Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Rabu, 22 Desember 2010

Torehan

Torehan bisa berarti 'sesuatu yang kita raih'. Sesuatu yang tercapai -sukses tercapai, dan itu merupakan tujuan dari apa yang ingin engkau raih.


Sebenarnya, semua orang tau bahwa gak ada yang mudah untuk meraih segala sesuatu yang kita inginkan terwujud secara sempurna. Ketika Anda A, dan kenyataan memberi anda sebuah opsi B, maka akan ada dua tipe manusia.


Manusia pertama, orang yang akan mengubah goal dalam dirinya menjadi B, karena merasa setelah dia berusaha maksimal untuk meraih A, Tuhan memberkatinya dengan sebuah B.

Sedangkan manusia kedua, ialah manusia yang 'batu' pada tujuan hidupnya. Boleh jadi, ia adalah orang yang tidak berhenti untuk mengejar dan memperjuangkan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Mengapa? Satu ciri pasti yang tersirat dalam pikirannya: Ingin meraih torehan sesuai dengan apa yang ia cita-citakan.


Mungkin bila menyeret bahasan dalam tulisan ini ke hadapan seorang ustad, satu hal yang pertama dia ucapkan adalah, 'Belajarlah untuk ikhlas'. Mungkin, lho. Saya sama sekali tidak memberi input yang memaksakan logika Anda untuk beranggapan demikian, tapi saya pikir Anda akan memiliki pandangan yang sama dengan saya.


Benarkah harus ikhlas? Seorang yang tidak (atau mungkin belum) berhasil membuat torehan positif sesuai apa yang ia inginkan kebanyakan akan berkata bahwa ia telah benar-benar maksimal dalam berusaha. Lalu, apa setelah dia berusaha maksimal dan berujung pada kegagalan, ia harus berhenti dari perjuangannya dan menerima segala kenyataan yang ada (secara bulat-bulat, tanpa kompromi, dan dengan pikiran pasrah seolah olah memaksakan hati untuk ikhlas)?


Semua orang punya tujuan, dan tentunya terdapat banyak perbedaan yang lahir dari setiap pola pikir manusia. Tapi, percayalah, perbedaan yang ada dalam setiap kalangan manusia adalah rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Apa yang kita butuhkan hanyalah kesempatan untuk menyelaraskan tujuan dan cita-cita, serta untuk saling memahami hingga tercapai kehidupan yang madani.


Ikhlas itu wajib, tapi akan tersalur dengan dua jalan dimana seseorang akan 'memakan' ikhlas tersebut secara langsung, dan seorang lainnya 'menunda' untuk memakan ikhlas tersebut hingga percobaan nya yang terakhir untuk menorehkan detik kehidupannya sesuai dengan angan-angannya.


Ada di bagian manakah Anda berada?

Ceritaku, Punyamu

Terkadang sulit untuk melakukan, tapi setelah memulai anda akan terkesan...

Terkadang sulit untuk berkata, tapi anda mudah untuk terbawa...

Terkadang sulit untuk ada disana, tapi semua nyata dan muncul depan muka anda...

Cerita saya dan anda, ada dalam benak setiap IPA 2...

Sulit untuk menuliskan inspirasi kali ini, karena video nya bikin speechless banget. Jujur, kreasinya dibuat pasti dengan mata terbuka, tapi setelah menyaksikan maka saya merasa gelap mata dan cuma hati yang bicara

Special thanks buat Raydi dan Purwanto atas digital-history-flashback dan kreasi di dalamnya. Kata-kata didalamnya membuat semua berwarna.

http://www.facebook.com/video/video.php?v=1749851747852&oid=127891413939378&comments

Click it whenever you ready to flashback

Kamis, 09 Desember 2010

Kesempurnaan


Saya yang menulis ini bukanlah seorang remaja pintar agama, tapi saya beragama dan senantiasa mempelajarinya. Dia yang memberi inspirasi pertanyaan pada saya pun adalah makhluk yang ‘mirip-mirip’ dengan saya. Entah, malam itu terucap beberapa pertanyaan mengenai Tuhan, yang saya simpulkan masuk dalam katerogi bahasan Filsafat Theis.


Saya lupa apa yang tengah kita bicarakan, hingga logika menyambar ke sebuah kalimat.


H : Sal, kenapa ya Tuhan nyiptain kitab gak cuma sekali? Katanya sempurna, tapi kitab kita tuh kitab penyempurna. Berarti sebelumnya tuh ga sempurna kan? Buat apa diciptain yang ga sempurna dulu? Kan ajarannya jadi beda-beda


I : (Ngasal) Ya biar setan ada kerjanya kali? Hahahaha


Setelah itu, masih banyak rundingan mengenai jawaban yang tepat dari pertanyaan itu. Kami memang belum mengecek apakah hal ini dapat terjawab ataukah memang sebuah pertanyaan yang tidak pantas dilontarkan, seperti, “Kenapa Tuhan Islam namanya Allah SWT?”


Saya, tepatnya kami, tidak sampai pada sebuah titik temu dimana bisa menjawab pertanyaan yang ada diatas. Kami berasumsi bahwa bila hanya ada satu kitab, pasti tidak akan ada perbedaan asal usul agama bukan? Hanya satu agama yang benar, tetapi dengan adanya penurunan kitab hingga lebih dari satu kali membuat perbedaan paham diantara para manusia, dan hal ini sudah pasti terjadi karena manusia memiliki akal yang luar biasa.


Lalu lahir lah pertanyaan kedua,


I : Kenapa ya definisi makhluk paling sempurna itu ada pada manusia?

Semua orang bisa jawab, karena manusia memiliki akal, nafsu, hati nurani, perasaan, dan sederet sifat sifat lainnya yang dimiliki oleh setiap manusia normal. Yang jadi pertanyaan sebenarnya, “Mengapa bila memiliki sifat sifat tersebut, digolongkan sempurna?”


Di dunia ini, ketika seorang wanita mendeskripsikan pria dambaannya, pria yang perfect menurutnya, pasti mereka menyebutkan kata kata diantara ini : ganteng, baik, sabar, dewasa, sopan, penyayang, soleh, pengertian, tajir, dan lain lain


Memang preferensi setiap orang tentunya akan berbeda, dan pasti tidak semua preferensi setiap orang telah disebutkan oleh saya diatas. Tapi, satu hal yang pasti, tidak satupun sifat negatif akan disebutkan di atas.


Ganteng adalah positifnya dari jelek, begitu pula soleh dengan kafir, ataupun sabar dengan pemarah.


Sederet hal ini lah yang dalam logika manusia dikatakan sebagai ‘sempurna’. Lalu kenapa definisi manusia itu makhluk ‘paling sempurna’ berlaku, padahal dengan segala kemampuan manusia itu mereka dapat terjerumus dalam ‘ketidaksempurnaan’, benar?


Hal ini juga dipertanyakan oleh Goenawan Mohammad dalam bukunya, ‘Tuhan & Hal-Hal yang Tak Selesai. Sebuah buku yang memuat 99 hal yang ‘tidak terselesaikan’ atau ‘tidak diselesaikan’ oleh Tuhan, yang seolah nyepet (nyindir) 99 Asmaul Husna. Dalam bagian ke 43, beliau bercurah mengenai manusia, ciptaan yang di dalamnya terkandung ‘sesuatu yang gagal

Bagian ini diakhiri dengan kalimat, “Artinya Ia tidak pernah selesai dengan manusia. Mungkin Ia tak pernah puas. Ia mencintainya tapi harus menyaksikan cacatnya.”

Rabu, 01 Desember 2010

Beruntung, Ber-untung

Seminggu yang lalu, jam menunjukan pukul 23.30, dan ketika sedang asyik making work-shit (worksheet) dan Uber-uberan (Twitter), muncul sebuah tweet dari seorang kawan yang nge-spam di otak gue.

“Coba lebih beruntung hidup gue kaya temen temen gue”

Dalam pikiran saya, kenape juge nih anak biasanya selalu banyak komentar banget sama segala tweet-tweet orang, sampe males deh kalo ini anak muncul, tapi malem ini kok kayaknya beda...

Saya sempet mikir, jangan-jangan ini orang cuma mau ngeramein timeline-nya aja, biar banyak di re-tweet sama followers-nya, biar ga ngantuk, atau biar apa kek dah bisa macem-macem alesan buat hal sepele beginian. Whatever lah, mau dia jungkir balik juga saya gak peduli. Tapi ini membuat saya berpikir, “Sebenarnya apa sih yang dimaksud beruntung?”

Sejauh ini, hampir semua note yang saya buat selalu aja nyerempet sama sesuatu yang berbau kehidupan, nasib, pencarian jati diri, curhat, dan lainnya. Tentang sukses yang udah sampe edisi 3, dan saya kembali menemukan suatu fakta untuk dicari intinya. Keberuntungan.

Seorang guru saya di zaman SMA pernah berujar, “Orang yang pintar itu kalah dengan orang yang beruntung.” Saya pikir, ada benarnya juga, bahkan banyak! Orang yang pintar, belajar, berusaha memperbaiki dirinya dari hari ke hari mungkin akan kalah dengan seseorang yang beruntung pada saat hari penilaian, yang tidak menghiraukan aspek aspek perjuangan.

Kalah di mata dunia, tapi tidak di mata Pencipta.

Itu merupakan jawaban yang tepat menurut saya, karena Pencipta saja menguraikan proses bagaimana penciptaan langit dan bumi, bagaimana mungkin Tuhan yang Maha Kuasa itu mengabaikan proses proses pencapaian suatu tujuan?

Mungkin bila anda ingin berdebat dengan mereka yang menurut anda ‘beruntung’, berujarlah, “Keberuntungan memenangkan anda dalam persaingan, tapi tidak memberi anda kemampuan untuk menyerang dan bertahan”. Dengan keberuntungan, tanpa usaha, dari sononya udah mendapatkan sesuatu yang ‘lebih’ dari orang lain. Sesuatu yang mungkin menjadi impian dan cita-cita sebagian kalangan.


Ada kalanya ketika anda merasa telah berusaha semaksimal mungkin, namun anda tetap tidak dapat memutar balikan fakta bahwa pada akhirnya anda (misalnya) kalah dari seorang rekan yang sepengetahuan anda tidak berusaha dengan maksimal. Bahkan, mungkin anda adalah pihak yang sering menjadi pihak kedua, dimana anda ‘merasa beruntung’ karena unggul dengan mereka mereka (para pesaing anda) yang anda sendiri yakin dalam hati bahwa usaha saya tidak ada apa-apanya dibandung usaha mereka. Benar?

Ketika anda menjadi pihak yang berani mempertaruhkan tenaga anda untuk berusaha demi suatu tujuan dan berhasil, maka sewajarnya anda berujar bahwa, “Alhamdulillah, itu rezeki saya.”

Namun bila ada menjadi pihak kedua, dengan enteng, ringan, dan wajah berseri anda berteriak, “Hoki gue!”

Beruntung memang abstrak untuk dijelaskan, karena entah darimana datangnya. Tuhan? Saya pikir tidak, karena Tuhan memberi kita rezeki, bukan ‘hoki’.

Beruntung menjadikan anda ada dalam posisi ber-untung, memiliki keunggulan lebih satu tingkat diatas orang orang disekitar anda. Benarkah? Benar, bila anda terus menerus melihat ke bawah. Dan anda akan merasa tidak beruntung, bila anda terus menerus melihat keatas.

Saya jadi ingat kata-kata senior saya, Deri, Ketua Angkatan 2006 IESP Unpad, yang berujar bahwa dalam hidup itu dibutuhkan apa yang namanya ‘keseimbangan’. Dalam konteks ini saya artikan, lihatlah semua yang ada di sekeliling anda, lalu tentukan ada dimana posisi anda sebenarnya sekarang ini.

Namun, kebohongan besar bila saya mengatakan bahwa tiada manusia yang mengininkan keberuntungan dalam hidupnya. Maka, selesaikanlah segalanya dengan ucapan syukur pada Tuhan. Niscaya akan melegakan dan melunturkan pandangan bahwa “Saya tidak lebih beruntung dari dirinya” dan memberikan anda modal awal spirit “Saya bisa lebih baik darinya”

I

Terkadang hati tidak suka kompromi
Kompromi, menghabiskan waktu secara tak berarti

Hati, terkadang sulit dimengerti
Mewakili sesuatu yang (sebenarnya) tak terpahami
Dan memahami apa apa yang alami

Dunia berputar dalam aksi dan imajinasi
Langit yang (dasarnya) surgawi
Alam yang tersakiti
Sabar meronta dalam negeri

Sabar untukmu, Negeri
Kami
Dan saya yang menjejakan kaki diatas bumi
Sekarang berusaha memperbaiki
Segala yang telah terjadi, yang menjadi amukan bumi
Merapi dan Tsunami

Satu khayal dalam diri,
Ketika tiada politisi yang memanfaatkan ini
Menjadi fondasi
Untuk kekuasaan esok hari

Indonesia Kami, Indonesia Abadi !

Selasa, 23 November 2010

Nilai

Semasa saya SMP, saya ‘di anugerahi’ sebuah pikiran yang menurut saya mulia dan banyak berpengaruh terhadap hidup saya, walau sempat miss di di dua tahun pertama masa SMA. “Belajar biar ngerti, bukan biar nilai tinggi”. Mulia gak menurut Anda?


Banyak rekan berkata, “Kebanyakan bacot lo Sal”, atau rekan lainnya memilih untuk tidak menanggapi sama sekali mengenai apa yang menjadi pemikiran saya tersebut. Pada dasarnya, saya pun tidak terlalu banyak memikirkan tentang kalimat tersebut, tapi kalimat tersebut yang banyak memberi saya pikiran dan menuntun saya bergerak melalui masa SMP.


Ok, fine. Itu pelajaran, topik paling sampah untuk dibicarakan sekarang karena we need to grow up faster today. Satu hal yang ingin saya goreskan dalam catatan membosankan ini adalah, bagaimana dengan nilai nilai kehidupan?


Nilai bisa diartikan sebagai tanggapan, atau mungkin sebuah penghargaan dari pencapaian akan sesuatu. Pertanyaannya, apa yang anda capai dalam hidupmu?


Hidup, menurut saya, harus memiliki arti dan mencapai sesuatu yang ber-arti. Gamblangnya, sebuah pencapaian yang bisa anda banggakan, dan dikenang oleh banyak kepala manusia. Hari ini, tepat ketika saya menari-kan jemari, saya menyadari bahwa hidup harus meninggalkan nilai, dan jangan sampai menghilangkan nilai.


Sebagai sosok yang dikenang tidak boleh menjadi prioritas atau cita cita kehidupan, namun tiada salah bila anda jadikan sebuah kebanggaan. Ketika banyak orang menilai anda ‘demikian’, tapi saya tidak punya banyak kesempatan untuk melakukan penilaian. Satu kepala miss dari nilai anda yang berharga. Tapi, haruskan aku salahkan Tuhan? Jangan, itu menandakan kamu seorang bajingan.


Sebuah kepenatan dan kebosanan umumnya merupakan tombol start dari proses penghilangan nilai seseorang dalam kehidupannya. Otomatis, ya, sangat otomatis.


Kesibukan merupakan tombol delay dari sebuah proses memasukan nilai kedalam kehidupan, karena hidup anda akan penuh dengan proses memasukan nilai-nilai dari sudut kehidupan lainnya. Delay yang tidak berjangka waktu.


Dan tidak semua orang tahu rasa ketika aksi anda tidak menghasilkan reaksi yang sempurna, mengena, dan menjadi sebuah omong kosong yang biasa saja. Ini interaksi jiwa antar manusia, maka pihak kedua pun terkadang kecewa tidak mendapatkan nilai yang cukup ‘wah’ dari pihak pertama.


Waktu, batasan kehidupan yang dapat menghambat jalan dari segala penilaian. Kembali menyalahkan Tuhan? Tak ubahnya credit card yang memiliki jatuh tempo, bayarlah sebanyak apa yang kamu korbankan demi uang dan pekerjaan, untuk waktu yang terbuang.


Bandung, 25 Oktober 2010. I, I’ll pray more for you Dad

Kata dan Cerita

Kata, sesuatu yang selalu ada dalam benak manusia, dan ‘berkata’ selalu ada dalam kegiatan manusia. Bahkan, mereka yang bisu pun berkata kata dalam hatinya mengenai segala input yang masuk dalam jalan pikir mereka. Sekalipun mereka tuli, saya yakin mereka punya hati yang menjadi media untuk berkata kata tanpa suara.


Masalahnya, setiap kata yang diucapkan itu tentunya punya maksud tertentu, dan tidak semua orang dapat mengerti dan menanggung kebesaran nilai dari kata kata tersebut.


Ketika dosen agama saya bercerita tentang Umar bin Khattab yang masuk Islam setelah terkesima akan bahasa sastra dalam Surat Toha, dimana Umar yang juga merupakan sastrawan Arab jempolan tidak percaya bahwa Rasulullah SAW-lah yang ‘mengarang’ ayat ayat tersebut. Maka nilai dari kata-kata Al-Qur’an ini sungguh tidak ternilai, siapa yang bisa membuat sejarah baru bila Umar tidak masuk Islam saat itu juga?


Kata kata membentuk cerita, suatu rangkaian yang dapat memberi nilai bagi mereka yang membaca. Ofensif atau bahkan melankolis hanyalah sebagian dari banyaknya tipe susunan kata-kata menurut nilainya.


Terkadang, perasaan manusia melahirkan kata-kata tanpa memperhitungkan nilai dari ucapannya. Sebagai penulis anak bawang, saya bilang aja kalo “Lidah lebih tajam daripada pedang”. Kata-kata yang terlontarkan dengan ringan, lebih ringan dari saat-saat menghunuskan sebuah pedang, menusuk lebih tajam pada kenyataan.


Keadaan kedua, lebih menarik bahwa ternyata ada saat saat dimana manusia menunggu sebuah kata, agar mendapatkan sebuah nilai yang tertera dalam angan, namun kata-kata itu tak kunjung datang. Melontarkan kata-kata lebih dahulu adalah hal yang mudah, namun menunggu sebuah kata bisa jadi sebanding dengan sulitnya mengendalikan sebuah sapi gila yang kejang-kejang.


Ketika kata-kata yang diharapkan tak kunjung datang, nilai pun tertunda kedatangannya. Otomatis: menghasilkan cerita yang berbeda esok harinya.

Jumat, 29 Oktober 2010

Sukses 3 --> Bahagia


Banyak orang berkata, bahwa bahagia adalah segalanya. Benarkah? Saya pikir sih, jelas benar. Karena rasa bahagia itu memberi kita segalanya, segala yang kita inginkan walau tidak tersadarkan karena berada jauh di alam bawah sadar.


Ini sudah notes ketiga saya mengenai sukses, sampai Racol nyuruh denger lagu Saykoji yang judulnya Sukses, dan saya masih saja terus menulis mengenai sukses ini karena merasa bahwa sukses adalah sesuatu yang wajib untuk diraih, dan menarik untuk ditilik dari berbagai sisi pandang pikiran manusia.


Awkay, kembali ke kata ‘Bahagia’.


Berbeda dari notes saya yang sebelumnya, saya tidak akan menilik terlalu jauh mengenai saat saat ‘searching a college for write your future’, tetapi lebih ke arah kehidupan.


Bahagia itu apa? Bahagia itu perasaan. Sesuatu yang lahir dari rasa senang yang terfermentasi seiring alur kehidupan. Perasaan yang dapat membuat seseorang terus bertahan untuk hidup, yang membuat seseorang yakin bahwa dia benar benar merasakan bahwa hidup ini tuh punya dia dan membuat dia serta memiliki alasan untuk terus hidup dan sangat jauh dari pikiran bahwa ‘mati lebih baik dari hidup’, pikiran yang sepertinya sih nyangkut di otak otak ‘remaja leher tali rapia’. Artinya? Ada aksi dan reaksi timbal balik disana, yang berhasil menciptakan mabuk kebahagiaan.


Dengan bahagia, yang bisa dinyatakan dalam ribuan situasi dalam hidup anda setiap saatnya, anda seringkali akan merasa puas, sebuah kata sukses yang saya jabarkan dalam notes mengenai sukses sebelumnya (Lihat “Sukses 2 --> Puas”)


Lalu, kenapa sekarang saya artikan bahwa sukses itu bahagia? Karena bahagia mencakup range-range yang diwakili oleh kata ‘puas’. Ketika anda merasa puas, sekalipun itu puas membalas dendam terhadap seseorang, ada gejolak bahagia yang lahir dalam batin anda. Namun ketika anda bahagia, hal itu belum tentu lahir karena suatu kepuasan.


Banyak sekali orang berasumsi dan mengasumsikan orang lain bahwa sukses itu mapan, hidup sejahtera. Namun, saya berfikiran beda dari manusia manusia ‘objektif’ ini. Bagi saya, sukses itu tidak hanya mapan, karena Mario Teguh pun berkata “Apa seorang bapak yang tinggal dengan istana yang besar, dapat dijamin kebahagiaannya?” Pertanyaan yang bagus, karena anda sekarang berfikir bahwa jelaslah gak ada gunanya kalo berantem mulu sama bini nya, benar?


Jika hidup adalah deretan angka angka, dengan standar kehidupan pada angka 75, saya akan memilih meraih angka 75 itu dengan nilai 75 untuk keluarga dan 75 untuk harta, ketimbang 90 dalam harta dan 60 dalam keluarga, atau mungkin 85 untuk keluarga dan 65 untuk harta.


Pada akhirnya memang ini merupakan keputusan pribadi yang dapat berubah sesuai dengan prioritas dalam tiap situasi kehidupan yang selalu berubah, namun anggaplah asumsi diatas sebagai ukuran hingga akhir hayat anda. Akan menyenangkan bukan bila anda membuang waktu anda secara adil sampai kisah kehidupan anda tutup buku?


Maka jelaslah bahwa sukses itu adalah bahagia. Sukses dirasakan oleh anda dan pihak kedua, atau keberapapun yang ada dalam hidup anda, ketika anda menikmati hidup anda senikmat nikmatnya hidup, tanpa menghiraukan suara parau eksternal yang mengganggu kenikmatan anda mengirup kebahagiaan.


Fakta yang ada, sebagian dari kalian mungkin akan tetap bahagia kan mendapat nilai yang bagus, atau mungkin lulus dalam suatu ujian seleksi masuk perguruan tinggi nasional, walau anda sendiri tau ada aksi kecurangan disana atau faktor lainnya yang membantu anda dapat masuk (sumbangan misalnya), benar? Anda tidak akan menghiraukan dan membuang terlalu banyak waktu anda untuk mendengarkan gossip diluar sana, karena anda merasa puas dan bahagia.


Sulit sekali memisahkan kata sukses dari ‘mapan’. Mapan memang penting, namun apa daya bila tidak dapat menikmatinya?


Menilik akun Facebook saya satu rekan SD ibu saya, beliau pernah menulis status yang menarik. “Ngalamun: Belum tentu Aburizal Bakrie tidur lebih nyenyak daripada saya, dan belum tentu tidur saya lebih nyenyak dari tidur mang baso tahu yang baik ini”


Beliau yang menulis status diatas, menurut info yang saya dapat, telah menjabat sebagai president director di salah satu perusahaan swasta yang mungkin memang miliknya pribadi. Masih mau menilai kalau sukses hanya sekedar mapan, sekalipun beliau yang saya sebutkan diatas telah mapan dan masih memiliki pikiran sedemikian dalam mengenai ‘kenyamanan tidur’? Jelas bahwa tidur nyenyak adalah kebahagiaan dan kepuasan.

Sabtu, 16 Oktober 2010

Mimpi dari Pelosok Negeri

Obrolan saya dengan seseorang yang bercerita mengenai mimpi dia dan kawan kawannya membawa saya merasa bahwa tokoh tokoh dalam Laskar Pelangi dan cerita cerita yang serupa benar benar nyata sepenuhnya. Check it right here!


Beberapa saat yang lalu, saya menjalani sebuah ospek jurusan yang menamakan dirinya 'PPJ', kependekan dari 'Program Profesionalisme Jurusan' dalam program studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. Sebuah ospek yang, well, lumayan keras dan memberi saya banyak cerita menarik di dalamnya sekaligus menguras isi dompet tanpa ampun.


Dalam ospek yang berjalan sekitar 8 hari tersebut, kami dituntut untuk menjadi satu kesatuan yang terdiri dari 185 kepala mahasiswa baru. Sesuatu yang sulit, karena saya pernah merasakan betapa sulitnya mengumpulkan anggota OSIS di SMA yang memiliki anggota hanya sekitar 80 kepala siswa.

Senior menekankan beberapa hal kepada kami agar kami, satu angkatan prodi ESP, dapat menjadi satu kesatuan yang solid dan kompak. Satu kalimat yang masih teringat dengan jelas dalam memori saya adalah jawaban atas pertanyaan yang berbunyi, "Bagaimana agar kami bisa kompak dan kenal satu sama lain?"


Senior yang berperan sebagai Tim Evaluasi (TE), jabatan yang membutuhkan sifat sifat jutek dan segala tetek bengeknya agar dapat membentuk kami menjadi mahasiswa yang teladan dalam tugas dan kompak dalam universitas, menjawab bahwa satu satunya cara ialah dengan keluar dari area nyaman, sharing dan tukar pikiran dengan orang yang berbeda visi serta misi dengan diri kita.


Saya berfikir, mana ada orang yang berbeda visi serta misi dengan saya dalam prodi ini? Kami berdiri menjunjung nama jurusan yang sama, tentu visi dan misi kami pastinya serupa. Setuju? Palingan cuma beda jabatan yang diimpikan dalam cita-cita, dan cara untuk mencapai itu semua. Namun selebihnya saya yakin kami semua pasti memiliki visi dan misi yang sama, belajar dan sukses.


Namun, saya pikir tidak ada salahnya untuk bertukar pikiran dengan mereka yang berasal dari tempat yang jauh dengan saya. Mereka yang mungkin tidak hidup di kota besar layaknya Jakarta dan Bandung. Mereka yang memiliki pengalaman one-hundred percent berbeda dengan siswa siswa yang memiliki otak cetakan guru guru di kota besar.


Saya kemudian bertukar pikiran dengan seorang kawan yang berasal dari sebuah pesantren besar dan sudah terkenal secara skala internasional yang terletak di Pulau Jawa, Indonesia. Dan dia menggiring pembicaraan kita menjadi sebuah topik menarik, dan memberikan saya cerita mengenai pengalaman hidup seorang siswa yang sangat sulit ditemukan dari mulut siswa siswa seperti saya dan kebanyakan siswa lainnya.


Apa?


Sang narasumber ini bercerita mengenai kehidupan dia di pesantren yang begitu keras. Enam tahun menimba ilmu plus satu tahun mengajar disana sebagai bentuk pilihan pengabdian pada masyarakat adalah jalan hidup yang dia lewati dengan keras selepas lulus dari sekolah dasar.


Satu hal yang membuat saya tertarik dengan ceritanya yang panjang ialah 'mimpi'.


Dia bercerita, bahwa tidak semua siswa disana memiliki cita cita menjadi seorang agamawan, ustad, atau profesi yang berbau keagamaan, seperti apa yang dipelajari sebagai majorisasi pendidikan selama enam tahun di sana. Sebagian dari mereka ingin keluar, dan meneruskan pendidikan di luar lingkungan pesantren, termasuk dia. Dia bersama beberapa temannya memiliki mimpi, dan berkata bahwa memang mimpi lah yang membuat dia nekat untuk berjuang masuk gerbang perkuliahan.


Mengapa saya katakan nekat? Karena pendidikan mereka tidak menomorsatukan akademis, tapi lebih kearah pembentukan jati diri serta kepribadian. Mereka tidak mengenal jurusan ipa, ips, atau bahasa. Dia bercerita bahwa dia belajar mata pelajaran yang serupa dengan sekolah kebanyakan di Indonesia, kecuali ekonomi, tapi akhirnya dia dapat menembus gerbang fakultas ekonomi melalui SNMPTN. Lebih jauh, dia mengatakan bahwa memang benar dia belajar lebih banyak mata pelajaran dari sekolah lainnya, karena dia juga diwajibkan untuk kelas english conversation, arabic conversation, hingga kelas filsafat hidup.


Secara keseluruhan, dia sendiri menyimpulkan bahwa disana tidak banyak diberikan pelajaram, tetapi pengajaran. Sesuatu yang dibutuhkan negeri ini, karena telah rusaknya pendidikan di negeri kita.


Menurut ceritanya, pesantren dia tidak memberikan UN alias Ujian Nasional, ujian yang bocornya 'mampus-mampusan' di beberapa daerah setiap tahunnya, termasuk Kota Bogor. Dia dan beberapa rekannya yang memiliki 'mimpi' untuk menjadi seorang mahasiswa memutuskan untuk mencari tempat les dan akhirnya mengikuti UN 'nebeng' di sebuah Madrasah kecil di daerah sana. Segalanya mereka urus sendiri, tanpa campur tangan pesantrennya.


Alhamdulillah, dia dan beberapa rekannya lulus semua dalam UN 'nebeng' tersebut. Selanjutnya? Mereka memilih Kota Bandung sebagai tempat untuk les berikutnya, dan berusaha sekeras kerasnya untuk dapat menjadi mahasiswa di Bandung ini. Sekali lagi saya ingatkan, bahwa mereka disini berjuang dengan mimpi, karena bekal akademis mereka tidak cukup bahkan untuk UN sekalipun.


Dengan les inilah, sebagian dari mereka pun mencoba untuk mengikuti Ujian Mandiri dari beberapa universitas, juga SNMPTN. Sekarang, mereka semua berhasil menjadi mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Padjajaran, Institut Teknologi Bandung, dan seorang dari mereka di Universitas Islam Bandung.


Mungkin ada dari anda yang kesal baca notes ini ya? Garing dan membosankan. Hanya saja, saya sangat terinspirasi dengan apa yang mereka sebut dengan 'mimpi'. Sesuatu yang sulit saya temukan dalam diri saya dan teman teman saja. Mimpi yang mereka maksud, lebih dari sekedar cita-cita.


Mengapa lebih? Karena seorang siswa SMA biasa sudah sewajarnya bercita cita untuk kuliah dan menjadi seorang sarjana di bidang yang dia pilih, dengan fasilitas di kota yang memadai. Akademis yang di-dewa-kan di sekolah sekolah unggulan di kota kota besar, dan juga belasan pilihan tempat les dari berbagai institusi semakin memudahkan kita sebagai siswa SMA biasa. Mereka? Tidak.


Satu lagi, pengajaran pada dasarnya sesuatu yang lebih baik dari pendidikan, dan mereka, sang anak anak penuh 'mimpi' itu mendapatkannya.


Kamis, 09 September 2010

Imej, Si Penggantung Kesuksesan


Imej, atau mungkin kamus besar bahasa indonesia menyebutnya sebagai ‘sosok yang memiliki sesuatu’ memiliki peran dalam kehidupan anda. Ketika kata ‘tampang’ lebih didefinisikan sebagai sesuatu yang tercitra dari penampilan fisik, maka ‘imej’ mencakup lebih jauh dari segala yang dimiliki oleh ‘tampang’. Menurut anda, seberapa besarkah peran penting sebuah imej dalam kesuksesan anda?


Imej tidak dapat didefinisikan sebagai ‘sosok’. Imej bukan juga diukur dari kemampuan akademisnya, maupun kemampuan lainnya. Satu kata yang paling pas untuk menggambarkan imej ialah ‘daya tarik’. Entah dari apa imej itu tercipta, dan entah apa alasan yang membuat publik terpikat akan imej tersebut, imej tetaplah imej. Sesuatu yang terkadang membuat anda merasa ‘si dia pantas kutunggu’ tanpa perlu mengecek history-nya bahwa ia ternyata adalah seseorang yang selalu ngaret. Walau imej rentan akan kehancuran bila tidak sejalan dengan apa yang dikerjakan.


Contoh, seorang teman dengan status anak guru matematika SMA akan membuat anda memiliki sedikit rasa percaya yang lebih untuk menanyakan pr matematika anda kepadanya, sekalipun anda baru kenal dan belum pernah melihat bagaimana dia mengerjakan soal matematika.


Terinspirasi dari Barry Likumahuwa Project (BLP) setelah saya menonton performa live nya di acara TOP FORESTIVAL SMA NEGERI 1 BOGOR dan beragam seminar yang saya ikuti dengan rasa pegal dan menghabiskan banyak uang dalam ospek jurusan serta universitas di Bandung, saya merasa imej semakin melekat dalam nilai jual anda untuk menorehkan kesuksesan dalam hidup.


Secara pribadi, saya tidak menganggap Barry Likumahuwa Project adalah komplotan yang menyajikan musik dengan menarik. Musik yang mereka suguhkan terkesan melankolis, and sometimes i think those music only compatible with you who have ‘jazzy brain’, dan saya tidak memiliki itu. Beberapa rekan saya pun setuju bahwa ‘selera’ memiliki posisi yang tidak dapat diganggu gugat dalam kehidupan anda. Mungkin hal itu melekat natural dalam diri anda, setelah berbagai proses pembentukan diri yang anda lewati.


Hanya saja, BLP menyuguhkan sesuatu yang berbeda dari ratusan band lainnya. Sesuatu yang tidak mudah untuk diikuti oleh anak band kemarin sore yang memenuhi chart acara Dahsyat serta Inbox di televisi. BLP memiliki ciri khas, dan itulah apa yang dikatakan sebagai imej yang menjual.


Toh, Barry Likumahuwa sebagai pentolan band tersebut bukanlah seorang vokalis utama sebagaimana berlaku dalam segelintir band lainnya. Contoh, Peterpan yang dikenal dengan Ariel. Padahal, seorang musisi dari grup band Nidji pun ada yang bernama Ariel. Barry memiliki ‘Likumahuwa’ yang telah menjadi nama besar yang menjual dalam industri musik, sesuatu yang sangat berpengaruh terhadap imej band itu sendiri. Sesuatu yang ‘dieksploitasi’ oleh BLP untuk kesuksesan bersama. Saya tidak mengatakan bahwa komplotan itu tidak akan sukses bila bernaung dibawah nama Barry Lamongan Project (misal), namun kemudahan untuk mencapai prestasi yang sama akan lebih sulit dengan nama jual tersebut, apalagi tanpa personil ‘Likumahuwa’ disana. Hal yang sama mungkin terjadi dalam Andra and The Backbone dan Bondan & Fade2Black


Seperti dalam paragraf 3, imej pun mempengaruhi penilaian pertama orang lain terhadap diri anda sendiri. Bagaimana anda akan interest mendengarkan sebuah seminar mengenai kesuksesan apabila yang berbicara di depan terbata-bata, meskipun benar sepenuhnya dalam history tercatat bahwa ia memang orang yang sukses?


Industri industri besar di Amerika dan Eropa diketahui memiliki tenaga wanita yang bergerak dalam bidang public relation. Mengapa? Wanita yang menarik memiliki nilai jual yang sangat tinggi dalam bidang komunikasi, tentu bila di dukung dengan soft-skill dan intelektualitas yang kuat. Bukan berarti dunia tidak membutuhkan para pria gagah untuk berdiri dan berbicara lantang mewakili perusahaannya dalam presentasi-presentasi internasional, tetapi itulah tren yang ada. Imej wanita sebagai makhluk yang menarik mendominasi disini.


Juga imej dokter sebagai sosok yang spesial. Sampai sampai dokter umum pun selalu dipanggil ‘dok’. Hal tersebut Tidak berlaku pada para akuntan, bahkan seorang profesor sekalipun tidak jarang hanya dipanggil ‘pak’. Memang bukan hal yang begitu penting untuk diperbincangkan, namun semua itu menyangkut pada prestise setiap individu, yang menjadi imej tersendiri.


Banyak contoh kesuksesan manusia dari berbagai kalangan dengan imej yang mereka miliki. Tentu tidak mutlak bahwa imej menjadi tolok ukur utama yang membuat mereka merasakan kesuksesan, tetapi peranan penting telah dilakukan imej tersebut sebagai pendukung utama kesuksesan.


Megawati Soekarnoputri dengan statusnya sebagai anak bapak proklamator Indonesia memiliki imej sebagai ‘seseorang yang akan mengembalikan kejayaan Indonesia sebagaimana sang ayah’. Atau mungkin imej seorang bapak yang sukses, maka ketika anda berdiskusi mengenai kesuksesan dengannya disaat makan malam keluarga, beragam kata yang keluar dari mulutnya akan senantiasa terngiang dalam telinga anda dan merasuki jalan pikiran anda.


Saya memiliki cita cita untuk sukses, dengan definisi memiliki hidup mapan dan senang, banyak teman dan rekan, hidup tenang tidak selayaknya dikejar hutang, dan juga aman dari segala ancaman. Maka saya percaya bahwa sukses tidak bergantung pada imej, tapi imej dapat menggantung seberapa besar torehan kesuksesan yang akan anda capai.