Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Kamis, 20 Februari 2014

Ikan-Ikan Politik

Sejujurnya, saya bukanlah orang yang banyak mengerti seluk beluk politik Indonesia. Bagi saya, politik seringkali terlihat baik dan seringkali pula terlihat buruk. Prestasi politik di mata saya ini agaknya mudah untuk dibayangkan sebagai grafik yang sangat fluktuatif: Senin baik, Selasa hancur. Sebagai bagian dari pemuda non-partai, masyarakat sipil, mahasiswa ekonomi, dan calon pemilih pada Pemilu 2014, kebanyakan pengetahuan politik saya peroleh dari berita-berita yang beredar di media massa.

Tidak pernah rasanya saya tertarik bicara panjang soal politik karena saya selalu lebih tertarik berbicara soal pemikiran-pemikiran manusia dalam hidupnya. Kali ini, saya pikir sebuah keputusan politik telah mengecewakan saya sebagai penduduk Indonesia.

Berita #SaveRisma santer beredar di masyarakat hampir dua minggu terakhir ini. Semua pihak, dari kacamata saya melalui pemberitaan media massa, menyayangkan rencana pengunduran diri salah satu pemimpin terbaik pilihan Tempo 2013 ini. Dari yang saya coba telaah, beliau tampaknya telah bersiap diri untuk mundur dari kursinya terkait sederet isu politik yang menerpa kewajiban, hak, dan juga pribadinya.

Dari sisi kewajiban, beliau tampaknya memperoleh tekanan begitu kuat atas penolakan proyek pembangunan tol di Surabaya. Menurut Risma, proyek tol, yang telah 'gol' oleh walikota sebelumnya, tidak tampak cukup baik untuk mengentaskan permasalahan lalu lintas Surabaya. Dalam beberapa kesempatan, beliau tampak gigih untuk lebih memprioritaskan proyek trem yang direncanakan berjalan tahun ini. Agaknya, permasalahan ini juga pernah terjadi di Bandung, ketika gerakan #SaveBabakanSiliwangi akhirnya berhasil mencapai tujuannya melalui Ridwan Kamil.

Saya berpikir bahwa jelaslah setiap pemimpin memiliki cara tersendiri untuk memimpin kalangannya, baik itu skala kecil maupun besar. Kewajiban dalam pekerjaan politik seringkali terlihat 'di-sampah-in', salah satunya adalah proyek jalan tol ini. Seharusnya, tidak perlu ada polemik panjang lebar mengenai ini, karena pembangunan dijadwalkan untuk berjalan ketika Surabaya dipimpin oleh Risma, yang menolak. Apakah Risma harus dengan terpaksa meng-iya-kan dan pasrah atas jalannya proyek yang disetujui oleh pendahulunya? Ingat mental kita: Jika berhasil, semua ingat walikota yang lama. Jika gagal, salahkan yang sekarang.

Dari sisi hak dan pribadinya pun Risma tampak terganggu melalui ancaman pembunuhan hingga 'dikadali' oleh 'banteng' perihal pencalonan wakil walikota, yang akan berpasangan dengan Risma.

Atas dasar beberapa hal diatas, mungkin Risma akan memilih untuk mundur. Mundur ketika kewajiban, hak, dan pribadinya terganggu, setelah beliau sendiri mempertaruhkan tiga aspek tersebut demi kepentingan masyarakat. Saya rasa tidak perlu kita berbicara sebesar apa effort dan prestasi beliau selama hampir empat tahun terakhir ini karena seluruh informasi tersebar di media massa.

Namun, bicara mundur, tokoh penting lainnya yang terakhir mundur dari tanggung jawabnya adalah seorang menteri. Gita Wirjawan namanya, Menteri Perdagangan pos nya, Konvensi alasannya. Saya rasa semua juga telah mengetahui polemik ini, yang berisikan pro dan kontra, karena sudah berlalu cukup lama. Namun adakah diantara anda yang bisa memberikan saya alasan logis atas pengunduran dirinya?

Gita berkata bahwa alasan pengunduran dirinya adalah konvensi Partai Demokrat, dengan tujuan akhir memenangkan Pemilu 2014 (Sumber: http://www.merdeka.com/politik/5-cibiran-pada-gita-wirjawan-mundur-gara-gara-konvensi-demokrat.html). Dalam kesempatan lain, beliau juga berkata bahwa 'Saya mundur karena mampu memenangkan konvensi' (Sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/02/05/n0iw68-gita-wirjawan-saya-mundur-karena-mampu-menangkan-konvensi).

Terlepas dari keputusannya yang merupakan hak dari setiap individu, pos yang ditinggalkannya adalah pos sentral pembangunan negara ini, dan berada dalam posisi kritis. Kementerian Perdagangan merupakan kunci utama dari penerapan kebijakan pemerintah mengenai pemenuhan kebutuhan, terutama kebutuhan dalam negeri menyangkut sandang dan pangan. Logika saya berbicara: Kalau Anda bisa membenahi masalah ini sekarang, semua akan memandang dan semua tidak akan ragu atas potensi anda dalam memenangkan konvensi.

Keputusan mundur merupakan keputusan mental teri dari seorang politisi berjabatan menteri. Apakah kewajiban, hak, dan pribadinya telah terganggu sebagamana yang terjadi pada Risma? Menurut pemberitaan media massa, saya pikir tidak. Saya juga tidak meragukan pekerjaan beliau, dan saya yakin beliau selama ini menjalankan kewajiban-kewajibannya. Namun hal ini akan berujung pada satu pertanyaan: Berhasil gak?

Mungkin pertanyaan 'Berhasil gak?' itu terkesan sangat simpel, instan, dan tidak mempertimbangkan proses di balik layar. Jelek dan saya bukanlah orang yang pro terhadap kebijakan instan. Tapi bila ada sebagian orang yang berkata instan adalah buruk, bukankah kebijakan impor demi pemenuhan kebutuhan dalam negeri selama ini adalah instan?

Mundur selalu menjadi jalan terakhir yang harus ditempuh, bila memang benar-benar harus ditempuh. Selalu ada akhir dari setiap perjalanan, namun memilih untuk mengakhiri dengan self-intention selalu tampak tidak baik bagi saya.

Melihat kejadian-kejadian politik seperti ini, tampaknya kita semua dapat melihat beberapa sendi pemikiran masyarakat dalam memandang hidup. Penolakan terhadap pengunduran diri Risma tentunya bukan tanpa alasan: Beliau berhasil. Supply creates its own demand. Risma menawarkan banyak hal di masa depan setelah berhasil di masa kini, dan itu menciptakan gelombang permintaan masyarakat yang berjerit, "Bu, jangan mundur, KBS jadi kuburan kalau ibu mundur!".

Salah satu bagian favorit saya dalam perkuliahan adalah diagungkannya mahasiswa ilmu ekonomi sebagai 'peramal masa depan' dengan apa yang sering disebut forecasting. Ekonomi menjelaskan bahwa high-risk, high-return adalah hal yang sewajarnya terjadi, dan ini pun berlaku dari sisi sumber daya manusia. Semakin tinggi tanggung jawab seseorang, maka semakin besar pula dua hal yang terkait padanya: keberhasilan dan kegagalan.

Di sisi lain juga terlihat pihak-pihak yang merasa alasan pengunduran diri Gita adalah hal yang dapat dimaklumi dan tidak. Sebagian yang maklum mungkin tidak melihat masa depan berdasarkan masa kini, dan sebagain yang tidak maklum mungkin melihat masa depan berdasarkan masa kini. Untuk kasus ini, mari kita lihat apakah menteri yang pede ini mampu memenangkan konvensi atau tidak, karena otak politik sempit saya sekali lagi ingin berteriak: Kalo lo gagal (lagi), terus apa konsekuensi dari status eks-Menteri Perdagangan anda, yang akan dibawa hingga akhir hayat nanti?

Masa depan, tetaplah di depan dan teruslah tergantung di depan, karena jika sekarang adalah masa depan, maka apa lagi yang harus diperjuangkan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar