Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Sabtu, 28 Mei 2011

Dua Sisi, Pilihan, dan Konsistensi

Dalam keseharian, selalu terdapat waktu untuk memilih berbagai pilihan dengan sederet kemungkinan yang hasilnya hanya dapat diperkirakan. Kearah manapun anda berfikir, sejauh apapun, sekreatif apapun, tetap saja ketidakpastian itu muncul sebagai sebuah jawaban. Tidak pernah ada sesuatu yang pasti untuk setiap kemungkinan.


Satu-satunya kepastian yang diberikan dari sebuah kemungkinan adalah 'opsi'. Opsi, atau langkah, adalah hal hal yang pasti ada dan harus di pilih sebagai sebuah jawaban dari permasalahan yang hadir. Tanpa melangkah, anda adalah benda mati. Tak perlu hiraukan dahulu apakah anda akan melangkah maju atau mundur, tapi pilihan anda untuk melangkah adalah permasalahan awal yang harus diselesaikan.


Layaknya sepakbola, tidak ada salahnya kan untuk melakukan passing ke belakang? Sebaliknya, melangkah kedepan terlalu jauh dan terlalu cepat adalah sebuah off-sideyang melanggar peraturan.


Lahirnya beragam pilihan bisa saja terjadi pada saat yang bersamaan. Suatu saat anda merasa tidak punya pilihan, dan saat berikutnya anda merasa memiliki beragam pilihan. Sebuah hal yang wajar, mengingat pilihan terkadang tidak hanya output dari pemikiran sendiri, tapi juga dari lingkungan, keadaan, atau mungkin kawan dan rekan-rekan.


Namun, disini kita tidak membicarakan berapa pilihan yang dimiliki, tetapi tentang satu pilihan yang harus dipilih. Konsistensi, cita-cita, atau mungkin goal adalah beberapa kata yang bisa mewakili apa yang dimaksud dari 'hanya sebuah pilihan'


Baik pria maupun wanita, asal mereka masih manusia, rasanya wajib untuk menentukan sebuah pilihan, dan selayaknya pilihan itu harus dipikirkan matang-matang, jangan sampai dirasa baik untuk pribadi sendiri, tapi buruk untuk pihak lain sisi.


Malam ini perhelatan final sepakbola eropa, mari kita ambil contoh dari sisi sepakbola.


Semua tahu Lionel Messi adalah seorang striker kelas dunia milik Barcelona. Andaikan oleh anda, saat ini Barcelona dipimpin oleh seorang pelatih baru. Sang pelatih, entah dari sisi pandang mana, menilai bahwa Messi cocok bermain sebagai seorang pemain belakang.


Messi, yang dikenal sebagai pemain baik hati dan jarang lepas kontrol emosi di dalam dan luar lapangan, menerima keputusan sang pelatih untuk memainkannya sebagai seorang pemain belakang, walau dalam hatinya ia tidak suka tapi ia memilih untuk menerima.


Percobaan pertama, Messi dinilai bermain baik sebagai pemain belakang dan pelatih yang merasa diberi 'angin segar' terus merasa pede dengan keputusannya memainkan Messi sebagai pemain belakang. Ia melihat Messi senang akan keputusannya, walau di sisi lain Messi 'terpaksa menerima' karena tidak enak dan hanya tidak ingin memiliki hubungan buruk dengan pelatih saat ini.


Cerita diatas memperlihatkan apa yang dinamakan dua sisi yang berinteraksi. Interaksi fisik terjadi dengan cover yang baik, tapi entah dengan batin serta hati. Sebuah pilihan selayaknya diprioritaskan untuk menjalani kehidupan, dan harus mempertimbangkan dari dua sisi. Dalam pandangan saya, Messi harus lantang bicara tidak bila memang dia tidak suka, sehingga sang pelatih dapat mengerti dan tidak seperti diberi harapan kosong yang segar oleh seorang striker sekaliber Messi.


Jujur terhadap kata hati adalah sebuah sisi, dan isilah sisi lainnya dengan pilihan yang telah dipertimbangkan matang-matang demi anda dan pihak-pihak lainnya.

Kau Percaya, Maka Berharga

Pernahkah anda membaca sebuah 'cerita rakyat modern'? Sebuah cerita yang beredar dari internet,instant message, e-mail, hingga broadcast message? Mungkin sebagian banyak diantara kalian adalah figur-figur yang pernah membacanya, walau hanya sedikit yang memperhatikan. Namun, pernahkah anda memperhatikan sebuah cerita mengenai kepercayaan?


Cerita itu memiliki inti dimana sebuah kepercayaan tidak ubahnya sebuah paku yang telah ditanamkan ke dinding. Sekali engkau percaya, maka itu akan tertanam kuat. Sekali engkau mengkhianati, hal itu akan dicabut terpaksa dan membekas selamanya.

Sebuah cerita yang menurut saya sederhana, tapi tidak hanya masuk dengan logika, melainkan juga 'ngena' dengan jalan pikiran suara hati. Kepercayaan disini hadir dengan status 'sakral' dan tidak bisa sembarang dibongkar-pasang. Butuh usaha untuk menanamkan, dan sakit ketika harus untuk melepaskan.


Mahal? Jelas!


Sesuatu dikatakan mahal tidak didasari oleh sumber daya maupun power dari calon konsumen, tetapi dari tingkat kebutuhan dan ukuran rasionalitas fungsional. Walaupun anda seorang Richie Rich, atau mungkin Bruce Wayne, yang hartanya memiliki bilangan yang tidak dapat lagi terbilang, pasti akan berfikir puluhan kali untuk membeli sebuah ponsel Nokia 1112 seharga $1000.


Mengapa? Jawabannya adalah sebuah pertanyaan retorik. "Buat apa?"


Setelah itu, saya yakin bahwa mereka-mereka yang bilionaire tidak akan ragu bila menggunakan $1000 untuk membeli sebuah sepeda motor, dengan asumsi mereka benar-benar membutuhkannya, setidaknya untuk pembantunya.


Kepercayaan menjadi sebuah komoditas yang mahal. Terbentuk dengan proses yang tidak dapat digantikan, dialihfungsikan, ataupun dijual kembali!


Bingung? Bagi anda yang k*skus-er, mungkin malah saya yang bingung bila anda tidak mengerti dengan apa yang saya jabarkan diatas. Salah satu situs terpopuler di Indonesia ini menjaring transaksi dan informasi berdasarkan asas kepercayaan.


Online shopping merupakan salah satu aktifitas penuh asas kepercayaan. Beragam cara di gunakan untuk mengukur tingkat kepercayaan, salah satunya dengan status pengguna akun tersebut. Dari'newbie' hingga mungkin 'addict' adalah salah satu tolok ukur seberapa pantaskah kepercayaan anda dipercayakan pada para pihak kedua atau ketiga.


Kepercayaan juga membuat anda dapat memperoleh sesuatu yang benar-benar berharga. Kepercayaan ada dalam setiap lubuk hati, hingga segala aktivitas yang selama ini kita lalui.


Akhir dari segala pencapaian atas dasar kepercayaan, janganlah pernah lupa untuk berucap 'terima kasih!'

Sabtu, 14 Mei 2011

Kamu Bicara Kamu

Inspirasi kembali hinggap dalam kamar mandi sore ini, entah mengapa, tapi ini sering terjadi akhir-akhir ini. Mandi sore membuat saya kembali fresh untuk menyongsong siaran siaran olahraga di malam hari.


Setiap manusia memiliki kemampuan yang berbeda, dan sepatutnya setiap insan manusia memaksimalkan apa yang mereka punya. Mengapa? Efesiensi bakat dan efektifitas usaha adalah jawabannya. Menurut saya, usaha untuk mengejar sebuah asa adalam sesuatu yang wajib hukumnya, namun tentu usaha yang dilakukan untuk sebuah hal yang sangat jauh dari kemampuan dan bakat kita membutuhkan energi dan waktu yang lebih lama dibandingkan usaha untuk mengejar sesuatu yang 'mungkin' menjadi bakat kita.


Contoh, seorang yang terampil dalam menggambar mungkin tidak begitu terampil dalam berhitung. Tentu, bila dia berusaha memahirkan skill menggambarnya akan membutuhkan usaha yang tidak sekeras usaha untuk memahirkan berhitung, karena pada dasarnya dia tidak terampil dalam berhitung. Waktu yang dibutuhkan baginya untuk terampil menghitung sebuah soal al-jabar pasti akan jauh lebih lama dibandingkan dengan waktu yang dia butuhkan untuk terampil menggambar sebuah bajaj.


Yang jadi pokok permasalahan, bagaimana setiap insan manusia dapat menilai dirinya sendiri dalam hal 'bakat' dan 'keunggulan'?


Dunia modern dengan segala teknologi terbarukan tentunya akan menyarankan untuk tes bakat, pergi ke psikolog handal, finger-print, dan segala hal lainnya. Apa ada yang bisa membuktikan seberapa besar kejituan media media penilai bakat tersebut, selain teori teori dasar dari setiap bidangnya?


Seorang psikolog mungkin melandasi segala asumsi yang dia berikan pada kita dengan segala teori-teori perkuliahannya dahulu, dan juga pengalaman-pengalamannya selama ini. Akankah selamanya teori-teori tersebut benar-benar dapat diandalkan?


Disini saya tidak berusaha memberikan pola pikir untuk tidak percaya pada semua media-media penilai bakat tersebut, namun menyarankan anda untuk pede dan sedikitlah bersikap sombong.


Aneh? Tidak menurut saya, karena pada dasarnya yang benar-benar mengetahui diri anda, adalah anda sendiri. Otak anda sejak lahir tidak pernah diganti, dan sejak lahir hanya otak itulah yang menggerakan seluruh jiwa raga anda. Lalu, mengapa anda harus begitu percaya penuh terhadap penilaian dari otak orang lain? Sedikitlah pede dan bersikap sombong.


Di sisi lain, sebenarnya bukan merupakan sebuah kesalahan bila media-media tersebut anda gunakan untuk bahan acuan, penambah wawasan dan pandangan serta pola pikir. Gampangnya, sebagai pihak ketiga untuk input segala hal, serupa seperti diskusi anda dengan kedua orang tua atas suatu masalah. Setuju?


Masalah lainnya, seberapa handalkah anda menilai diri anda sendiri?


Mari kita ambil sebuah contoh. Akuntansi adalah sebuah ilmu yang membutuhkan kesabaran dalam memandang setiap angka, berikut dengan tanda titik dan koma di dalamnya. Ketika anda ingin memilih ilmu tersebut untuk dipelajari, (misal saya memberi dua faktor yang mempengaruhi) lebih penting untuk menimbang 'kemampuan berhitung' atau 'ketelitian kerja' ? Keduanya adalah hal yang penting, mungkin sama pentingnya, dan andalah yang bisa menilai diri anda sendiri.


Hal yang sama juga terjadi pada pendidikan desain. Lebih penting 'pandai menggambar' atau 'pandai berimajinasi'?


Tentu tidak akan menjadi sebuah masalah bila anda menguasai segala faktor-faktor yang harus dipertimbangkan, dan anda adalah salah satu yang terbaik diantara rekan anda lainnya. Namun bila terjadi sebuah ketimpangan pada salah satu faktor, pilihannya cuma satu : Pikir ulang baik-baik, bersikaplah pede dan jangan ragu untuk sedikit sombong atas kemampuan anda.