Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Kamis, 27 Maret 2014

Terserah Bapak Saja...

Seminggu terakhir ini gue selalu mendengarkan satu channel radio yang sama setiap harinya, terutama di jam-jam hectic dalam hidup gue. Kisaran jam 5-7 dan 17-20, gue setiaaaaaa banget sama salah satu radio yang kalo pagi dihebohkan dengan ocehan Farhan dan Asri. Gue rasa, gue kurang banyak selera dalam memilih channel radio, karena pilihan gue sebenernya ‘itu itu aja’, sampe akhirnya gue seminggu ini gak tergoda untuk mengutak atik radio mobil.

Selama gue dengerin seluruh bagian dan ocehan yang keluar dari radio itu, termasuk lagu-lagu terbaiknya, gue hampir tidak menemukan bagian yang menjadi ciri khas dari siaran radio itu. Terkecuali pagi, sih. Soalnya tiap pagi tentunya pembawa acara radio kan berbeda-beda. Yaaa, well, tetep aja itu bukan sebuah ciri khas sih bagi gue, dan gue juga gak butuh ciri khas. Yang penting enak, gue denger.

Sore ini sesuatu terjadi. Ada sebuah ocehan jokes baru yang belum pernah gue denger sebelumnya selama berminggu-minggu dari radio ini. Kira-kira begini ceritanya:

Pada suatu hari, terdapat sepasang pemuda bukan homo yang hendak mengabdi untuk negaranya. Mereka berdua berjuang melalui jalur interview agar mampu berkontribusi bagi nusa dan bangsa. Sampe nya barengan, dan mereka bertemu seorang lagi disana. Lima menit kemudian orang pertama dipanggil masuk ke interview.

“Mas, seratus tambah seratus berapa?” kata yang nanya.

“Dua ratus, Om!” jawab orang pertama.

“Yyyyyaaaaaa, maaf mas gak diterima. Kalo gini caranya, Mas bisa korupsi!” jawab yang nanya dengan lantang dan menggema.

Keluar deh orang pertama, lalu orang kedua masuk bergantian.

“Siapa bro nama lo?” kata yang nanya.

“Karmin, Om. Saya keterima gak jadinya?” jawab orang kedua.

“Ooooh bentar-bentar. Seratus tambah seratus berapa ya bro?”

“Seratus lima puluh, Om! Keterima gak nih??” kata orang kedua yang mulai penasaran.

“Gagal. Keluar lu. Yang kaya lu nih bro, ini bisa me-ru-gi-kan negara, tau ga?”

Maka banting pintu lah si orang kedua ini, sehingga masuklah yang ketiga.

“Pak, saya mau interview, Pak, hehe, pertanyaannya apa ya, Pak?” kata orang ketiga yang kayaknya agak kampungan.

“Seratus tambah seratus berapa cepet jawab!”

“Ooohhh, kalo yang begitu sih saya sih gimana bapak aja pak, saya ngikut pak berapa aja saya tetap oke! Hehe” jawabnya dengan cengengesan.

“Nnnnaaahhhh, ini yang saya cari. Pas nih kamu buat negara. Mantap jaya! Hahahaha minggu depan langsung masuk ya!” jawab sang penanya dengan sumringah.

Maka diterimalah orang ketiga, yang tidak salah namun tidak mampu menjawab dengan benar dalam interview.

Gue agak terkesima sedetik-dua detik setelah denger cerita dialog diatas dari radio. Mungkin disini kurang lucu, tapi di radio itu sumpah lucu. Dan bukan karena hal lucu nya yang membuat gue terkesima, tapi intisari dari percakapan itu sendiri.

Apa bener para pejabat negara sekarang tidak butuh orang yang benar, melainkan yang ikut-ikut saja agar sang pejabat terus diatas dan memperluas kekuasaannya? Apakah politik sekarang begitu polos untuk meneruskan sebuah dinasti? Gue pikir sih dimana-mana pasti begitu. Kolusi adalah praktik yang seringkali terjadi, terutama dalam hubungan keluarga. Namun bila kolusi tersebut berubah jadi konspirasi yang tidak akan mampu menghasilkan sesuatu yang signifikan, apakah boleh ditolerir?

Seringkali gue denger kalo di Indonesia jangan jadi orang yang pinter-pinter amat, nanti digulingkan macam Habibie. Seringkali juga gue denger jangan jadi orang yang terlalu jauh cari ilmu, nanti cuma jadi pengangguran bergelar Phd. Dan seringkali pula saya mendengar bahwa kesuksesan itu berasal dari asas melayani dan jilat muka sana-sini.

Sayangnya, di dialog diatas tidak menceritakan momen dimana seseorang yang memiliki jawaban benar mampu dikalahkan oleh seseorang yang ‘tidak mampu menjawab’. Dialog diatas hanya menggambarkan bahwa orang yang mentalnya ngikut, melayani, dan tidak mampu menjawab adalah orang yang berhasil. Dalam kacamata gue, seharusnya tidak seorangpun diterima karena jelas pertanyaan mudah itu tidak ada yang berhasil jawab. Tapi pria muda yang manut dan bermental ngikut itu, ditambah modal cengengesan tebar senyum pesona, mengalahkan pesaing lainnya.

Apakah seperti itu politik kita? Apakah perlu mengorbankan intelektual dan/atau memilih untuk tidak mengutamakan kemampuan, tapi mendahulukan muka dan mental pelayan? Adanya seorang warga negara kita yang mampu bercerita seperti itu membuat gue berpikir, “Apakah bener ada orang yang berpikir sesempit itu, ya?”


Tentunya pemimpin bukanlah seorang bermental pelayan, tapi seorang yang mampu bertindak benar dan mampu melayani.

Sabtu, 22 Maret 2014

Ekspektasi

Pernah denger lagu Khalayan Tingkat Tinggi? Lagu yang populer dengan suara Ariel, vokalis Peterpan, ini sedikit banyak bercerita mengenai apa yang dinamakan dengan mimpi dan harapan. Dalam liriknya yang bisa lo semua cek di google, tersurat seluruh harapan sang penyanyi terhadap seorang gadis idaman.

Tidak jauh dari itu, rasanya hampir semua lagu jaman sekarang seringkali bercerita mengenai cinta, sampai-sampai Cholil dari Efek Rumah Kaca mungkin bosen dan terinspirasi menciptakan Lagu Cinta Melulu. Gue rasa semua cinta itu berasal dari harapan yang terkadang terlihat fana namun bisa jadi benar adanya

Dari kacamata gue, gue merasa sebenarnya seluruh hidup kita itu berawal dari harapan. Hal Lindsey berujar, "Man can survive 40 days without food, 3 days without water, 8 minutes without breathing, but only a sec without hope". Harapan selalu menjadi kunci dari segalanya, karena tampa adanya harapan memperoleh makanan, air, ataupun bernafas, segalanya menjadi sia-sia saja.

Terus apa sih yang dimaksud dengan harapan? Harapan bagi gue sudah sewajarnya memperlihatkan keinginan dan kegigihan untuk mencapai kehendak yang ingin dilakukan. Harapan juga sepantasnya menciptakan kemampuan dan mengakali segala permasalahan menjadi sebuah proses penyelesaian. Harapan bukanlah sesuatu yang independen, melainkan kontrol. Harapan harus diciptakan, kecuali lo melawan Tuhan.

Seminggu terakhir ini ada sebuah pertanyaan terlempar dari mulut pengisi materi training di kantor. Beliau berujar, "Apa sih yang menggerakkan harga pasar (saham)?". Maka beberapa saat kemudian terlempar pula beragam jawaban, dan jawaban paling tepat ialah 'ekspektasi'. Orang yang menggerakan harga. Tepatnya jutaan orang pemain saham lah yang menggerakannya. Sesuai dengan cara berpikir seorang ekonom, penawaran dan permintaan lah yang akan mempengaruhi harga suatu komoditi. Pengisi materi pun menambahkan bahwa banyak jawaban yang mampu menjelaskan perubahan harga saham, namun kata 'ekspektasi' menjadi yang terbaik. Idem bagi gue.

Lucunya, dalam kehidupan seringkali orang berpikir bahwa ekspektasi itu menyakitkan. Dalam tulisan gue sebelumnya, jauh sebelum posting ini, gue pernah membahas apa yang sebut batas atas dan batas bawah sebuah ekspektasi. Mungkin ada baiknya gue ulang sekali lagi. Bandingkan:

"Bercita-citalah setinggi langit, sehingga jika gagal, maka Anda mendapatkan awan"

"Bercita-citalah setinggi langit-langit, sehingga Anda pasti mampu meraihnya"

Kalimat pertama memiliki ekspektasi tinggi, namun tersirat bahwa keyakinannya adalah hanya mencapai awan. Sedangkan kalimat kedua memiliki ekspektasi rendah, namun amat sangat yakin bahwa ekspektasi tersebut mampu (dan pasti mampu) diraih.

Bagi gue, segala ekspektasi harus diciptakan, dan tidaklah bijak jika mengungkapkan ekspektasi dengan keyakinan tidak mampu memperolehnya. Walau pada akhirnya kita semua harus berserah diri pada Tuhan YME, yang mutlak menentukan pencapaian lo semua, tapi tidak bijak kan jika berujar tanpa keyakinan?

Kasarnya, apa bedanya dengan menipu diri lo sendiri? Gue juga merasa motivasi tidak dilahirkan dengan kata-kata dari diri sendiri, tapi dari ketakutan akan kegagalan.

"Aduh, gue takut nih kalo gak lulus" atau "Kalo gak lulus gimana ye?" gue rasa adalah bagian dari cara setiap pribadi (salah satunya gue) untuk memotivasi diri sendiri. Bukankah setiap kehidupan yang hidup pasti memiliki tantangan? Bukankah hampir semua orang mengatakan bahwa kesuksesan tidak akan berasal dari comfort zone, dan membutuhkan usaha untuk mampu keluar dari sana?

Banyak orang bijak berujar bahwa yang berhasil itu adalah orang yang berfokus diri pada kelebihan, bukanlah kekurangan. Setuju, tapi lebih setuju lagi dengan, "Orang yang berhasil itu adalah orang yang berfokus diri pada tantangan, berekspektasi menyelesaikan tantangan tersebut, dan selesai."

Semoga semua mampu berkhayal tingkat tinggi, dan meraihnya. Amin

Senin, 17 Maret 2014

4.15

Pada dasarnya, hidup gue tiga minggu terakhir ini dimulai pada pukul 4.15. Alarm ponsel berbunyi, maka waktunya untuk segera pergi mandi. Pagi sekali, tapi yaaaaa mau apa lagi. Kereta menanti, busway siap untuk kunaiki. Selamat pagi, Jakarta.

Tapi suer deh di waktu yang amat sangat pagi sekali ini, gue rasa gue mulai lebih menghargai waktu per menitnya. Bagi kalian yang mungkin sudah terbiasa untuk menggunakan Commuter Line Jabodetabek, terutama dari Bogor, maka pasti ngerti deh apa arti telat satu menit untuk satu kursi demi satu jam sauna.

Hal yang paling menarik dalam hidup gue tiga minggu terakhir ini adalah kemampuan gue untuk melihat lebih jauh sisi kemanusiaan para rombongan kerja. Gue mulai banyak mengetahui seberapa pentingnya kereta bagi mereka semua. Seberapa rela nya mereka berdesakan untuk pekerjaan. Seberapa capek nya seorang ibu tergopoh turun angkot mengejar kereta. Juga seberapa tangguhnya mereka-mereka yang mengurusi perjalanan kereta setiap harinya.

Hari pertama, gue cuma melihat kucuran keringat. Hari kedua, gue cuma melihat ibu-ibu sok lugu memohon kursi pada pria gagah di ujung gerbong kereta. Hari ketiga, gue mulai muak dan merasa kereta bagaikan neraka. Namun hari keempat, gue melihat kehidupan ini semua jauh lebih dalam dari sekedar yang saya lihat.

Pernah nonton "I Don't Know How She Does It"? Film ini menceritakan kehidupan seorang istri, ibu, dan wanita karir yang sukses  namun cukup kesulitan mengatur waktunya karena begitu dibutuhkannya ia dalam setiap detik kehidupan suami, anak, serta bos nya. Sarah Jessica Parker memerankan tokoh utama dengan luar biasa dalam film ini, dan bila ada film seperti itu, maka gue percaya pasti amat sangat banyak orang diluar sana yang memiliki hidup serupa.

Tentunya ibu-ibu yang tergopoh-gopoh turun angkot dan berlari mengejar kereta setiap harinya adalah ibu-ibu yang (sebagian besar) memiliki keluarga. Jika dia jam 5.00 sudah di stasiun, jam berapa ia meninggalkan rumah, keluarga, dan anak-anaknya? Akan amat sangat luar biasa bila ia membereskan semua pekerjaannya sebagai seorang istri dan ibu tepat waktu sebelum berlari ke stasiun kereta. Lalu juga bapak-bapak kaya dengan pangkat tinggi yang masih saja rela berdesakan di kereta sauna untuk menafkahi keluarganya. Bukan tidak mampu bayar transportasi lain, tapi macet di jalanan Jakarta amat sulit untuk di prediksi. Kereta sauna, baginya (dan bagi saya juga), memang terasa neraka namun lebih mudah untuk ditakar waktunya.

Dan semua perjuangan mereka ini belum gue jelaskan dengan adu otot ketika turun kereta nantinya. Sejauh ini, penumpang kereta memang belum banyak mengerti apa definisi dari kata 'antre', walau gue merasa alhamdulillah bila penumpang busway TransJ tidak se-beringas KRL.

Entah kenapa, gue merasa senang aja memperhatikan para penumpang kereta setiap perjalanan pulang dan pergi kantor. Melihat begitu banyak orang berbeda, dengan tujuan naik kereta yang mungkin serupa dengan gue, namun pasti raut muka mereka menggambarkan seperti apa hari yang telah mereka lalui.

Dan menyenangkan bila melihat orang begitu bersemangat turun kereta dan hendak pulang menuju keluarganya. Sedikit sisi humanis ini menggambarkan sungguh banyak rasa sayang mereka terhadap yang menunggu di rumah. Semoga kedepannya Jabodetabek dapat merasakan kualitas perjalanan kereta yang lebih baik lagi, mengingat ribuan orang baik rela mengantre dan menggunakan jasanya.