Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Selasa, 23 November 2010

Nilai

Semasa saya SMP, saya ‘di anugerahi’ sebuah pikiran yang menurut saya mulia dan banyak berpengaruh terhadap hidup saya, walau sempat miss di di dua tahun pertama masa SMA. “Belajar biar ngerti, bukan biar nilai tinggi”. Mulia gak menurut Anda?


Banyak rekan berkata, “Kebanyakan bacot lo Sal”, atau rekan lainnya memilih untuk tidak menanggapi sama sekali mengenai apa yang menjadi pemikiran saya tersebut. Pada dasarnya, saya pun tidak terlalu banyak memikirkan tentang kalimat tersebut, tapi kalimat tersebut yang banyak memberi saya pikiran dan menuntun saya bergerak melalui masa SMP.


Ok, fine. Itu pelajaran, topik paling sampah untuk dibicarakan sekarang karena we need to grow up faster today. Satu hal yang ingin saya goreskan dalam catatan membosankan ini adalah, bagaimana dengan nilai nilai kehidupan?


Nilai bisa diartikan sebagai tanggapan, atau mungkin sebuah penghargaan dari pencapaian akan sesuatu. Pertanyaannya, apa yang anda capai dalam hidupmu?


Hidup, menurut saya, harus memiliki arti dan mencapai sesuatu yang ber-arti. Gamblangnya, sebuah pencapaian yang bisa anda banggakan, dan dikenang oleh banyak kepala manusia. Hari ini, tepat ketika saya menari-kan jemari, saya menyadari bahwa hidup harus meninggalkan nilai, dan jangan sampai menghilangkan nilai.


Sebagai sosok yang dikenang tidak boleh menjadi prioritas atau cita cita kehidupan, namun tiada salah bila anda jadikan sebuah kebanggaan. Ketika banyak orang menilai anda ‘demikian’, tapi saya tidak punya banyak kesempatan untuk melakukan penilaian. Satu kepala miss dari nilai anda yang berharga. Tapi, haruskan aku salahkan Tuhan? Jangan, itu menandakan kamu seorang bajingan.


Sebuah kepenatan dan kebosanan umumnya merupakan tombol start dari proses penghilangan nilai seseorang dalam kehidupannya. Otomatis, ya, sangat otomatis.


Kesibukan merupakan tombol delay dari sebuah proses memasukan nilai kedalam kehidupan, karena hidup anda akan penuh dengan proses memasukan nilai-nilai dari sudut kehidupan lainnya. Delay yang tidak berjangka waktu.


Dan tidak semua orang tahu rasa ketika aksi anda tidak menghasilkan reaksi yang sempurna, mengena, dan menjadi sebuah omong kosong yang biasa saja. Ini interaksi jiwa antar manusia, maka pihak kedua pun terkadang kecewa tidak mendapatkan nilai yang cukup ‘wah’ dari pihak pertama.


Waktu, batasan kehidupan yang dapat menghambat jalan dari segala penilaian. Kembali menyalahkan Tuhan? Tak ubahnya credit card yang memiliki jatuh tempo, bayarlah sebanyak apa yang kamu korbankan demi uang dan pekerjaan, untuk waktu yang terbuang.


Bandung, 25 Oktober 2010. I, I’ll pray more for you Dad

Kata dan Cerita

Kata, sesuatu yang selalu ada dalam benak manusia, dan ‘berkata’ selalu ada dalam kegiatan manusia. Bahkan, mereka yang bisu pun berkata kata dalam hatinya mengenai segala input yang masuk dalam jalan pikir mereka. Sekalipun mereka tuli, saya yakin mereka punya hati yang menjadi media untuk berkata kata tanpa suara.


Masalahnya, setiap kata yang diucapkan itu tentunya punya maksud tertentu, dan tidak semua orang dapat mengerti dan menanggung kebesaran nilai dari kata kata tersebut.


Ketika dosen agama saya bercerita tentang Umar bin Khattab yang masuk Islam setelah terkesima akan bahasa sastra dalam Surat Toha, dimana Umar yang juga merupakan sastrawan Arab jempolan tidak percaya bahwa Rasulullah SAW-lah yang ‘mengarang’ ayat ayat tersebut. Maka nilai dari kata-kata Al-Qur’an ini sungguh tidak ternilai, siapa yang bisa membuat sejarah baru bila Umar tidak masuk Islam saat itu juga?


Kata kata membentuk cerita, suatu rangkaian yang dapat memberi nilai bagi mereka yang membaca. Ofensif atau bahkan melankolis hanyalah sebagian dari banyaknya tipe susunan kata-kata menurut nilainya.


Terkadang, perasaan manusia melahirkan kata-kata tanpa memperhitungkan nilai dari ucapannya. Sebagai penulis anak bawang, saya bilang aja kalo “Lidah lebih tajam daripada pedang”. Kata-kata yang terlontarkan dengan ringan, lebih ringan dari saat-saat menghunuskan sebuah pedang, menusuk lebih tajam pada kenyataan.


Keadaan kedua, lebih menarik bahwa ternyata ada saat saat dimana manusia menunggu sebuah kata, agar mendapatkan sebuah nilai yang tertera dalam angan, namun kata-kata itu tak kunjung datang. Melontarkan kata-kata lebih dahulu adalah hal yang mudah, namun menunggu sebuah kata bisa jadi sebanding dengan sulitnya mengendalikan sebuah sapi gila yang kejang-kejang.


Ketika kata-kata yang diharapkan tak kunjung datang, nilai pun tertunda kedatangannya. Otomatis: menghasilkan cerita yang berbeda esok harinya.