Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Jumat, 29 Oktober 2010

Sukses 3 --> Bahagia


Banyak orang berkata, bahwa bahagia adalah segalanya. Benarkah? Saya pikir sih, jelas benar. Karena rasa bahagia itu memberi kita segalanya, segala yang kita inginkan walau tidak tersadarkan karena berada jauh di alam bawah sadar.


Ini sudah notes ketiga saya mengenai sukses, sampai Racol nyuruh denger lagu Saykoji yang judulnya Sukses, dan saya masih saja terus menulis mengenai sukses ini karena merasa bahwa sukses adalah sesuatu yang wajib untuk diraih, dan menarik untuk ditilik dari berbagai sisi pandang pikiran manusia.


Awkay, kembali ke kata ‘Bahagia’.


Berbeda dari notes saya yang sebelumnya, saya tidak akan menilik terlalu jauh mengenai saat saat ‘searching a college for write your future’, tetapi lebih ke arah kehidupan.


Bahagia itu apa? Bahagia itu perasaan. Sesuatu yang lahir dari rasa senang yang terfermentasi seiring alur kehidupan. Perasaan yang dapat membuat seseorang terus bertahan untuk hidup, yang membuat seseorang yakin bahwa dia benar benar merasakan bahwa hidup ini tuh punya dia dan membuat dia serta memiliki alasan untuk terus hidup dan sangat jauh dari pikiran bahwa ‘mati lebih baik dari hidup’, pikiran yang sepertinya sih nyangkut di otak otak ‘remaja leher tali rapia’. Artinya? Ada aksi dan reaksi timbal balik disana, yang berhasil menciptakan mabuk kebahagiaan.


Dengan bahagia, yang bisa dinyatakan dalam ribuan situasi dalam hidup anda setiap saatnya, anda seringkali akan merasa puas, sebuah kata sukses yang saya jabarkan dalam notes mengenai sukses sebelumnya (Lihat “Sukses 2 --> Puas”)


Lalu, kenapa sekarang saya artikan bahwa sukses itu bahagia? Karena bahagia mencakup range-range yang diwakili oleh kata ‘puas’. Ketika anda merasa puas, sekalipun itu puas membalas dendam terhadap seseorang, ada gejolak bahagia yang lahir dalam batin anda. Namun ketika anda bahagia, hal itu belum tentu lahir karena suatu kepuasan.


Banyak sekali orang berasumsi dan mengasumsikan orang lain bahwa sukses itu mapan, hidup sejahtera. Namun, saya berfikiran beda dari manusia manusia ‘objektif’ ini. Bagi saya, sukses itu tidak hanya mapan, karena Mario Teguh pun berkata “Apa seorang bapak yang tinggal dengan istana yang besar, dapat dijamin kebahagiaannya?” Pertanyaan yang bagus, karena anda sekarang berfikir bahwa jelaslah gak ada gunanya kalo berantem mulu sama bini nya, benar?


Jika hidup adalah deretan angka angka, dengan standar kehidupan pada angka 75, saya akan memilih meraih angka 75 itu dengan nilai 75 untuk keluarga dan 75 untuk harta, ketimbang 90 dalam harta dan 60 dalam keluarga, atau mungkin 85 untuk keluarga dan 65 untuk harta.


Pada akhirnya memang ini merupakan keputusan pribadi yang dapat berubah sesuai dengan prioritas dalam tiap situasi kehidupan yang selalu berubah, namun anggaplah asumsi diatas sebagai ukuran hingga akhir hayat anda. Akan menyenangkan bukan bila anda membuang waktu anda secara adil sampai kisah kehidupan anda tutup buku?


Maka jelaslah bahwa sukses itu adalah bahagia. Sukses dirasakan oleh anda dan pihak kedua, atau keberapapun yang ada dalam hidup anda, ketika anda menikmati hidup anda senikmat nikmatnya hidup, tanpa menghiraukan suara parau eksternal yang mengganggu kenikmatan anda mengirup kebahagiaan.


Fakta yang ada, sebagian dari kalian mungkin akan tetap bahagia kan mendapat nilai yang bagus, atau mungkin lulus dalam suatu ujian seleksi masuk perguruan tinggi nasional, walau anda sendiri tau ada aksi kecurangan disana atau faktor lainnya yang membantu anda dapat masuk (sumbangan misalnya), benar? Anda tidak akan menghiraukan dan membuang terlalu banyak waktu anda untuk mendengarkan gossip diluar sana, karena anda merasa puas dan bahagia.


Sulit sekali memisahkan kata sukses dari ‘mapan’. Mapan memang penting, namun apa daya bila tidak dapat menikmatinya?


Menilik akun Facebook saya satu rekan SD ibu saya, beliau pernah menulis status yang menarik. “Ngalamun: Belum tentu Aburizal Bakrie tidur lebih nyenyak daripada saya, dan belum tentu tidur saya lebih nyenyak dari tidur mang baso tahu yang baik ini”


Beliau yang menulis status diatas, menurut info yang saya dapat, telah menjabat sebagai president director di salah satu perusahaan swasta yang mungkin memang miliknya pribadi. Masih mau menilai kalau sukses hanya sekedar mapan, sekalipun beliau yang saya sebutkan diatas telah mapan dan masih memiliki pikiran sedemikian dalam mengenai ‘kenyamanan tidur’? Jelas bahwa tidur nyenyak adalah kebahagiaan dan kepuasan.

Sabtu, 16 Oktober 2010

Mimpi dari Pelosok Negeri

Obrolan saya dengan seseorang yang bercerita mengenai mimpi dia dan kawan kawannya membawa saya merasa bahwa tokoh tokoh dalam Laskar Pelangi dan cerita cerita yang serupa benar benar nyata sepenuhnya. Check it right here!


Beberapa saat yang lalu, saya menjalani sebuah ospek jurusan yang menamakan dirinya 'PPJ', kependekan dari 'Program Profesionalisme Jurusan' dalam program studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. Sebuah ospek yang, well, lumayan keras dan memberi saya banyak cerita menarik di dalamnya sekaligus menguras isi dompet tanpa ampun.


Dalam ospek yang berjalan sekitar 8 hari tersebut, kami dituntut untuk menjadi satu kesatuan yang terdiri dari 185 kepala mahasiswa baru. Sesuatu yang sulit, karena saya pernah merasakan betapa sulitnya mengumpulkan anggota OSIS di SMA yang memiliki anggota hanya sekitar 80 kepala siswa.

Senior menekankan beberapa hal kepada kami agar kami, satu angkatan prodi ESP, dapat menjadi satu kesatuan yang solid dan kompak. Satu kalimat yang masih teringat dengan jelas dalam memori saya adalah jawaban atas pertanyaan yang berbunyi, "Bagaimana agar kami bisa kompak dan kenal satu sama lain?"


Senior yang berperan sebagai Tim Evaluasi (TE), jabatan yang membutuhkan sifat sifat jutek dan segala tetek bengeknya agar dapat membentuk kami menjadi mahasiswa yang teladan dalam tugas dan kompak dalam universitas, menjawab bahwa satu satunya cara ialah dengan keluar dari area nyaman, sharing dan tukar pikiran dengan orang yang berbeda visi serta misi dengan diri kita.


Saya berfikir, mana ada orang yang berbeda visi serta misi dengan saya dalam prodi ini? Kami berdiri menjunjung nama jurusan yang sama, tentu visi dan misi kami pastinya serupa. Setuju? Palingan cuma beda jabatan yang diimpikan dalam cita-cita, dan cara untuk mencapai itu semua. Namun selebihnya saya yakin kami semua pasti memiliki visi dan misi yang sama, belajar dan sukses.


Namun, saya pikir tidak ada salahnya untuk bertukar pikiran dengan mereka yang berasal dari tempat yang jauh dengan saya. Mereka yang mungkin tidak hidup di kota besar layaknya Jakarta dan Bandung. Mereka yang memiliki pengalaman one-hundred percent berbeda dengan siswa siswa yang memiliki otak cetakan guru guru di kota besar.


Saya kemudian bertukar pikiran dengan seorang kawan yang berasal dari sebuah pesantren besar dan sudah terkenal secara skala internasional yang terletak di Pulau Jawa, Indonesia. Dan dia menggiring pembicaraan kita menjadi sebuah topik menarik, dan memberikan saya cerita mengenai pengalaman hidup seorang siswa yang sangat sulit ditemukan dari mulut siswa siswa seperti saya dan kebanyakan siswa lainnya.


Apa?


Sang narasumber ini bercerita mengenai kehidupan dia di pesantren yang begitu keras. Enam tahun menimba ilmu plus satu tahun mengajar disana sebagai bentuk pilihan pengabdian pada masyarakat adalah jalan hidup yang dia lewati dengan keras selepas lulus dari sekolah dasar.


Satu hal yang membuat saya tertarik dengan ceritanya yang panjang ialah 'mimpi'.


Dia bercerita, bahwa tidak semua siswa disana memiliki cita cita menjadi seorang agamawan, ustad, atau profesi yang berbau keagamaan, seperti apa yang dipelajari sebagai majorisasi pendidikan selama enam tahun di sana. Sebagian dari mereka ingin keluar, dan meneruskan pendidikan di luar lingkungan pesantren, termasuk dia. Dia bersama beberapa temannya memiliki mimpi, dan berkata bahwa memang mimpi lah yang membuat dia nekat untuk berjuang masuk gerbang perkuliahan.


Mengapa saya katakan nekat? Karena pendidikan mereka tidak menomorsatukan akademis, tapi lebih kearah pembentukan jati diri serta kepribadian. Mereka tidak mengenal jurusan ipa, ips, atau bahasa. Dia bercerita bahwa dia belajar mata pelajaran yang serupa dengan sekolah kebanyakan di Indonesia, kecuali ekonomi, tapi akhirnya dia dapat menembus gerbang fakultas ekonomi melalui SNMPTN. Lebih jauh, dia mengatakan bahwa memang benar dia belajar lebih banyak mata pelajaran dari sekolah lainnya, karena dia juga diwajibkan untuk kelas english conversation, arabic conversation, hingga kelas filsafat hidup.


Secara keseluruhan, dia sendiri menyimpulkan bahwa disana tidak banyak diberikan pelajaram, tetapi pengajaran. Sesuatu yang dibutuhkan negeri ini, karena telah rusaknya pendidikan di negeri kita.


Menurut ceritanya, pesantren dia tidak memberikan UN alias Ujian Nasional, ujian yang bocornya 'mampus-mampusan' di beberapa daerah setiap tahunnya, termasuk Kota Bogor. Dia dan beberapa rekannya yang memiliki 'mimpi' untuk menjadi seorang mahasiswa memutuskan untuk mencari tempat les dan akhirnya mengikuti UN 'nebeng' di sebuah Madrasah kecil di daerah sana. Segalanya mereka urus sendiri, tanpa campur tangan pesantrennya.


Alhamdulillah, dia dan beberapa rekannya lulus semua dalam UN 'nebeng' tersebut. Selanjutnya? Mereka memilih Kota Bandung sebagai tempat untuk les berikutnya, dan berusaha sekeras kerasnya untuk dapat menjadi mahasiswa di Bandung ini. Sekali lagi saya ingatkan, bahwa mereka disini berjuang dengan mimpi, karena bekal akademis mereka tidak cukup bahkan untuk UN sekalipun.


Dengan les inilah, sebagian dari mereka pun mencoba untuk mengikuti Ujian Mandiri dari beberapa universitas, juga SNMPTN. Sekarang, mereka semua berhasil menjadi mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Padjajaran, Institut Teknologi Bandung, dan seorang dari mereka di Universitas Islam Bandung.


Mungkin ada dari anda yang kesal baca notes ini ya? Garing dan membosankan. Hanya saja, saya sangat terinspirasi dengan apa yang mereka sebut dengan 'mimpi'. Sesuatu yang sulit saya temukan dalam diri saya dan teman teman saja. Mimpi yang mereka maksud, lebih dari sekedar cita-cita.


Mengapa lebih? Karena seorang siswa SMA biasa sudah sewajarnya bercita cita untuk kuliah dan menjadi seorang sarjana di bidang yang dia pilih, dengan fasilitas di kota yang memadai. Akademis yang di-dewa-kan di sekolah sekolah unggulan di kota kota besar, dan juga belasan pilihan tempat les dari berbagai institusi semakin memudahkan kita sebagai siswa SMA biasa. Mereka? Tidak.


Satu lagi, pengajaran pada dasarnya sesuatu yang lebih baik dari pendidikan, dan mereka, sang anak anak penuh 'mimpi' itu mendapatkannya.