Jika ada seseorang bertanya pada saya tentang apa yang
paling cepat bergerak di dunia ini, maka saya akan menominasikan kata ‘teknologi’
sebagai jawaban tunggal.
Teknologi menjadi salah satu yang paling cepat di dunia ini.
Baik secara definisi kata-kata maupun bukti di dunia nyata. Teknologi menjadi
contoh globalisasi terbesar, dimana kata ini mengatur kehidupan jangka pendek
(kebanyakan) manusia lebih jauh dari kitab suci mereka semua. Teknologi menjadi
semua kualitas tinggi, dan contoh riil dari kata ini menjadi sangat sulit
ditetapkan dalam waktu yang lama.
Waktu terus bergulir tanpa kenal siapa anda, berapa manusia
yang lahir dan mati, ataupun manusia yang beranjak gila. Waktu melahirkan
mereka-mereka yang jenius untuk memimpin dunia, baik nyata maupun maya. Waktu
membicarakan para jenius dengan inovasi yang mereka punya, baik audio maupun
visual. Waktu menjadi segalanya.
Ketika orangtua kita takjub melihat mobil purwarupa di film
James Bond tahun 1980-an, maka kita sudah melihat purwarupa tersebut di jalanan
ibukota. Berisikan mereka para orang-orang kaya (yang mungkin juga membawa
narkoba). Pertanyaan besar ialah, “Apa yang dijanjikan waktu, selain teknologi,
kepada para manusia?”
Saya memiliki seorang sahabat yang gemar membeli buku
catatan. Buku bagus kelas premium yang tidak anda dapatkan di tukang fotokopian
seberang jalan. Alangkah takjubnya ia ketika mendapati aplikasi di iPad yang
menawarkan fitur dan fungsi yang persis sama. Baik tampilan cover buku hingga
kertas nya serupa dengan wujud aslinya, hanya saja ini berupa fitur digital yang disuguhkan oleh teknologi
dan waktu, yang dikendalikan para jenius di luar sana. Dengan perangkat pulpen
layar sentuh stylus, anda dapat
menulis sama dengan aslinya.
Waktu membuat segalanya tidak pernah sama. Inovasi tiada
henti membuat manusia pun tidak seperti beberapa waktu yang lalu. Hitungan
bulan dapat merubah manusia sesuai dengan dunianya, dan member efek baik dan
buruk pada beberapa pihak: makhluk dunia nyata.
Saya pikir dunia kehilangan sisi klasik. Ketika alat tulis
klasik pun tidak lagi klasik, tentunya ada yang hilang disana, baik cerita
ataupun esensi nyata. Pertanyaan besar kedua ialah, “Apakah dunia butuh sisi
klasik?”
Ketika saya mendefinisikan kata ‘klasik’ sebagai ‘dasar’,
maka akademisi tentu membutuhkannya. Jika tidak, maka para calon akuntan saya
pikir tak lagi perlu banyak menghitung dengan kalkulator, karena tersedianya
program-program instan. Pernah nonton film Along
With Polly? Cowo yang
membandingkan mantan isteri dengan pacar barunya menggunakan software penghitung
risiko? Ketik, enter, selesai. Itulah bahasa teknologi.
Seinstan itukah dunia ini? (Seharusnya) tidak. Kehidupan
memiliki aturan, dimana sungguh tidak baik bermain ponsel pada jam makan malam
keluarga. Transparansi pesan singkat tidak hanya sekedar delivered, tapi merambah pada read
dan typing. Akuntabilitas provider tercermin
jelas dari transparansi ini, dimana secara angka-angka profit ekonomi menguntungkan.
Namun, dimana batas kebebasan?
Bila memang para jenius mengendalikan ruang dan waktu,
tolong kembalikan sedikit sisi klasik dunia ini, karena manusia (harus) tetap
lahir dari rahim ibunya, dan semua manusia akan kembali ke tanah bumi
sebagaimanya-Nya.