Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Rabu, 22 Desember 2010

Torehan

Torehan bisa berarti 'sesuatu yang kita raih'. Sesuatu yang tercapai -sukses tercapai, dan itu merupakan tujuan dari apa yang ingin engkau raih.


Sebenarnya, semua orang tau bahwa gak ada yang mudah untuk meraih segala sesuatu yang kita inginkan terwujud secara sempurna. Ketika Anda A, dan kenyataan memberi anda sebuah opsi B, maka akan ada dua tipe manusia.


Manusia pertama, orang yang akan mengubah goal dalam dirinya menjadi B, karena merasa setelah dia berusaha maksimal untuk meraih A, Tuhan memberkatinya dengan sebuah B.

Sedangkan manusia kedua, ialah manusia yang 'batu' pada tujuan hidupnya. Boleh jadi, ia adalah orang yang tidak berhenti untuk mengejar dan memperjuangkan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Mengapa? Satu ciri pasti yang tersirat dalam pikirannya: Ingin meraih torehan sesuai dengan apa yang ia cita-citakan.


Mungkin bila menyeret bahasan dalam tulisan ini ke hadapan seorang ustad, satu hal yang pertama dia ucapkan adalah, 'Belajarlah untuk ikhlas'. Mungkin, lho. Saya sama sekali tidak memberi input yang memaksakan logika Anda untuk beranggapan demikian, tapi saya pikir Anda akan memiliki pandangan yang sama dengan saya.


Benarkah harus ikhlas? Seorang yang tidak (atau mungkin belum) berhasil membuat torehan positif sesuai apa yang ia inginkan kebanyakan akan berkata bahwa ia telah benar-benar maksimal dalam berusaha. Lalu, apa setelah dia berusaha maksimal dan berujung pada kegagalan, ia harus berhenti dari perjuangannya dan menerima segala kenyataan yang ada (secara bulat-bulat, tanpa kompromi, dan dengan pikiran pasrah seolah olah memaksakan hati untuk ikhlas)?


Semua orang punya tujuan, dan tentunya terdapat banyak perbedaan yang lahir dari setiap pola pikir manusia. Tapi, percayalah, perbedaan yang ada dalam setiap kalangan manusia adalah rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Apa yang kita butuhkan hanyalah kesempatan untuk menyelaraskan tujuan dan cita-cita, serta untuk saling memahami hingga tercapai kehidupan yang madani.


Ikhlas itu wajib, tapi akan tersalur dengan dua jalan dimana seseorang akan 'memakan' ikhlas tersebut secara langsung, dan seorang lainnya 'menunda' untuk memakan ikhlas tersebut hingga percobaan nya yang terakhir untuk menorehkan detik kehidupannya sesuai dengan angan-angannya.


Ada di bagian manakah Anda berada?

Ceritaku, Punyamu

Terkadang sulit untuk melakukan, tapi setelah memulai anda akan terkesan...

Terkadang sulit untuk berkata, tapi anda mudah untuk terbawa...

Terkadang sulit untuk ada disana, tapi semua nyata dan muncul depan muka anda...

Cerita saya dan anda, ada dalam benak setiap IPA 2...

Sulit untuk menuliskan inspirasi kali ini, karena video nya bikin speechless banget. Jujur, kreasinya dibuat pasti dengan mata terbuka, tapi setelah menyaksikan maka saya merasa gelap mata dan cuma hati yang bicara

Special thanks buat Raydi dan Purwanto atas digital-history-flashback dan kreasi di dalamnya. Kata-kata didalamnya membuat semua berwarna.

http://www.facebook.com/video/video.php?v=1749851747852&oid=127891413939378&comments

Click it whenever you ready to flashback

Kamis, 09 Desember 2010

Kesempurnaan


Saya yang menulis ini bukanlah seorang remaja pintar agama, tapi saya beragama dan senantiasa mempelajarinya. Dia yang memberi inspirasi pertanyaan pada saya pun adalah makhluk yang ‘mirip-mirip’ dengan saya. Entah, malam itu terucap beberapa pertanyaan mengenai Tuhan, yang saya simpulkan masuk dalam katerogi bahasan Filsafat Theis.


Saya lupa apa yang tengah kita bicarakan, hingga logika menyambar ke sebuah kalimat.


H : Sal, kenapa ya Tuhan nyiptain kitab gak cuma sekali? Katanya sempurna, tapi kitab kita tuh kitab penyempurna. Berarti sebelumnya tuh ga sempurna kan? Buat apa diciptain yang ga sempurna dulu? Kan ajarannya jadi beda-beda


I : (Ngasal) Ya biar setan ada kerjanya kali? Hahahaha


Setelah itu, masih banyak rundingan mengenai jawaban yang tepat dari pertanyaan itu. Kami memang belum mengecek apakah hal ini dapat terjawab ataukah memang sebuah pertanyaan yang tidak pantas dilontarkan, seperti, “Kenapa Tuhan Islam namanya Allah SWT?”


Saya, tepatnya kami, tidak sampai pada sebuah titik temu dimana bisa menjawab pertanyaan yang ada diatas. Kami berasumsi bahwa bila hanya ada satu kitab, pasti tidak akan ada perbedaan asal usul agama bukan? Hanya satu agama yang benar, tetapi dengan adanya penurunan kitab hingga lebih dari satu kali membuat perbedaan paham diantara para manusia, dan hal ini sudah pasti terjadi karena manusia memiliki akal yang luar biasa.


Lalu lahir lah pertanyaan kedua,


I : Kenapa ya definisi makhluk paling sempurna itu ada pada manusia?

Semua orang bisa jawab, karena manusia memiliki akal, nafsu, hati nurani, perasaan, dan sederet sifat sifat lainnya yang dimiliki oleh setiap manusia normal. Yang jadi pertanyaan sebenarnya, “Mengapa bila memiliki sifat sifat tersebut, digolongkan sempurna?”


Di dunia ini, ketika seorang wanita mendeskripsikan pria dambaannya, pria yang perfect menurutnya, pasti mereka menyebutkan kata kata diantara ini : ganteng, baik, sabar, dewasa, sopan, penyayang, soleh, pengertian, tajir, dan lain lain


Memang preferensi setiap orang tentunya akan berbeda, dan pasti tidak semua preferensi setiap orang telah disebutkan oleh saya diatas. Tapi, satu hal yang pasti, tidak satupun sifat negatif akan disebutkan di atas.


Ganteng adalah positifnya dari jelek, begitu pula soleh dengan kafir, ataupun sabar dengan pemarah.


Sederet hal ini lah yang dalam logika manusia dikatakan sebagai ‘sempurna’. Lalu kenapa definisi manusia itu makhluk ‘paling sempurna’ berlaku, padahal dengan segala kemampuan manusia itu mereka dapat terjerumus dalam ‘ketidaksempurnaan’, benar?


Hal ini juga dipertanyakan oleh Goenawan Mohammad dalam bukunya, ‘Tuhan & Hal-Hal yang Tak Selesai. Sebuah buku yang memuat 99 hal yang ‘tidak terselesaikan’ atau ‘tidak diselesaikan’ oleh Tuhan, yang seolah nyepet (nyindir) 99 Asmaul Husna. Dalam bagian ke 43, beliau bercurah mengenai manusia, ciptaan yang di dalamnya terkandung ‘sesuatu yang gagal

Bagian ini diakhiri dengan kalimat, “Artinya Ia tidak pernah selesai dengan manusia. Mungkin Ia tak pernah puas. Ia mencintainya tapi harus menyaksikan cacatnya.”

Rabu, 01 Desember 2010

Beruntung, Ber-untung

Seminggu yang lalu, jam menunjukan pukul 23.30, dan ketika sedang asyik making work-shit (worksheet) dan Uber-uberan (Twitter), muncul sebuah tweet dari seorang kawan yang nge-spam di otak gue.

“Coba lebih beruntung hidup gue kaya temen temen gue”

Dalam pikiran saya, kenape juge nih anak biasanya selalu banyak komentar banget sama segala tweet-tweet orang, sampe males deh kalo ini anak muncul, tapi malem ini kok kayaknya beda...

Saya sempet mikir, jangan-jangan ini orang cuma mau ngeramein timeline-nya aja, biar banyak di re-tweet sama followers-nya, biar ga ngantuk, atau biar apa kek dah bisa macem-macem alesan buat hal sepele beginian. Whatever lah, mau dia jungkir balik juga saya gak peduli. Tapi ini membuat saya berpikir, “Sebenarnya apa sih yang dimaksud beruntung?”

Sejauh ini, hampir semua note yang saya buat selalu aja nyerempet sama sesuatu yang berbau kehidupan, nasib, pencarian jati diri, curhat, dan lainnya. Tentang sukses yang udah sampe edisi 3, dan saya kembali menemukan suatu fakta untuk dicari intinya. Keberuntungan.

Seorang guru saya di zaman SMA pernah berujar, “Orang yang pintar itu kalah dengan orang yang beruntung.” Saya pikir, ada benarnya juga, bahkan banyak! Orang yang pintar, belajar, berusaha memperbaiki dirinya dari hari ke hari mungkin akan kalah dengan seseorang yang beruntung pada saat hari penilaian, yang tidak menghiraukan aspek aspek perjuangan.

Kalah di mata dunia, tapi tidak di mata Pencipta.

Itu merupakan jawaban yang tepat menurut saya, karena Pencipta saja menguraikan proses bagaimana penciptaan langit dan bumi, bagaimana mungkin Tuhan yang Maha Kuasa itu mengabaikan proses proses pencapaian suatu tujuan?

Mungkin bila anda ingin berdebat dengan mereka yang menurut anda ‘beruntung’, berujarlah, “Keberuntungan memenangkan anda dalam persaingan, tapi tidak memberi anda kemampuan untuk menyerang dan bertahan”. Dengan keberuntungan, tanpa usaha, dari sononya udah mendapatkan sesuatu yang ‘lebih’ dari orang lain. Sesuatu yang mungkin menjadi impian dan cita-cita sebagian kalangan.


Ada kalanya ketika anda merasa telah berusaha semaksimal mungkin, namun anda tetap tidak dapat memutar balikan fakta bahwa pada akhirnya anda (misalnya) kalah dari seorang rekan yang sepengetahuan anda tidak berusaha dengan maksimal. Bahkan, mungkin anda adalah pihak yang sering menjadi pihak kedua, dimana anda ‘merasa beruntung’ karena unggul dengan mereka mereka (para pesaing anda) yang anda sendiri yakin dalam hati bahwa usaha saya tidak ada apa-apanya dibandung usaha mereka. Benar?

Ketika anda menjadi pihak yang berani mempertaruhkan tenaga anda untuk berusaha demi suatu tujuan dan berhasil, maka sewajarnya anda berujar bahwa, “Alhamdulillah, itu rezeki saya.”

Namun bila ada menjadi pihak kedua, dengan enteng, ringan, dan wajah berseri anda berteriak, “Hoki gue!”

Beruntung memang abstrak untuk dijelaskan, karena entah darimana datangnya. Tuhan? Saya pikir tidak, karena Tuhan memberi kita rezeki, bukan ‘hoki’.

Beruntung menjadikan anda ada dalam posisi ber-untung, memiliki keunggulan lebih satu tingkat diatas orang orang disekitar anda. Benarkah? Benar, bila anda terus menerus melihat ke bawah. Dan anda akan merasa tidak beruntung, bila anda terus menerus melihat keatas.

Saya jadi ingat kata-kata senior saya, Deri, Ketua Angkatan 2006 IESP Unpad, yang berujar bahwa dalam hidup itu dibutuhkan apa yang namanya ‘keseimbangan’. Dalam konteks ini saya artikan, lihatlah semua yang ada di sekeliling anda, lalu tentukan ada dimana posisi anda sebenarnya sekarang ini.

Namun, kebohongan besar bila saya mengatakan bahwa tiada manusia yang mengininkan keberuntungan dalam hidupnya. Maka, selesaikanlah segalanya dengan ucapan syukur pada Tuhan. Niscaya akan melegakan dan melunturkan pandangan bahwa “Saya tidak lebih beruntung dari dirinya” dan memberikan anda modal awal spirit “Saya bisa lebih baik darinya”

I

Terkadang hati tidak suka kompromi
Kompromi, menghabiskan waktu secara tak berarti

Hati, terkadang sulit dimengerti
Mewakili sesuatu yang (sebenarnya) tak terpahami
Dan memahami apa apa yang alami

Dunia berputar dalam aksi dan imajinasi
Langit yang (dasarnya) surgawi
Alam yang tersakiti
Sabar meronta dalam negeri

Sabar untukmu, Negeri
Kami
Dan saya yang menjejakan kaki diatas bumi
Sekarang berusaha memperbaiki
Segala yang telah terjadi, yang menjadi amukan bumi
Merapi dan Tsunami

Satu khayal dalam diri,
Ketika tiada politisi yang memanfaatkan ini
Menjadi fondasi
Untuk kekuasaan esok hari

Indonesia Kami, Indonesia Abadi !