Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Sabtu, 22 Juni 2013

Dualisme Esa

"Dunia itu dua suara. Tersurat dengan banyak pena kekuasaan"

Sejak pertama gue bikin blog, cuma quote itu yang gue pikir mewakili manusia di mata manusia lainnya. Gue seringkali berpikir, bahkan hampir selalu, bahwa memang cuma ada dua hal yang bisa diperbincangkan di dunia ini. Entah itu benar atau salah, mau atau tidak, hingga jadi atau enggak.

Dalam kisaran sepuluh tahun yang lalu gue masih duduk di bangku es-de, yang kebetulan es-de gue swasta bernuansa islami. Pendidikan agama menjadi momok utama dengan beragam ustad yang ada. Tapi tetep, namanya males sholat ya tetep aja males. Well, kembali pada pribadi masing-masing pada akhirnya. Namun diluar bahasan teknis mengenai cara lo, gue, dan kita semua beribadah, bahkan diluar bahasan apa agama lo, semua sebenarnya mengerucut pada satu hal: Esa.

Esa sendiri dalam Bahasa Indonesia digolongkan sebagai salah satu sifat Tuhan, dan tampaknya begitu pula bila di translate ke dalam bahasa-bahasa di dunia ini. Esa menjadi 'satu-satunya', dan 'tiada duanya' bagi setiap umat manusia. Guru agama di es-de saya, sepuluh tahun yang lalu, seringkali berujar bahwa "Kalo Tuhan ada banyak, nanti berantem dong?"

Gue dalem hati saat itu cuma bergumam, "Iya juga ya, kalo ada dua gimana ceritanya kita bisa masuk surga?" dan "Kalo masuk surga, surga-Nya siapa?". Sejak itu gue menjadi lebih yakin dan mengimani bahwa Tuhan memang satu adanya, begitu pula surga dan neraka yang dimiliki-Nya.

Tapi sebenernya bukan soal keagamaan yang mau gue bahas disini. Gue cuma lagi sering berpikir tentang sifat ke-Esa-an itu di dalam kehidupan manusia, tanpa membawa-bawa aspek ketuhanan. Maksud aspek ketuhanan ialah, gue ga perlu nanya siapa Tuhan lo, apa agama lo, lo rajin ibadah atau engga, dan sebagainya. Yang dibahas cuma satu: Manusia tuh punya sifat Esa gak sih?

Gue sendiri berpikir ya pasti gak punya lah. Tapi kalo memang gak ada seorangpun yang 'Esa' dalam suatu lingkup kehidupan, lalu siapa yang dapat menjadi imam? Bagaimana kalo gue bikin arti kata 'Esa' menjadi 'orang yang paling pintar dalam setiap ruangan'?

Dalam film fiksi berjudul 'Now You See Me', tokoh dalam film bertutur bahwa syarat mutlak sebuah trik sulap adalah menjadi yang ter-pintar dalam sebuah ruangan. Apapun bentuknya, pesulap harus satu, dua, atau tiga langkah di depan para penontonnya. Jika tidak, maka tiada orang yang tertipu disana.

Jika memang akhirnya 'Esa' adalah begitu adanya, apa pantas dualisme menjadi dilema kehidupan manusia? Dualisme, sebuah keadaan dimana lo harus punya dua imam, yang kadang suara takbirnya beda kencengnya, gak sama timing bacaannya, bahkan terkadang bentrok di depan jamaahnya. Apa yang terjadi dengan dua buah imam ini? Tebakan gue ada beberapa: Seorang 'Esa' dan seorang 'biasa' atau dua-duanya adalah 'biasa'.

Jika imam-imam ini adalah Tuhan, tentu gue bakal bingung mampus milih jalan mana yang harus ditempuh. Tentu lo bingung kan kapan harus sujud walau cuma ada gap dua detik antara dua imam yang memimpin lo?

Untunglah Tuhan itu selalu satu, dan imam-imam ini adalah manusia-manusia sama seperti para jamaahnya. Walau dibalik keuntungan ini terselip sebuah pertanyaan: "Haruskah anda butuh seseorang yang 'Esa'?" dan "Apakah bisa hidup dengan dualisme di depan mata?". Kalooooooooooo boleh gue milih, gue mending milih satu imam yang biasa aja walaupun dia gak 'Esa' dibanding dua imam luar biasa tapi berantem di depan mata. Kenapa? Karena gue yakin setiap orang punya potensi menjadi 'Esa', menjadi terpintar di bidangnya, di kehidupannya, dan di ruang lingkup hidupnya, termasuk diri gue sendiri. Dan apabila memang imam anda adalah seseorang yang belum 'Esa', anda dapat menularkan dan/atau bahkan menggantikannya menjadi seorang imam yang 'Esa'.

Dunia bukan trik, namun penuh intrik. Selalu penting untuk menjadi yang 'paling-paling' diantara semua yang 'paling' adalah trik untuk mengatasi intrik-intrik. One decision, two step ahead, three goals to go, four ways to celebrate.