Iya, karena gue kenal orang-orang itu, dan gue yakin beberapa diantara mereka tidak mengerti mengapa mereka harus menggunakan jejaring sosial tersebut, dan/atau posting hal hal yang tidak mereka inginkan,, apalagi karena faktor eksternal.

Ada beberapa teman gue yang menggunakan jejaring sosialnya hanya untuk berpacaran: posting apa yang mereka lakukan bersama pacarnya, yang bahkan dilakukan oleh pacarnya sendiri, bukan sang pemilik akun. Sebagian dari beberapa teman gue itu malah mengaku bahwa mereka tidak mengerti mengapa pacarnya menghendaki hal seperti itu. Sebagian dari orang-orang yang tidak mengerti ini pun berpikir kembali, “They kill their own market, don’t they?”, dan beberapa orang yang berpikir demikian, parahnya, tetap menemukan pacar mereka berselingkuh setelah melakukan perilaku tersebut.

Bukan mau suudzon, tapi banyak kan diantara kalian yang ketika melihat akun sosial temen kalian dan mendapati isinya seperti album perpacaran semata?

Gue tidak merasa hal ini adalah satu-satunya concern gue dalam memperhatikan perilaku manusia di jejaring sosial. Sejak Facebook booming pada pertengahan dekade kemarin, dan setelah The Social Network yang menceritakan perjalanan Mark Zuckerberg dalam menciptakan Facebook, jejaring sosial selalu menciptakan kawan dan lawan.

Maka gue rasa pantas bila hari ini kita semua harus kembali mempertanyakan, benarkan apa yang terlihat di jejaring sosial selama ini adalah fakta, realita, atau jangan-jangan hanya fana digital semata?