Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Selasa, 26 Maret 2013

Klasik


Jika ada seseorang bertanya pada saya tentang apa yang paling cepat bergerak di dunia ini, maka saya akan menominasikan kata ‘teknologi’ sebagai jawaban tunggal.

Teknologi menjadi salah satu yang paling cepat di dunia ini. Baik secara definisi kata-kata maupun bukti di dunia nyata. Teknologi menjadi contoh globalisasi terbesar, dimana kata ini mengatur kehidupan jangka pendek (kebanyakan) manusia lebih jauh dari kitab suci mereka semua. Teknologi menjadi semua kualitas tinggi, dan contoh riil dari kata ini menjadi sangat sulit ditetapkan dalam waktu yang lama.

Waktu terus bergulir tanpa kenal siapa anda, berapa manusia yang lahir dan mati, ataupun manusia yang beranjak gila. Waktu melahirkan mereka-mereka yang jenius untuk memimpin dunia, baik nyata maupun maya. Waktu membicarakan para jenius dengan inovasi yang mereka punya, baik audio maupun visual. Waktu menjadi segalanya.

Ketika orangtua kita takjub melihat mobil purwarupa di film James Bond tahun 1980-an, maka kita sudah melihat purwarupa tersebut di jalanan ibukota. Berisikan mereka para orang-orang kaya (yang mungkin juga membawa narkoba). Pertanyaan besar ialah, “Apa yang dijanjikan waktu, selain teknologi, kepada para manusia?”

Saya memiliki seorang sahabat yang gemar membeli buku catatan. Buku bagus kelas premium yang tidak anda dapatkan di tukang fotokopian seberang jalan. Alangkah takjubnya ia ketika mendapati aplikasi di iPad yang menawarkan fitur dan fungsi yang persis sama. Baik tampilan cover buku hingga kertas nya serupa dengan wujud aslinya, hanya saja ini berupa fitur digital yang disuguhkan oleh teknologi dan waktu, yang dikendalikan para jenius di luar sana. Dengan perangkat pulpen layar sentuh stylus, anda dapat menulis sama dengan aslinya.

Waktu membuat segalanya tidak pernah sama. Inovasi tiada henti membuat manusia pun tidak seperti beberapa waktu yang lalu. Hitungan bulan dapat merubah manusia sesuai dengan dunianya, dan member efek baik dan buruk pada beberapa pihak: makhluk dunia nyata.

Saya pikir dunia kehilangan sisi klasik. Ketika alat tulis klasik pun tidak lagi klasik, tentunya ada yang hilang disana, baik cerita ataupun esensi nyata. Pertanyaan besar kedua ialah, “Apakah dunia butuh sisi klasik?”

Ketika saya mendefinisikan kata ‘klasik’ sebagai ‘dasar’, maka akademisi tentu membutuhkannya. Jika tidak, maka para calon akuntan saya pikir tak lagi perlu banyak menghitung dengan kalkulator, karena tersedianya program-program instan. Pernah nonton film Along With Polly? Cowo yang membandingkan mantan isteri dengan pacar barunya menggunakan software penghitung risiko? Ketik, enter, selesai. Itulah bahasa teknologi.

Seinstan itukah dunia ini? (Seharusnya) tidak. Kehidupan memiliki aturan, dimana sungguh tidak baik bermain ponsel pada jam makan malam keluarga. Transparansi pesan singkat tidak hanya sekedar delivered, tapi merambah pada read dan typing. Akuntabilitas provider tercermin jelas dari transparansi ini, dimana secara angka-angka profit ekonomi menguntungkan. Namun, dimana batas kebebasan?

Bila memang para jenius mengendalikan ruang dan waktu, tolong kembalikan sedikit sisi klasik dunia ini, karena manusia (harus) tetap lahir dari rahim ibunya, dan semua manusia akan kembali ke tanah bumi sebagaimanya-Nya.

Jumat, 08 Maret 2013

Suara Selera


Dunia itu dua suara. Ya, saya pikir itulah adanya. Selalu ada 'iya' dan 'tidak' dalam setiap aspek kehidupan, dan setiap orang harus memberikan sikap serta pilihan. Harus? Saya sebenarnya agak-agak gak suka sama kata 'harus'. Walau saya menyadari pekerjaan terbaik dapat saya lakukan dengan dibawah tekanan, saya tetap tidak begitu menyukai kata 'harus'. Kenapa? Karena kata tersebut biasanya menghiasi bagian-bagian hidup saya yang kadang kala ingin saya nikmati tanpa tekanan dan sebuah 'keharusan'.

Kadang, 'harus' layaknya topeng kehidupan. Menguasai pikiran untuk mengatur sebuah pekerjaan yang valid-valid aja kalo dikerjain sambil nyantai. Selalu ada table manner yang sempurna untuk menghadiri jamuan makan malam dengan presiden, tapi hal besar seperti itu tidak perlu dilakukan juga kaaan jika menonton HBO Hits di tengah akhir pekan? Saya yakin kebanyakan dari anda tidak begitu menikmati sebuah keharusan, tapi anda harus selalu memiliki selera.

Lebih jauh dari sekedar kata 'harus' dan definisinya, kadang saya seringkali memikirkan selera dan isi jiwa saya. Saya coba untuk menghilangkan dan tidak memperdulikan kata 'harus', keluar dari aturan, masuk ke zona tidak nyaman, dan berusaha menemukan sebuah selera.

Jeleknya, saya tidak mengerti apa definisi dari sebuah selera. Oh ya, dan juga hal-hal yang membentuknya. Seperti musik dan juga makanan. Saya tidak bisa bermusik (dan juga memasak tentunya). Ok, sekedar indomie goreng tentunya mudah, tapi soal musik, ampun gan, main recorder dari jaman kelas lima SD gakpernah lancar!

Tapiiiiiii, saya tetap memiliki banyak musik yang menurut saya menarik dan memenuhi selera, walau saya tidak bisa memainkannya, menyanyikannya, bahkan mendefinisinya genre musik apakah yang memenuhi selera saya. Seperti ketika banyak teman bertanya, "Tipe cewek lo yang kaya gimana sih?". Maka saya hanya dapat menjawab "Yaaaa asal nyambung aja cukup". Gombal? Muluk? Percaya deh, saya hanya merasa tidak dapat mendefinisikan dan saya tidak merasa hal tersebut harus didefinisikan.

Tanpa sebuah keharusan, saya tetap menemukan selera yang entah darimana asalnya. Seperti berkah natural. Saya, yang tidak mengerti mengapa bisa memiliki sebuah selera (katakanlah selera A), kadang bingung dengan selera orang lain (selera B). Dalam musik, saya benar-benar tidak mengerti mengapa kekasih dapat begitu memuja Marcus Miller dengan tarian jemari pada bass-nya. Asli, hampir ketiduran gue sih. Asli. Tampaknya musik jazz seperti itu bukanlah selera saya, dan saya tidak paham mengapa saya tidak menikmati musik jazz. Bahkan ketika Candil bernyanyi 'Daripada musik metal lebih baik musik jazz', saya lebih menikmati suara itu dibanding petikan-petikan maestro bass yang membuatnya menampilkan 'orgasm-face'.

Saya memahami bahwa jelas tidak semua orang harus menyukai setiap apa apa yang ada dalam kehidupan. Saya hanya sedikit bingung kenapa mereka dapat menikmati, sedangkan saya hampir ketiduran, hingga akhirnya saya memutuskan untuk menyimpulkan bahwa saya tidak harus paham apa alasannya, tapi dengan selera yang saya punya, saya cukup untuk menikmati segala yang ada.

Dunia itu dua suara, dan anda harus coba mendengarkan semuanya.

Minggu, 03 Maret 2013

Butuh


Sejak lama saya tidak pernah menyukai film-film yang inti ceritanya adalah percintaan. Banyak laki-laki mengasumsikan bahwa itu adalah film ‘lenje’. Action selalu menjadi pilihan utama saya, dengan sederet pembunuhan dan tembak-tembakkan, walau saya cenderung takut untuk yang thriller, terror, dan juga horror. Satu hal yang s ebenarnya membuat saya bergairah untuk rela membuang uang demi sebuah film adalah pacar. Kekasih yang satu ini agak freak terhadap film-film cinta. Singkat cerita, salah satu dvd yang ia tawarkan untuk saya coba tonton adalah ‘Before Sunset’ dan ‘Before Sunrise’.

Apapun yang saya lakukan, saya cenderung detail terhadap kata-kata. Ada satu kalimat yang menarik dari salah satu film yang saya tonton (walau tidak selesai) ini. Seorang tokoh dalam film tersebut berkata, “We are sum of each tiny moments of our life”. Setiap memiliki momen untuk mengetahui kalimat menarik seperti ini, saya selalu berfikir ‘Ada benarnya juga ya!’. Hal yang saya pikirkan adalah semua orang pasti butuh ‘terima kasih’, dan begitu pula dengan ‘maaf’.

Minggu lalu, di tengah perjalanan menuju terminal bus, ada seorang pemulung yang berterima kasih pada saya. Karena apa? Karena saya meminta izin untuk langsung membuang sampah botol bekas minum saya tepat ke karung sampah di punggungnya. Saya dan teman saya, Reva, saat itu berfikir bahwa itu adalah hal yang gila. Membuang sampah pada tempatnya sudah seharusnya menjadi kewajiban setiap umat, dan pemulung itu memang ‘berkewajiban’ memulung sampah demi hidupnya. Saya berfikir sebenarnya ia tak perlu berterima kasih karena saya memang melakukan hal yang merupakan kewajiban saya, tapi ia melakukannya. Saya heran, dan tidak bisa bohong kalau hati saya merasa senang.

Saya pikir pemulung itu menyenangkan hati saya, karena kewajiban yang saya tuntas telah membantu kewajibannya. Pertanyaannya, sebenernya harus gak sih mengucapkan ‘terima kasih’ pada mereka yang hanya menjalankan kewajibannya? Yang seharusnya menjadi hal yang biasa saja?
Sebuah buku seharga tiga puluh ribu memberi saya banyak ilmu minggu lalu. Buku yang berjudul Indonesia Di Mata Orang Jepang ini memuat cerita seorang warga negara Jepang yang menjadi ‘Indonesia’ setelah dua puluh tahun bekerja di nusantara. Dari beragam hal yang ia ceritakan, hal yang paling ia kagumi ialah bagaimana mungkin orang Indonesia selalu berkata ‘Gak apa apa, santai saja’ setelah seseorang tidak datang tepat waktu atau melanggar janjinya.

Menurut Anda, haruskah ada kata ‘maaf’ disana?

Sepertinya, tidak ada yang harus meminta maaf ketika salah, berterima kasih ketika telah dimudahkan, atau mungkin ‘tolong’ ketika merasa (akan) merepotkan orang lain. Manusia hanya perlu memahami bahwa setiap orang butuh kata kecil itu, and those tiny words make you more than just a human. Kata-kata yang menyenangkan hati dan melambangkan rendah diri seorang pribadi. Mikroekonomi merangkumnya dengan sebuah kalimat: People respond to incentives.