Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Minggu, 27 Juli 2014

Cepat Tepat

Sejak kecil, setiap orang rasanya ingin segera besar. Anak kecil pun seringkali menerima pertanyaan, “Kalo udah gede mau jadi apa?”. Mungkin sang penanya ingin menumbuhkan mimpi di setiap jiwa jiwa muda itu, atau mungkin juga sepenuhnya penasaran apakah cita-cita mereka. Namun apapun tujuan sang penanya, saya yakin mayoritas setiap anak kecil ingin segera tumbuh besar.

Ketika bocah lelaki ingin segera mengendarai motor dan mobil, maka bocah perempuan ingin segera jago masak ataupun menimang anak. Apakah seindah itu meninggalkan masa kecil?

Sialnya, ketika mereka semua beranjak besar dan memasuki fase remaja ataupun dewasa, mereka benar-benar tidak diharapkan untuk me-reka ulang apa yang telah mereka lewati. Sekali saja mengulang masa kecil mereka, maka tak jarang terderang sahutan, “Lo waktu kecil main apa aja deh?” ataupun “Masa kecil lo kurang bahagia, ya?”.

Semua orang gue rasa sudah cukup paham bahwa kedewasaan tidak bisa diukur dengan satuan umur. Apa yang anak kecil mau (dan jawab) ketika mereka masih kecil adalah “menjadi besar”, bukan “menjadi dewasa” mengingat sangat jarang orang bertanya “Kalo udah dewasa nanti mau apa?”. Setuju? Meskipun maksud kata ‘gede’ atau ‘besar’ yang terucap dari para penanya adalah ‘dewasa’, namun kedua hal ini tentunya tidak bisa disamakan. Maka jangan salahkan mereka bila tumbuh hanya menjadi besar dan (kurang) dewasa sesuai umurnya.

Jika merujuk pada arti kata yang tersurat, maka sukseslah seluruh anak kecil itu ketika mereka tumbuh besar dan berhasil mengendarai motor dan mobil, ataupun menimang anak pada waktu dan proses yang salah. Toh itulah harapan mereka secara tersurat. Mereka besar dan tidak seorangpun menjamin kedewasaan dalam diri mereka.


Melihat hal ini, gue jadi makin percaya bahwa setiap pelajar dan mahasiswa berhak untuk lulus di waktu yang tepat, bukan cepat-cepat. Sama perlakuannya dengan alasan para ‘anak besar’ untuk menikah di waktu yang tepat ketika banyak orang menggoda mereka untuk cepat-cepat. Semua (akan) selalu indah pada waktunya.

Minggu, 20 Juli 2014

Darat, Laut, dan Udara

Gue rasa yang namanya hidup itu selalu saja penuh dengan perbedaan, pertentangan, dan juga penerimaan. Setiap orang, termasuk kalian yang lagi membaca tulisan ini, pasti pernah dan akan selalu menemukan perbedaan pada setiap individu, pertentangan pada setiap kelompok, dan juga penerimaan pada setiap pasangan. Boleh jadi, ini adalah hal yang matriks. Boleh jadi, mereka yang berpasang-pasangan, menghadapi pertentangan (bahkan perceraian) dikarenakan perbedaan dan hilangnya penerimaan. Boleh jadi pula, mereka yang bersaudara dan berlandaskan satu kesamaan kemudian memutuskan untuk menjadi berbeda dan memulai pertentangan, seperti yang dilakukan kacang ketika ia melupakan kulitnya.

Semua itu mungkin, dan apa yang membuat itu semua menjadi sebuah kemungkinan ialah kehidupan itu sendiri. Albert Einstein menyimpulkannya dengan sebuah kalimat: Satu-satunya yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri. Sebuah titik perbedaan akan terus mendorong kita kepada dimensi yang berbeda pula, maka jangan remehkan satu jengkal pun perbedaan dan jangan pernah heran bila itu mendorong kalian ke perbedaan sebesar jurang di kemudian hari.

Darat, laut, dan udara. Semuanya fakta. Masing masing diantaranya menganggap satu sama lain adalah alam fana. Manusia, dengan ilmunya berusaha untuk tidak hanya hidup berdampingan di tiga alam berbeda, namun juga hidup di dalamnya, maka terciptalah gantole dan olahraga scuba-diving. Namun tetaplah jelas bahwa perbedaan lingkungan hidup tidak dapat dihilangkan meskipun dengan usaha yang sedemikian rupa.

Seorang teman berpendapat bahwa yang namanya selera itu tidak ada sekolahnya. Kalimat aktif ini benar, dan saya memilih untuk mengucap ulang kalimat tersebut secara pasif: Tapi sekolah tentunya menentukan selera (setiap orang). Maka jelaslah ikan-ikan di akuarium mungkin akan bahagia berenang di tempat yang ‘segitu-gitu aja’ selama ia tidak pernah melihat lautan. Jelas pula bahwa seseorang tidak akan berpikir membeli Gucci bila seumur hidupnya tidak pernah mengerti apa itu Gucci.

Lalu kemudian akan muncul perbedaan, pertentangan, dan (mungkin juga) penerimaan diantara makhluk-makhluk tidak-matriks ini. Manusia darat akan merasa paling hebat dan menceritakan gunung dan hutan ketika berpendapat melawan ikan laut yang mengagung-agungkan luasnya lautan dan kehidupan terumbu karang didalamnya. Segala hal ini tidak akan menemukan titik terang hingga ada keputusan untuk melakukan penerimaan terhadap setiap individu terkait.

Tentunya kalian pernah bersahabat dengan orang yang sombong, dan kalian berusaha untuk mengingatkannya dengan melakukan beberapa aksi dan cara yang berbeda namun tidak berhasil.

Tentunya kalian pernah bersahabat dengan orang yang tidak percaya diri, dan kalian berusaha meningkatkan kepercayaan dirinya dengan beragam trik berbeda namun tidak berhasil

Atau mungkin kalian juga pernah bersahabat dengan orang yang comel, yang kalian tidak begitu suka dengan sifat tersebut dan berusaha mengingatkannya bahwa itu tidaklah bijak, namun tidak berhasil.

Apakah kalian harus berhenti bersahabat dengan mereka-mereka semua, yang jelas berbeda dengan diri anda, dan jika diruntut alasannya maka akan tercipta begitu banyak cerita yang berujung pada perbedaan lingkungan hidup? Gue rasa, jangan.

Jika anda seorang bos besar yang memiliki karyawan yang tidak pintar, maka mungkin mudah untuk memberhentikannya dari pekerjaan. Namun jika anda adalah orang tua yang memiliki anak yang tidak pintar, apakah anda berpikir untuk memberhentikannya (dari sekolah)?

Penerimaan adalah jawabannya. Sulit, namun pasti bisa. Gue pernah berujar pada seorang teman (yang dia sepakati) kira-kira seperti ini: Kadang-kadang kepikiran, daripada selamanya jadi buntut naga, mendingan jadi kepala ayam?


Gimana menurut lo?