Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Senin, 12 Maret 2012

Grow With Capitalism, Mature With Socialism

Terlalu singkat hidup seorang manusia bila hanya dihabiskan untuk berbincang mengenai pola kehidupan makhluk itu sendiri. Berbincang tanpa melakukan terkadang menjadi hal yang mewakili kata ‘fana’ dengan sebaik-baiknya. Bergerak tanpa bicara mungkin menjadi suatu jalan yang baik, tapi bagaimana mungkin sebuah aksi dilakukan tanpa merumuskan apa yang hendak dilakukannya terlebih dahulu?

Sebagian manusia berbincang mengenai individu sendiri, dan sebagian lagi menghabiskan waktunya untuk kepentingan bersama. Sebut saja ‘Si Kapitalis’ sebagai pihak pertama, dan ‘Si Sosialis’ sebagai pihak kedua.

Ekonomi, dalam sejarahnya, telah dipenuhi oleh guratan-guratan ide dan pemikiran tokoh-tokoh fenomenal setiap zamannya. Merkantilis yang berbau 3G (Gold, Glory, Gospel) dalam pelaksanaannya, hingga paham-paham kapitalisme serta sosialisme yang hingga saat ini masih terjamah dalam kehidupan sehari-hari.

Perlu saya jelaskan bahwa tulisan saya kali ini adalah ide murni. Sesuatu yang saya anggap ‘ada benarnya’ dan membuat saya bergumam ‘ooooh iya, ya’. Tidak ada justifikasi untuk membenarkan pandangan ini, karena mungkin tidak akan cocok bagi sebagian dari kalian.

Kapitalisme mengajarkan pandangan akan pentingnya hidup dengan ‘profit-oriented. Tak peduli siapa anda, suku dan bangsa apa, butuh atau tidaknya anda. Satu hal yang jelas tercermin dari pemikiran ini adalah bebasnya persaingan yang menyebabkan kehidupan ‘yang kuat yang bertahan, yang lemah berantakan’.

Di lain sisi, sosialisme mengenalkan pola pikir sosial dalam setiap sistem dan pola kehidupannya. Asas sama rata dan anti-kesenjangan sosial menjadi ide utama dari sosialisme. Stabilitas kehidupan menjadi hal positif yang dibawa oleh pemikiran ini, dimana kehidupan akan menjadi aman dari goncangan beragam aspek. Mengapa? Karena asas sama rata dalam beragam tingkat kehidupan manusia.

Jika memang hanya dengan asumsi pengetahuan sebatas ini, manakah yang akan anda pilih? Kapitalisme yang fluktuatif dan menantang, ataukah sosialis demi keamanan dan kemerataan?

Kedua pola pikir ini tentunya memiliki sederet arti yang memberikan input pada pola pikir manusia, termasuk saya. Jika dikaitkan dalam pola pikir pendidikan, maka saya punya argumen akan hal ini.

Grow with capitalism, mature with socialism.

Kapitalisme mungkin memang diperdebatkan kemampuannya saat ini dalam sistem ekonomi dunia, terutama setelah krisis di Amerika Serikat tahun 2008 silam. Namun dalam beberapa pandangan saya, kapitalisme baik untuk diterapkan dalam kehidupan pendidikan.

Pola pikir ‘persaingan bebas’ adalah hal yang baik untuk memacu manusia menjadi yang terbaik. Bahkan, kalimat ‘yang kuat yang bertahan, yang lemah berantakan’ harusnya menjadi alasan mutlak setiap manusia untuk berusaha. Rasa takut akan gagal selalu ada, tapi jika tidak dicoba, mau apa?

Hal ini (sekali lagi, ini menurut saya) baik untuk diterapkan semasa manusia tumbuh dan berkembang. Insentif dalam kapitalisme menjadi salah satu pacuan untuk setiap manusia agar mau berusaha, begitupun dalam kehidupan. Sebuah pacuan dibutuhkan untuk membuat manusia berkembang. Contoh riil nya dalam pendidikan, mungkin iming-iming hadiah iPhone 4S bila mendapatkan IP sempurna?

Sesuai dengan hakikatnya, konstruksi kapitalisme adalah time-based self-destruction. Kapitalisme akan bertransformasi dengan sendirinya ke arah paham sosialisme seiring berjalannya waktu. Singkatnya, sebuah persaingan tentu memiliki akhir, yang pada akhirnya hadir sebuah keadaan dimana tidak ada lagi pesaing dalam pasar.

Mari ibaratkan keadaan tidak adanya pesaing dalam pasar sebagai keadaan dimana manusia telah mapan. Orang Jawa bilang, seorang anak telah menjadi ‘orang’. Apa yang dilakukan?

Berbagi adalah salah satu cara yang wajar dilakukan. Dengan siapa? Mereka yang membutuhkan. Caranya? Dengan mendidik secara kapitalisme? Contohnya? Sekali lagi, itu maksud orangtua anda menjanjikan sebuah iPhone 4S bila anda mendapatkan nilai sempurna. Insentif adalah bagian dari kapitalisme, dan berbagi adalah bagian dari sosialisme.

Sebuah pemerataan dapat dilakukan dengan sentralisasi kebijakan, dan sentralisasi kebijakan dapat dilakukan dengan adanya kekuatan. Manusia mapan tentunya telah memiliki kekuatan, dan dia tentunya bisa mengimplementasikan ‘pemerataan’ demi generasi bawahnya.

Spirit kapitalisme perlu menjadi dasar kehidupan manusia, ketika jiwa sosialisme anda akan tumbuh pada saatnya.

Lembaran Dunia

Sebenarnya, saya sendiri lupa sejak kapan saya menjadi orang pede dalam hal tulis-menulis. Sejak kecil, saya memang sering menulis, mungkin lebih banyak dari teman sebaya saya. Dalam lingkungan kaum bocah ingusan, saya mungkin menjadi satu dari sedikit bocah yang menulis buku diary. Cemen dan patut ditertawakan, hanya saja mungkin itu awal yang baik dalam tulis-menulis saya dewasa ini.


Ibu saya bilang, menulis sudah sewajarnya akrab dengan membaca. Semakin banyak baca, wawasan anda terbuka. Soal dunia dan beragam hal yang (awalnya) terbesit fana namun sebenarnya nyata. Pengetahuan terbuka dari lembaran kertas tumpukan kata-kata.


Sore ini hujan menjebak saya di Gramedia. Sebuah toko buku yang (sore ini) benar-benar tampak seperti balai pustaka. Jika definisi sebuah toko buku adalah tempat perpindahan tangan akan buku dengan uang, maka sore ini tidak tampak demikian. Kebanyakan orang berdiri atau duduk membaca dalam buku-buku itu dengan suara hati. Saya percaya mereka tidak akan beli, dan mereka tidak juga merusak segel yang ada, tapi hanya memanfaatkan buku yang telah ditelanjangi dari plastik pembungkusnya entah oleh siapa.


Saya pikir, jelaslah semua orang bercita-cita ingin memiliki pom bensin dan sedikit anak bangsa yang hendak memulai usaha jual beli buku jika seperti ini caranya. Goenawan Muhammad sendiri menerangkan dalam bagian pengantar bukunya yang berjudul 'Tokoh + Pokok' bahwa "Semua penerbit tahu bahwa mencetak buku lebih banyak ruginya ketimbang untungnya". Buku yang juga saya baca disana ini tentunya tidak merogoh kantong saya, karena memang sudah tiada bajunya.


Terbesit dalam otak saya, "Kalo emang gini caranya, untung makin lama makin dikit aja nih penulis-penulis buku." Namun saya terlampau malas untuk berpikir mengenai kalkulasinya. Yang kemudian terpikir oleh saya adalah perihal pahala.


Jika memang salah satu pahala yang tidak akan pernah putus adalah ilmu yang bermanfaat, maka setiap penulis tentunya memiliki pahala tiada tara jika yang ia tulis memiliki manfaat banyak untuk khalayak. Uang yang ditukarkan para pembaca dan setiap kalimat yang berguna bagi para pembacanya ditukar dengan pahala. Terlebih untuk para penulis yang tidak menukar karya mereka dengan apa apa dan mengikhlaskan segalanya, luar biasa pastinya.


Iseng-iseng saya juga membaca buku "99 Usaha Untuk Mahasiswa", dimana di dalamnya menjelaskan beragam jenis aktivitas yang mampu menghasilkan sesuatu yang berbau ekonomi. Menulis menjadi salah satu jenis aktivitas yang dianggap mampu menghasilkan. Benar bahwa menulis adalah kegiatan ekonomis, namun menulis bukanlah seperti itu.


Saya pikir, menulislah selama anda dapat mencurahkan segala hal yang berguna, karena itu dapat menjadi pahala. Mario Teguh mungkin dibayar mahal atas quotes ciptaannya, juga ceramahnya yang mengguncang logika manusia-manusia dibalik layar kaca. Apakah dia perlu meminta bayaran ketika menceramahi istrinya, anaknya, atau mungkin tetangganya dalam pertemuan lingkup RT (misalnya)? Luar biasa pelit beliau jika memang jawabannya adalah 'Iya'.


Seseorang pernah menganalogikan kehidupan dengan mewakilinya pada sebuah kalimat: "Idup itu makin lama makin keras, jadi harus licik". Orang lain juga pernah berkata, "Kadang dalam hidup akan bertemu dengan keadaan dimana 'Kalo lo gak ngebunuh, lo dibunuh'."


Kedua kalimat ini sungguh cukup mewakili egoisme manusia, dimana jelas semua ingin jadi pemenang. Benar, setuju saya ada bersama kedua kalimat diatas. Semua orang memiliki kebutuhan, dan mungkin sulit untuk memenuhi kebutuhkan non-prioritas terlebih dahulu dibandingkan dirinya sendiri (yang dapat membuat dirinya menjadi rugi). Kesempatan memang tidak pernah datang dua kali. Jika memang datang dua kali, tentunya ada pada detik yang berbeda. Hidup adalah sebuah pilihan, namun yakinkah anda akan memilih untuk tidak banyak berbagi?


70 tahun lewat sudah umur Goenawan Muhammad sekarang. Sederet buku telah ia ciptakan. Ribuan bukunya mungkin jadi objek pembajakan. Kerugian dihasilkan. Efektivitas ekonomi tentunya diragukan. Namun silahkan tilik ulang faktor apa yang membuat hal demikian terjadi.


Akankah manusia membajak buku yang tidak bernilai?

Akankah manusia membaca buku yang tidak menarik dan tidak menghasilkan kepuasan?

Apakah anda adalah manusia yang tidak butuh teman berbagi?


Ide yang anda sampaikan dalam lembaran kertas disana mungkin adalah 'dunia' bagi mereka. Dunia untuk membuka jalan mereka mengetahui apa yang ada dalam garis pikiran logika anda. Dan selain puji yang tercipta, dunia akan semakin mengenal siapa anda sebenarnya, dan melupakan price tag yang ada, lalu menilai apa yang sebenarnya terkandung dalam lembaran-lembaran yang dibaca.