Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Selasa, 11 Desember 2012

Bandung, Not Bandoeng


Gak perlu ngomong panjang panjang, semua tentu telah memahami mengapa Bandung menjadi tujuan yang diinginkan oleh ribuan anak bangsa. Bandung memiliki ITB, Unpad, dan sederet kampus swasta lainnya. Jangan lupa, Jatinangor juga masih sering ditafsirkan banyak orang sebagai bagian dari Bandung. Ya, ibukota provinsi ini telah di-set sebagai kota pelajar di Jawa Barat. Maka jangan pernah heran bila sangat banyak orang dalam hidup anda yang berbau Bandung.

Tapiiiiiiiiiiiiii, itu dulu. Sekarang Bandung tak ubahnya sebagai kota metropolitan. Ok, tentu parawalanda tidak akan pernah menyematkan nama Parijs van Java bila memang tak ada sesuatu yang berarti disini, tapi dengan penuh rasa hormat, saya pikir Bandung telah terlalu banyak make-up.

Perencanaan pembangunan tentu bukanlah hal yang dapat diselesaikan dengan asal-asalan Keberlanjutan dari suatu program adalah sesuatu yang diharapkan dan juga fungsi dari sebuah sistem. Tentu keputusan untuk mendirikan perguruan tinggi teknik pertama Indonesia di kota ini tidaklah tanpa perhitungan, terutama oleh pihak Belanda. Iklim yang dingin, perkotaan yang penuh dengan bunga, serta aspek geografis lainnya membuat H.W Daendels yakin membuat keputusan untuk menjadikan Bandung sebagai pemukiman terhitung 25 September 1810, yang turut diiringi dengan pembangunan sarana kehidupan lainnya, salah satunya Technische Hoodgeschool te Bandoeng pada 1920. Walau Belanda tidak seperti Inggris yang membangun masyarakatnya selama masa penjajahan, tapi Belanda berperan penting dalam kelahiran Bandoeng.

Hingga akhirnya Indonesia merdeka, Bandung ditetapkan sebagai ratu Jawa Barat. Berbagai pembangunan dilakukan untuk mempersakti citra kota ini. Sekolah, universitas, dan segala hal termasuk masyarakatnya. Salah satu pencapaian yang cukup membanggakan ialah masuknya kota ini sebagai salah satu kota teraman di dunia versi majalah Time pada 1990.

Namun sekarang Bandung bukanlah Bandoeng. Bandung tetaplah kota pelajar, tapi juga kota metropolitan terutama dalam aspek fashion, kuliner, hingga kemacetannya yang luar biasa. Bandung yang kota pelajar ini bahkan telah tidak mampu menghadapi keadaan perayaan wisuda mahasiswa dari kampus-kampus yang ada. Satu wisuda, matilah kota. Wisuda ditambah hujan, hancurlah kota. Wisuda bersamaan dengan demo buruh, hujan, dan awal dari libur panjang adalah neraka.

Bukan asal saya berkata, tapi kata-kata ini dibentuk oleh fakta yang diwakili oleh tarian jemari saya sebagai mahasiswa. Saya yang merupakan mahasiswa semester lima saja sudah cukup penat melihat kenyataan yang ada, apalagi mereka yang tinggal disini dari jaman baheula? Entah solusi apa dari pemerintah kota, tapi usaha dari kampus-kampus yang ada tercermin dari spanduk yang terpampang di Jalan Tamansari sebelah Cafe Halaman. Beragam kalimat yang ada, tapi kira-kira begini bunyinya,

"Mohon maaf perjalanan Anda terganggu dikarenakan adanya Wisuda Gelombang XX di XXYY pada MM-NN-OOOO hingga MM-NN-OOOO"

Selalu saya lihat minimal satu spanduk setiap ada hari wisuda. Kenapa saya begitu memperhatikan? Jelas karena kemacetan, hingga saya bisa menatap cukup lama untuk membaca spanduk tersebut. Yang ada dalam benak saya, apa gunanya memasang spanduk tersebut? Spanduknya sendiri dibaca ketika macet, dan yang ada hanyalah permintaan maaf. Lalu apa?

Bandoeng bukan lagi Bandung, brader! Bandung yang sekarang isinya plat B, dengan sapaan brader (bukan lagi jang). Bandung ini metropolitan, yan tidak lagi digerakkan untuk kota pendidikan. Sungguh tak ada yang dapat melarang kunjungan setiap insan, tapi bila memang menyesakkan, apa masih perlu berteriak-teriak pengusiran?

Setiap saya stuck di macetnya perkotaan Bandung, saya selalu berfikir apa sih yang membuat Jakartans melancong ke Bandung? Bukankah mereka memiliki segalanya di Jakarta sana, termasuk kemacetannya? Bila kita tilik alasannya, sebenarnya riil. Anak mereka menuntut ilmu di Bandung, dan anak mereka memberikan setidaknya satu buah kendaraan kepada anaknya untuk kebutuhan transportasi selama hidup empat tahun diperantauan. Tak jarang, mereka (orang tua) datang berkunjung untuk melancong sekaligus jajan-jajan makanan di seputaran Bandung.

Itu riil. Namun suatu waktu saya pernah berkesempatan berbincang cukup panjang dengan seorang sopir taksi di Bandung, setelah terlalu larut untuk pulang. Awalnya kami tak banyak bicara, hingga tiga-empat mobil plat Jakarta hampir ia tabrak. Lalu, mulailah sang sopir ngedumel. "Sok lah diadu jeung taksi yeuh anj*ng", ujarnya. Alhamdulillah, saya mengerti bahasa itu. Mulailah kami berbincang, dan segala hal yang ia keluhkan ialah seputar kemacetan. "Ya da sekarangmah ada yang bisnis buat makan siang aja ke Bandung, cuma buat makan siang da garelo Jakarta teh", cetusnya. Menurutnya, Bandung memiliki tatakota yang buruk karena terlalu banyak persimpangan di perkotaan, dan Cipularang memperkeruh permasalahan dengan menambah debit mobil dari luar kota secara signifikan. "Apalagi kalo malem minggu Dek, saya mah ga ngerti da aya wae acara teh di Gasibu. Puguh mobil teh loba tapi ongkoh weh jalanan teu meunang liwatGeus kuduna mah teu kudu aya acara tapi meunang liwat"

Kemana jagoan-jagoan planologi yang wisuda hari itu? Apakah mereka 'menata' kota dengan wisuda dirinya hari itu dengan segerombolan mobil (termasuk mobil orang tuanya dari Jakarta) yang stuck tak bergerak? Kemana pula birokrat-birokrat pemerintah kelas kakap ketika mengetahui bahwa (bahkan) diatas jalan layang Pasupati saja bisa terjadi banjir?

Jelas mereka memikirkan toga nya masing-masing, dan dosen-dosennya sedang memesan spanduk untuk dibentangkan di sebelah Cafe Halaman. Solusi tiada henti: Maaf (Bandung bukan lagi Bandoeng)!

Cahaya

Manusia butuh cahaya
Bahkan untuk tidur, manusia butuh cahaya
Gelap hanyalah gelap
Gelap mengiring tidur, namun cahayalah yang membimbing kita untuk tidak pernah mundur
Chris Martin mungkin berujar bahwa cahaya membawa kedamaian
Sekalipun untuk terbang tenggelam
Manusia bilang, jangan pernah sombong kecuali Anda adalah Edison, atau mungkin Watt, yang membuat matahari kedua setelah Tuhan
Orang seringkali lupa bahwa mereka akan beranjak tua dan kehilangan segalanya
Mungkin basi, tapi kalimat lama ‘Hidup adalah pilihan’ sepertinya abadi
Sampai senja tak ada lagi, dan cahaya tak menyala lagi
Mati

Sabtu, 13 Oktober 2012

Asal


Sebenarnya, ada sedikit kesombongan dalam diri saya. Aib ini mungkin merupakan dosa yang sejujurnya memiliki efek positif bagi pribadi, khususnya motivasi diri sendiri. Beberapa tahun silam, sekiranya akhir penghujung SMA, saya mulai berfikir untuk kembali menulis sebuah diary. Ya, diary, sebuah buku rahasia yang identik dengan kecengengan anak perempuan di berbagai masa. Walau rasanya sungguh sulit menemukan diary seutuhnya di zaman tablet seperti hari ini.

Saya coba, namun tidak bisa. Menulis tidak lagi simpel bagi saya, entah kenapa. Sensasinya bergeser ke dunia juru ketik. Sebuah desktop nan kolot di rumah menopang asa saya untuk dapat 'menulis' dan menampung isi diri saya ke dalam sebuah layar sinar yang datar.

Lahirlah beragam notes mengenai kehidupan. Segala tetek bengek kehidupan saya tumpahkan membanjiri isi blog. Kemudian beberapa teman yang beragam memberikan pandangan yang mengambarkan pemikiran mereka mengenai banjir yang telah saya tumpahkan. Sebagian besar berkata bahwa, "Ah tulisan lo berat banget bahasanya, pusing bacanya". Namun sebagian besar dari mereka itu pula yang seringkali memotivasi saya untuk terus menulis, bahkan membuat buku dari kumpulan tulisan saya yang tidak seberapa. Mungkin termasuk cerita yang sekarang sedang saya ketik ini.

Ibu saya, pihak pertama yang berkecimpung dengan jasad saya dari awal saya lahir ke dunia, berkata bahwa menulis merupakan sesuatu yang baik. Paman saya pun berkata demikian. Begitu pula beberapa teman terdekat. Maka hari ini, bahkan di tulisan ini, saya terus memaksakan diri untuk mengetik. Membuat cerita yang tidak jelas arahnya, dan sialnya lagi anda baca, mendingan berenti baca sekarang sebelum nyesel deh ya hahaha.

Kesombongan pun rasanya memesat dalam diri. Mau tau hal bodoh yang seringkali saya paksakan? Saya sangat puas bila dapat mengakhiri kalimat dengan rima yang sama. Pernah belajar puisi kan waktu SD? A-B-A-B sebagai akhiran kata? Dari tulisan pertama yang termuat di blog saya, hal-hal sepele itu dapat anda temukan sedikitnya satu atau dua kalimat.

Namun diluar keterpaksaan ini, saya merasa bersyukur karena mampu menyempatkan diri untuk lebih banyak membaca. Sebagian orang, termasuk saya, percaya bahwa semakin banyak membaca maka anda akan semakin dimampukan dalam menulis, walau hari ini membaca terkadang begitu membosankan, kecuali membaca timeline.

Bagi saya, menulis membutuhkan motivasi yang begitu tinggi, begitu juga dengan membaca. Inspirasi bisa saja datang setiap hari, namun untuk duduk manis dan meluangkan waktu untuk menulis adalah sesuatu yang seringkali hanya menjadi janji manis. Saya pernah (dan masih) termotivasi dengan komentar mereka-mereka yang (mungkin) sering membaca apa yang saya ketik, dan motivasi itu membesar setiap kali saya menyelesaikan tulisan. Entah siapa yang membaca, tapi tulisan itu pasti saya yang pernah menyelesaikannya. Maka, mengapa kali ini tidak bisa menyelesaikan satu tulisan lagi?

Ada yang mau ikut note-ing?

Dinosaurus, Lalu Ayam


Banyak orang di dunia ini percaya bahwa menjadi raksasa dan memiliki hidup selamanya adalah hal yang menarik. Film kartun seringkali bercerita tentang tokoh jahat yang hendak menguasai dunia, dan hidup abadi dengan umur yang muda. Puncak kekuatan menjadi alasannya, dan kekuasaan menjadi tujuannya.

Bila direnungkan, apakah Tuhan memungkinkan kehidupan yang seperti itu? Manusia pada kodratnya adalah makhluk sempurna yang juga diberikan kekurangan. Well, saya sebenarnya tidak menganggap ketidakmampuan manusia untuk dapat terbang adalah sesuatu yang 'kurang' dibandingkan burung elang, namun memang benar kan?

Ibarat ayam yang kalah oleh dinosaurus bila makhluk-makhluk ini hidup pada zaman dan ekosistem yang sama, manusia pun demikian. Makhluk haruslah adaptif untuk bertahan, agar tetap memiliki kekuatan dan kekuasaan, meskipun hanya seekor ayam.

Suatu hari, Ibu saya pernah berusaha menjabarkan skema kehidupan manusia secara singkat. Beliau melakukan penjelasan dengan menjadikan ayahnya sebagai contoh. Kakek saya dapat dikatakan sebagai orang yang berhasil pada zamannya, dan keberhasilan itu tidak membuat dia mati ketika harus berganti zaman dalam kehidupan. Adaptif dan solutif mungkin menjadi dua kata yang mewakili, dimana setelah itu dapat saya simpulkan bahwa kakek saya adalah orang yang non-post-power-syndrome.

Ketika manusia tersiksa dengan sindrom kekuasaan, kala dia menjadi seorang dinosaurus pada zamannya, maka tidak semua mampu menjalani kehidupan seekor ayam pada zaman selanjutnya, zaman dimana anak-anaknya adalah dinosaurus.

Semua orang harus menyadari bahwa tidaklah baik untuk memulai kehidupan dengan ekspektasi yang rendah dan cepat puas, apalagi membatas-batasi diri. Namun disamping itu manusia juga perlu menyadari bahwa suatu saat mereka harus turun gunung, dan menjadi ayam ketika pernah merasakan sekuat dinosaurus.

Sejauh yang saya tahu hingga saat ini, ada dua macam cara orangtua dalam mengajarkan kesuksesan pada anaknya. Yang pertama ialah mengajarkan kesusahan pada anaknya sejak muda, dan yang kedua ialah sangat menjauhkan kesusahan hidup dari anaknya sejak muda. Sorry,  ini hanya berlaku bagi orangtua yang memiliki kehidupan yang sulit pada masa kecilnya.

Dalam sering waktu, Papi saya berulang kali mengatakan dua hal: Hidup susah itu tidak enak, dan belajar hidup susah itu susah.

Tentunya saya sama sekali tidak memiliki hak untuk memberikan penilaian atas cara didik yang paling baik, karena saya percaya bahwa setiap orang memiliki cara belajar yang berbeda-beda. Pemukul-rataan cara pendidikan adalah sisi statis disamping kemajuan dunia. Namun, belajar jatuh ketika muda menjadikan kita tidak akan heran bila harus menjadi ayam ketika tua (nantinya). Contoh hidup, ya kakek saya.

Hanya memiliki dua stel pakaian ketika muda, bergelimang harta pada puncak karirnya, dan di umurnya yang menginjak kepala delapan beliau masih tidak keberatan untuk naik angkutan kota.

Dosen saya pernah memberikan pemaparan yang kira-kira seperti ini,

"Semua yang ada di dunia ini penuh dengan luck. Ketika lahir, siapa yang dapat memilih? Itu abstrak. Agama dan ekonomi tidak menjadi pilihan ketika anda lahir ke dunia, walau setelah itu anda dapat mengubah nasib anda sendiri."

Sesuatu yang perlu dihindari ialah bentuk kehidupan yang tidak menghidupkan anda. Jelasnya, kalau bisa, jangan menjadi ayam untuk pertama kalinya ketika tua. Oleh karena itu, saya percaya bahwa kehidupan yang baik ialah kehidupan yang mampu menghidupkan, setidaknya untuk diri anda sendiri.

Jumat, 13 Juli 2012

Leher Botol


Bumi, planet yang konon berumur sekitar 4,5 miliar tahun, adalah planet yang menjadi dunia para manusia. Makhluk yang menempati planet ini karena sebuah dosa ini adalah makhluk yang tergolong dalam kategori paling sempurna. Akal dan hati menjadi titik keunggulan absolut manusia terhadap spesifikasi makhluk ciptaan Tuhan lainnya, tentunya yang hingga sekarang ini telah ditemukan.

Meskipun banyak ilmuwan meragukan bahwa bumi adalah satu-satunya planet yang menjadi dunia kehidupan, dan lubuk hati saya yang memiliki keyakinan jika banyak kehidupan di luar sana, hingga saat ini belum ada publikasi global yang menyatakan bahwa 'dunia lebih besar dari sekedar bumi'. Bahkan setelah 43 tahun Neil Armstrong mencicipi berjalan di atas bulan, dengan jutaan orang menonton secara langsung dari televisi, masih ada jutaan orang yang meragukan kebenarannya.

Apa yang hingga sekarang manusia bicarakan tetaplah terlalu jauh dari kenyataan. Seiring percobaan dan penelitian mengenai kebenaran atas pertanyaan "Adakah planet lain yang mampu dihuni oleh manusia?", alangkah baiknya manusia tetap pada trek pemikiran yang realistis dengan mengasumsikan bahwa 'bumi adalah dunia manusia'.

Sewajarnya manusia ingin tinggal pada lingkungan yang nyaman. Sehat menjadi kunci utama kehidupan, karena kesakitan hanya berujung pada penderitaan. Ketika bersih pangkal sehat, maka sudah seharusnya manusia sadar bahwa bumi nya mereka ini tidaklah sehat karena tidak lah lagi bersih.

Cukupkah itu alasannya? Tidak. Dalam bukunya yang berjudul Hot, Flat, and Crowded, Thomas L. Friedman menjelaskan bahwa bumi telah terlalu panas, terlalu rata, dan terlalu penuh sesak. Seperti kata pepatah, segala sesuatu yang 'terlalu' tidak akan pernah menjadi baik. Dari sudut pandang ekonomi pun, yang berusaha memaksimalkan profit, equilibrium lah yang dicari. Apapun, 'terlalu' tetaplah 'terlalu', tidak akan pernah imbang dan menghasilkan keseimbangan.

Banyak faktor masalah yang mampu menjelaskan mengapa tiga hal tersebut terjadi, namun singkatnya semua mengerucut pada satu jawaban pasti: The world already over-populated.

Badan Pendudukan PBB menyatakan bahwa tahun ini akan ada sekitar 7 miliar kepala manusia yang hidup dalam hari yang sama. Pertumbuhan ini akan terus menggila, seperti fakta yang membuktikan bahwa penduduk dapat bertambah sebanyak satu miliar manusia dalam kurun waktu 12 tahun skala global.

Tidakkah manusia ingat jika ukuran dunia tidak berubah dari 4,5 miliar tahun yang lalu?  Belum lagi jika mengingat manusia hanya mampu bernafas di daratan, yang hanya sepertiga dari ukuran dunia, dan terus menyusut seiring pemanasan global?

Tulisan ini sejujurnya tidak akan pernah dapat membantu sedikitpun dalam penyusutan penduduk, atau apapun. Namun, bolehkah saya bertanya apakah yang dibutuhkan dunia saat ini?

Sesuai dengan hal yang dibahas pada awal tulisan, penelitian mengenai kemungkinan 'dunia luar' untuk ditinggali oleh manusia terus berjalan. Lalu, apalagi?

Dengan volume bumi yang konstan, dan pertumbuhan manusia yang terus melonjak ekstrim, benarkah bila bumi membutuhkan lahan daratan yang lebih luas? Apakah dengan membuang air laut ke laur angkasa? Ataukah hanya seleksi alam yang menentukan, sekiranya seperti yang digambarkan oleh Roland Emmerich pada film 2012?

Yang selama ini diterapkan oleh pola pikir kapitalisme bukanlah regenerasi, tapi kesuksesan instan dengan bermodalkan kekayaan. Bukti? Pemugaran panel surya yang dipasang oleh Jimmy Carter, presiden ke-39 Amerika Serikat, oleh Ronald Reagan, suksesornya, pada tahun 1986. Mungkin sepele, tapi presiden yang melakukan membuktikan sebuah kebijakan negara tersebut.

Meskipun begitu, masih ada negara yang berusaha 'solutif' dengan permasalahan global ini. Connie Hedegaard, menteri iklim dan energi Denmark, mengatakan bahwa negaranya sepakat berpolitik sehat dengan alam.

"Kami memutuskan untuk menggunakan pajak, maka energi dibuat relatif lebih mahal dan (karena itu) orang tergerak untuk berhemat dan berbuat apapun di rumah masing-masing supaya lebih efesien. Itu hasil dari tekad politik. Sebagai contoh, industri angin belumlah sebuah 'apa-apa' pada 1970-an. Kini, sepertiga dari semua turbin angin terestrial di dunia berasal dari Denmark", ujar Hedegaard.

Sedikit materi dalam notes ini telah tertuang dalam tulisan penulis dengan judul "Raksasa Jumawa". Apa intinya? Gerilya industri modern, yang sekarang ini seolah menjadi patokan pembangunan negara maju, membuat manusia semakin raksasa. Ketika diasumsikan satu orang dewasa memiliki satu sepeda motor, maka satu orang di dunia ini memiliki berat lebih dari 110 kg dan ukuran sekiranya dua kali lipat dari normal. Betapa sempitnya dunia ini, bukan?

Rasa ketidakpuasan manusia terkadang menghasilkan sebuah pembunuhan. Mengapa? Mengingat manusia adalah makhluk yang selalu ingin tahu dan dimungkinkan untuk berkembang, namun segala sesuatu yang 'terlalu' akan sangatlah memberatkan, apalagi bila dilakukan secara tidak imbang (antara pembangunan dan pengrusakan alam).

Maka, sepelik apakah dunia hari ini? Klaus Kelinfeld, direktur Alcoa yang merupakan pabrik alumunium kelas dunia, menggambarkannya dengan sebuah kalimat sederhana: "Sekarang, kemanapun Anda berpaling, Anda berjalan menuju ke leher botol"

Bagaimana menurutmu?

Mata Hamka


Manusia adalah makhluk Tuhan yang memiliki akal pikiran. Sejengkal otak dalam kepala manusia memiliki kemungkinan yang besar untuk mampu menyelesaikan ribuan persamaan logatirma, dan itulah yang memang terjadi di dunia. Para nama besar ilmuwan yang menopang kehidupan hingga hari ini, selayaknya Einstein dan Thomas Alfa Edison, mungkin dulu tidak banyak berpikir dan bertanya 'Akan jadi apakah saya nantinya?', namun mereka belajar, bukan hanya hidup dan bekerja.

Buya Hamka pernah berkata, "Kalau hidup sekedar hidup,  babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja."

Entah apa solusi yang solutif dari perkataan beliau tersebut, namun saya meyakini bahwa dengan belajar semua dapat terselesaikan. Kuasa manusia atas pikiran dan pandangan adalah anugerah terbesar Tuhan dalam kehidupan, dan beliau berpikir bahwa otak tidak cukup baik jika hanya dimanfaatkan untuk bekerja dan menyambung hidup. Elevasi kehidupan haruslah menjadi sebuah tujuan.

Dalam kehidupan, manusia dianugerahi panca indera untuk dapat terus belajar dan bekerja. Sepasang bola mata ialah salah satu bagian dari indera untuk melihat, yang kerap dimanfaatkan manusia untuk menjalani hari ini untuk besok dan besok untuk lusa.

Namun, bila memang Anda percaya bahwa pernyataan Buya Hamka diatas adalah benar, maka Anda harus percaya jika keberadaan mata (dan juga telinga) ialah untuk meraba. Tangan? Untuk bekerja. Kaki? Berjalan (atau mungkin berlari, yang juga bagian dari 'kerjaan').

Meraba kehidupan menjadi sebuah ide untuk menciptakan pandangan. Situasi perlu untuk dipelajari, sehingga manusia bisa menentukan aksi dan melangkah pasti dengan percaya diri. Semua tahu, perbedaan pandangan adalah hal rutin dalam kehidupan. Argumen menjadi hal yang dianggap manusia dapat 'menyelesaikan', sehingga 'melobi' terkadang menjadi hobi dan politik menjadi sesuatu yang tidak lagi antik dan unik.

Seorang ahli manajemen sumber daya manusia pernah berujar kepada saya, dan juga tujuh orang teman saya (yang memiliki pola pikir tak sama), bahwa sudah menjadi kodratnya bila manusia hidup dengan asas kepentingan dan kebutuhan akan sesuatu. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang 'bekerja' dengan kebutuhan untuk 'melanjutkan hidup'. Setuju? Hingga detik ini saya belum menemukan alasan untuk tidak setuju, seiring dengan kepercayaan ilmu ekonomi bahwa 'people respond to incentive'.

Tapi, satu hal yang pasti, hidup tidaklah hidup bila hanya sekedar 'melanjutkan hidup' dari hari ke hari, tanpa sebuah aksi yang (mungkin) melahirkan opsi dan mosi.

Kamis, 14 Juni 2012

Mimpi dan Ekspektasi


John Nash mungkin saja akan benar-benar menghabiskan sisa umurnya yang berguna dan liar biasa itu dengan terus ditemani oleh mereka, yang tampak ada namun tiada. Sebagian orang berkata ia gila, namun sebagian lagi paham bahwa beliau adalah luar biasa. Sebagian orang mencerca cara hidupnya, sebagian lagi prihatin dalam batin. Sebagian menganggap mungkin ia bermimpi sepanjang hidupnya, dimana sebagian lainnya percaya bahwa tentunya beliau tidak pernah ber-ekspektasi akan memiliki teman hidup yang fana.

Terlepas dari sepercik cerita sang Bapak Nobel Ekonomi 1994 ini, agaknya manusia memang terlihat lemah dalam membedakan mimpi dan ekspektasi. Sebenarnya, dua kata ini rancu untuk dijelaskan keberadaannya dan diterjemahkan artinya. Namun, sepertinya ada kata yang mampu mewakili perbedaan dua kata ini: perasaan

Mungkin sebagian dari kalian harus menjawab pertanyaan "Cita-citanya mau jadi apa nanti?" dari sanak keluarga pada umur yang sangat belia, 6 tahun. Entengnya, laki-laki menjawab "Pemain bola!" dan perempuan berkata "Aku mau jadi princess". Mimpi atau ekspektasi? Tampaknya waktu enam tahun mengenyam manisnya hidup belumlah cukup untuk menentukan cita-cita.

Siapapun berhak untuk memiliki cita-cita, dimana control variable disini diwakili oleh 'kesempatan' dan 'kemampuan'.

Ada sebuah quote yang mungkin terdengar cupu dan tergolong non-ambitious words, namun memberikan pemikiran baru bagi saya.

"Terkadang saya lebih baik menggantung cita-cita saya setinggi langit-langit. Walau rendah, tapi saya pasti bisa menggapainya". Sebuah kalimat yang menolak apa yang selama ini seringkali kita dengar, "Gantung cita-cita mu setinggi langit. Sekalipun harus jatuh, maka kamu akan meraih awan dibawahnya".

Bila saya meminta kesediaan Anda untuk memilih, manakah yang akan Anda pilih? The weak one or the mainstream? Hidup aman bagu kalian yang pilih opsi pertama, dan bersiaplah untuk menjalani kehidupan fluktuatif bagi kalian dengan aliran kedua.

Seorang sahabat berkata, bahwa tiada hal yang benar di dunia ini. Yang ada hanyalah perbedaan keyakinan dan kepercayaan pada suatu pendapat. Hal-hal ini diwarnai oleh perbedaan dimensi, paradigma, serta sudut pandang setiap individu dalam berfikir mengenai suatu fakta. Tapi, lupakanlah perbincangan mengenai benar dan salah, karena segala sesuatu bisa saja dibenarkan (dengan paksa), dan juga sebaliknya.

Dalam kehidupan, mimpi boleh jadi menjadi pelengkap. Menjadi bunga tidur ataupun film horor dalam lelap. Sedangkan ekspektasi menjadi pemuas asa, atau mungkin celah duka.

Ekspektasi melambangkan harapan, ambisi, dan tujuan yang disertai perasaan. Sedangkan mimpi (mungkin) hanya sekedar harapan, tanpa perasaan. Ekspektasi menjadi hobi bagi mereka yang risk-takers, orang-orang dengan kehidupan yang fluktuatif, dan percaya bahwa idiom 'high-risk, high-return' adalah sepenuhnya benar. Sedangkan mimpi bolehjadi gambaran bagi mereka yang santai, manusia dengan hobi memancing di sungai yang tenang, dan anti terhadap tontonan sekelas 'Fear Factor' dan semacamnya.

Bicara manusia, semua tentunyapunya hati dan logika. Perasaan (harusnya) menjadi jawaban atas semua tindakan. Tiada yang lebih nikmat dari menjalani apa yang seirama dengan kata hati. Namun ingat, sekali anda memutuskan untuk berekspektasi, bersiaplah atas segala risiko yang mungkin diterima. Juga bagi anda yang senang bermimpi, cobalah untuk tidak selalu terlena karena dunia tidak selamanya sebuah alam yang fana.

Jadilah Prof. Nash, yang tidak berekspektasi akan penyakitnya namun berhasil mengatasinya, sekalipun ada bagian 'mimpi' di dalam sana.

Senin, 12 Maret 2012

Grow With Capitalism, Mature With Socialism

Terlalu singkat hidup seorang manusia bila hanya dihabiskan untuk berbincang mengenai pola kehidupan makhluk itu sendiri. Berbincang tanpa melakukan terkadang menjadi hal yang mewakili kata ‘fana’ dengan sebaik-baiknya. Bergerak tanpa bicara mungkin menjadi suatu jalan yang baik, tapi bagaimana mungkin sebuah aksi dilakukan tanpa merumuskan apa yang hendak dilakukannya terlebih dahulu?

Sebagian manusia berbincang mengenai individu sendiri, dan sebagian lagi menghabiskan waktunya untuk kepentingan bersama. Sebut saja ‘Si Kapitalis’ sebagai pihak pertama, dan ‘Si Sosialis’ sebagai pihak kedua.

Ekonomi, dalam sejarahnya, telah dipenuhi oleh guratan-guratan ide dan pemikiran tokoh-tokoh fenomenal setiap zamannya. Merkantilis yang berbau 3G (Gold, Glory, Gospel) dalam pelaksanaannya, hingga paham-paham kapitalisme serta sosialisme yang hingga saat ini masih terjamah dalam kehidupan sehari-hari.

Perlu saya jelaskan bahwa tulisan saya kali ini adalah ide murni. Sesuatu yang saya anggap ‘ada benarnya’ dan membuat saya bergumam ‘ooooh iya, ya’. Tidak ada justifikasi untuk membenarkan pandangan ini, karena mungkin tidak akan cocok bagi sebagian dari kalian.

Kapitalisme mengajarkan pandangan akan pentingnya hidup dengan ‘profit-oriented. Tak peduli siapa anda, suku dan bangsa apa, butuh atau tidaknya anda. Satu hal yang jelas tercermin dari pemikiran ini adalah bebasnya persaingan yang menyebabkan kehidupan ‘yang kuat yang bertahan, yang lemah berantakan’.

Di lain sisi, sosialisme mengenalkan pola pikir sosial dalam setiap sistem dan pola kehidupannya. Asas sama rata dan anti-kesenjangan sosial menjadi ide utama dari sosialisme. Stabilitas kehidupan menjadi hal positif yang dibawa oleh pemikiran ini, dimana kehidupan akan menjadi aman dari goncangan beragam aspek. Mengapa? Karena asas sama rata dalam beragam tingkat kehidupan manusia.

Jika memang hanya dengan asumsi pengetahuan sebatas ini, manakah yang akan anda pilih? Kapitalisme yang fluktuatif dan menantang, ataukah sosialis demi keamanan dan kemerataan?

Kedua pola pikir ini tentunya memiliki sederet arti yang memberikan input pada pola pikir manusia, termasuk saya. Jika dikaitkan dalam pola pikir pendidikan, maka saya punya argumen akan hal ini.

Grow with capitalism, mature with socialism.

Kapitalisme mungkin memang diperdebatkan kemampuannya saat ini dalam sistem ekonomi dunia, terutama setelah krisis di Amerika Serikat tahun 2008 silam. Namun dalam beberapa pandangan saya, kapitalisme baik untuk diterapkan dalam kehidupan pendidikan.

Pola pikir ‘persaingan bebas’ adalah hal yang baik untuk memacu manusia menjadi yang terbaik. Bahkan, kalimat ‘yang kuat yang bertahan, yang lemah berantakan’ harusnya menjadi alasan mutlak setiap manusia untuk berusaha. Rasa takut akan gagal selalu ada, tapi jika tidak dicoba, mau apa?

Hal ini (sekali lagi, ini menurut saya) baik untuk diterapkan semasa manusia tumbuh dan berkembang. Insentif dalam kapitalisme menjadi salah satu pacuan untuk setiap manusia agar mau berusaha, begitupun dalam kehidupan. Sebuah pacuan dibutuhkan untuk membuat manusia berkembang. Contoh riil nya dalam pendidikan, mungkin iming-iming hadiah iPhone 4S bila mendapatkan IP sempurna?

Sesuai dengan hakikatnya, konstruksi kapitalisme adalah time-based self-destruction. Kapitalisme akan bertransformasi dengan sendirinya ke arah paham sosialisme seiring berjalannya waktu. Singkatnya, sebuah persaingan tentu memiliki akhir, yang pada akhirnya hadir sebuah keadaan dimana tidak ada lagi pesaing dalam pasar.

Mari ibaratkan keadaan tidak adanya pesaing dalam pasar sebagai keadaan dimana manusia telah mapan. Orang Jawa bilang, seorang anak telah menjadi ‘orang’. Apa yang dilakukan?

Berbagi adalah salah satu cara yang wajar dilakukan. Dengan siapa? Mereka yang membutuhkan. Caranya? Dengan mendidik secara kapitalisme? Contohnya? Sekali lagi, itu maksud orangtua anda menjanjikan sebuah iPhone 4S bila anda mendapatkan nilai sempurna. Insentif adalah bagian dari kapitalisme, dan berbagi adalah bagian dari sosialisme.

Sebuah pemerataan dapat dilakukan dengan sentralisasi kebijakan, dan sentralisasi kebijakan dapat dilakukan dengan adanya kekuatan. Manusia mapan tentunya telah memiliki kekuatan, dan dia tentunya bisa mengimplementasikan ‘pemerataan’ demi generasi bawahnya.

Spirit kapitalisme perlu menjadi dasar kehidupan manusia, ketika jiwa sosialisme anda akan tumbuh pada saatnya.

Lembaran Dunia

Sebenarnya, saya sendiri lupa sejak kapan saya menjadi orang pede dalam hal tulis-menulis. Sejak kecil, saya memang sering menulis, mungkin lebih banyak dari teman sebaya saya. Dalam lingkungan kaum bocah ingusan, saya mungkin menjadi satu dari sedikit bocah yang menulis buku diary. Cemen dan patut ditertawakan, hanya saja mungkin itu awal yang baik dalam tulis-menulis saya dewasa ini.


Ibu saya bilang, menulis sudah sewajarnya akrab dengan membaca. Semakin banyak baca, wawasan anda terbuka. Soal dunia dan beragam hal yang (awalnya) terbesit fana namun sebenarnya nyata. Pengetahuan terbuka dari lembaran kertas tumpukan kata-kata.


Sore ini hujan menjebak saya di Gramedia. Sebuah toko buku yang (sore ini) benar-benar tampak seperti balai pustaka. Jika definisi sebuah toko buku adalah tempat perpindahan tangan akan buku dengan uang, maka sore ini tidak tampak demikian. Kebanyakan orang berdiri atau duduk membaca dalam buku-buku itu dengan suara hati. Saya percaya mereka tidak akan beli, dan mereka tidak juga merusak segel yang ada, tapi hanya memanfaatkan buku yang telah ditelanjangi dari plastik pembungkusnya entah oleh siapa.


Saya pikir, jelaslah semua orang bercita-cita ingin memiliki pom bensin dan sedikit anak bangsa yang hendak memulai usaha jual beli buku jika seperti ini caranya. Goenawan Muhammad sendiri menerangkan dalam bagian pengantar bukunya yang berjudul 'Tokoh + Pokok' bahwa "Semua penerbit tahu bahwa mencetak buku lebih banyak ruginya ketimbang untungnya". Buku yang juga saya baca disana ini tentunya tidak merogoh kantong saya, karena memang sudah tiada bajunya.


Terbesit dalam otak saya, "Kalo emang gini caranya, untung makin lama makin dikit aja nih penulis-penulis buku." Namun saya terlampau malas untuk berpikir mengenai kalkulasinya. Yang kemudian terpikir oleh saya adalah perihal pahala.


Jika memang salah satu pahala yang tidak akan pernah putus adalah ilmu yang bermanfaat, maka setiap penulis tentunya memiliki pahala tiada tara jika yang ia tulis memiliki manfaat banyak untuk khalayak. Uang yang ditukarkan para pembaca dan setiap kalimat yang berguna bagi para pembacanya ditukar dengan pahala. Terlebih untuk para penulis yang tidak menukar karya mereka dengan apa apa dan mengikhlaskan segalanya, luar biasa pastinya.


Iseng-iseng saya juga membaca buku "99 Usaha Untuk Mahasiswa", dimana di dalamnya menjelaskan beragam jenis aktivitas yang mampu menghasilkan sesuatu yang berbau ekonomi. Menulis menjadi salah satu jenis aktivitas yang dianggap mampu menghasilkan. Benar bahwa menulis adalah kegiatan ekonomis, namun menulis bukanlah seperti itu.


Saya pikir, menulislah selama anda dapat mencurahkan segala hal yang berguna, karena itu dapat menjadi pahala. Mario Teguh mungkin dibayar mahal atas quotes ciptaannya, juga ceramahnya yang mengguncang logika manusia-manusia dibalik layar kaca. Apakah dia perlu meminta bayaran ketika menceramahi istrinya, anaknya, atau mungkin tetangganya dalam pertemuan lingkup RT (misalnya)? Luar biasa pelit beliau jika memang jawabannya adalah 'Iya'.


Seseorang pernah menganalogikan kehidupan dengan mewakilinya pada sebuah kalimat: "Idup itu makin lama makin keras, jadi harus licik". Orang lain juga pernah berkata, "Kadang dalam hidup akan bertemu dengan keadaan dimana 'Kalo lo gak ngebunuh, lo dibunuh'."


Kedua kalimat ini sungguh cukup mewakili egoisme manusia, dimana jelas semua ingin jadi pemenang. Benar, setuju saya ada bersama kedua kalimat diatas. Semua orang memiliki kebutuhan, dan mungkin sulit untuk memenuhi kebutuhkan non-prioritas terlebih dahulu dibandingkan dirinya sendiri (yang dapat membuat dirinya menjadi rugi). Kesempatan memang tidak pernah datang dua kali. Jika memang datang dua kali, tentunya ada pada detik yang berbeda. Hidup adalah sebuah pilihan, namun yakinkah anda akan memilih untuk tidak banyak berbagi?


70 tahun lewat sudah umur Goenawan Muhammad sekarang. Sederet buku telah ia ciptakan. Ribuan bukunya mungkin jadi objek pembajakan. Kerugian dihasilkan. Efektivitas ekonomi tentunya diragukan. Namun silahkan tilik ulang faktor apa yang membuat hal demikian terjadi.


Akankah manusia membajak buku yang tidak bernilai?

Akankah manusia membaca buku yang tidak menarik dan tidak menghasilkan kepuasan?

Apakah anda adalah manusia yang tidak butuh teman berbagi?


Ide yang anda sampaikan dalam lembaran kertas disana mungkin adalah 'dunia' bagi mereka. Dunia untuk membuka jalan mereka mengetahui apa yang ada dalam garis pikiran logika anda. Dan selain puji yang tercipta, dunia akan semakin mengenal siapa anda sebenarnya, dan melupakan price tag yang ada, lalu menilai apa yang sebenarnya terkandung dalam lembaran-lembaran yang dibaca.