Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Kamis, 14 Juni 2012

Mimpi dan Ekspektasi


John Nash mungkin saja akan benar-benar menghabiskan sisa umurnya yang berguna dan liar biasa itu dengan terus ditemani oleh mereka, yang tampak ada namun tiada. Sebagian orang berkata ia gila, namun sebagian lagi paham bahwa beliau adalah luar biasa. Sebagian orang mencerca cara hidupnya, sebagian lagi prihatin dalam batin. Sebagian menganggap mungkin ia bermimpi sepanjang hidupnya, dimana sebagian lainnya percaya bahwa tentunya beliau tidak pernah ber-ekspektasi akan memiliki teman hidup yang fana.

Terlepas dari sepercik cerita sang Bapak Nobel Ekonomi 1994 ini, agaknya manusia memang terlihat lemah dalam membedakan mimpi dan ekspektasi. Sebenarnya, dua kata ini rancu untuk dijelaskan keberadaannya dan diterjemahkan artinya. Namun, sepertinya ada kata yang mampu mewakili perbedaan dua kata ini: perasaan

Mungkin sebagian dari kalian harus menjawab pertanyaan "Cita-citanya mau jadi apa nanti?" dari sanak keluarga pada umur yang sangat belia, 6 tahun. Entengnya, laki-laki menjawab "Pemain bola!" dan perempuan berkata "Aku mau jadi princess". Mimpi atau ekspektasi? Tampaknya waktu enam tahun mengenyam manisnya hidup belumlah cukup untuk menentukan cita-cita.

Siapapun berhak untuk memiliki cita-cita, dimana control variable disini diwakili oleh 'kesempatan' dan 'kemampuan'.

Ada sebuah quote yang mungkin terdengar cupu dan tergolong non-ambitious words, namun memberikan pemikiran baru bagi saya.

"Terkadang saya lebih baik menggantung cita-cita saya setinggi langit-langit. Walau rendah, tapi saya pasti bisa menggapainya". Sebuah kalimat yang menolak apa yang selama ini seringkali kita dengar, "Gantung cita-cita mu setinggi langit. Sekalipun harus jatuh, maka kamu akan meraih awan dibawahnya".

Bila saya meminta kesediaan Anda untuk memilih, manakah yang akan Anda pilih? The weak one or the mainstream? Hidup aman bagu kalian yang pilih opsi pertama, dan bersiaplah untuk menjalani kehidupan fluktuatif bagi kalian dengan aliran kedua.

Seorang sahabat berkata, bahwa tiada hal yang benar di dunia ini. Yang ada hanyalah perbedaan keyakinan dan kepercayaan pada suatu pendapat. Hal-hal ini diwarnai oleh perbedaan dimensi, paradigma, serta sudut pandang setiap individu dalam berfikir mengenai suatu fakta. Tapi, lupakanlah perbincangan mengenai benar dan salah, karena segala sesuatu bisa saja dibenarkan (dengan paksa), dan juga sebaliknya.

Dalam kehidupan, mimpi boleh jadi menjadi pelengkap. Menjadi bunga tidur ataupun film horor dalam lelap. Sedangkan ekspektasi menjadi pemuas asa, atau mungkin celah duka.

Ekspektasi melambangkan harapan, ambisi, dan tujuan yang disertai perasaan. Sedangkan mimpi (mungkin) hanya sekedar harapan, tanpa perasaan. Ekspektasi menjadi hobi bagi mereka yang risk-takers, orang-orang dengan kehidupan yang fluktuatif, dan percaya bahwa idiom 'high-risk, high-return' adalah sepenuhnya benar. Sedangkan mimpi bolehjadi gambaran bagi mereka yang santai, manusia dengan hobi memancing di sungai yang tenang, dan anti terhadap tontonan sekelas 'Fear Factor' dan semacamnya.

Bicara manusia, semua tentunyapunya hati dan logika. Perasaan (harusnya) menjadi jawaban atas semua tindakan. Tiada yang lebih nikmat dari menjalani apa yang seirama dengan kata hati. Namun ingat, sekali anda memutuskan untuk berekspektasi, bersiaplah atas segala risiko yang mungkin diterima. Juga bagi anda yang senang bermimpi, cobalah untuk tidak selalu terlena karena dunia tidak selamanya sebuah alam yang fana.

Jadilah Prof. Nash, yang tidak berekspektasi akan penyakitnya namun berhasil mengatasinya, sekalipun ada bagian 'mimpi' di dalam sana.