Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Senin, 26 Desember 2011

Peliharaan Negara

Kota metropolitan seringkali (atau bahkan selalu) menjadi acuan perkembangan zaman. Ibukota negara seringkali (maaf, lagi lagi saya harus menggunakan kata-kata 'atau bahkan selalu') menjadi acuan kemajuan suatu negara dalam sebuah rezim pemerintahan yang sedang berkuasa. Sejauh apa berkembangnya? Apa yang berbeda? Telah ada apa, dan telah berkurang apa?


Maka setiap orang secara tidak langsung berbicara mengenai signifikansi. Sesuatu yang detail mungkin hanya akan dapat teramati oleh mereka-mereka yang memang jeli. Entah oleh pengamat asli ataupun orang-orang yang memiliki sifat jeli dari Sang Illahi. Terkadang sebuah hal kecil yang terjadi dapat menjadi besar bila ada publikasi, dan itulah yang menjadi tugas mereka yang jeli dalam mengukur sebuah signifikansi. Sedangkan hal besar yang terjadi, biarlah itu mengalir sendiri.


Sembilan belas tahun umur saya. Rekanan bilang saya terlihat lebih 'dewasa' dibanding seharusnya, namun riil nya saya baru dapat mengamati dunia mungkin sekitar 10-12 tahun terakhir ini. Banyak hal akrab dari Indonesia yang saya lihat dari bola mata saya sendiri, dan cukup dapat merepresentasikan seperti apa negara kita bersama ini.


Korupsi, multi-kultural, polemik hari lebaran, banjir, juara olimpiade, narkoba, tawuran pelajar, dan sederet hal lainnya yang apabila tidak banyak pembaca lihat, mungkin kata-kata diatas akrab dengan koran-koran ternama. Bukankah begitu?


Sebenarnya bukan kapabilitas saya untuk membicarakan apa yang disebut-sebut dengan signifikansi. Setiap orang memiliki indera sendiri-sendiri untuk dapat menilai aspek-aspek yang mengalami dan tidak mengalami perubahan. Karena hal ini juga berlaku pada saya, maka izinkan saya mengutarakan aspek dari balik kacamata saya.


Pengamen dan anak jalanan tampaknya tetap melekat pada bumi Indonesia ini. Semenjak saya dapat mencerna apa yang tampak di dunia, anak jalanan selalu saja terlihat di mana mana. Gepeng sebutannya. Entah dari mana asal muasal kata tersebut. Apakah sekedar gabungan kata yang dibuat oleh para wartawan dan pekerja media untuk menghemat tinta, ataukah memang telah dibakukan sebuah kata 'gepeng' yang memiliki arti 'gembel dan pengemis'.


Sekedar me-review (dan menginfokan bagi pembaca yang belum tau) bahwa UUD 1945 Pasal 34 banyak berbicara mengenai janji negara kepada mereka yang di-label-i sebagai 'gepeng'. Ayat 1 berbunyi, "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara". Melihat kenyataan yang ada, saya bingung atas ambiguitas dari kata 'pelihara' tersebut. Sepertinya benar-benar dipelihara agar makhluk Homo sapiens tipe 'gepeng' itu tidak punah.


Belakangan, UU ini makin diperkuat dengan diresmikannya sejumlah aturan daerah mengenai larangan untuk memberi sumbangan kepada 'gepeng' ini. Aturan yang merupakan buah dari otonomi daerah dengan semacam 'instruksi' skala nasional ini mungkin mempertegas kekuatan dan gengsi negara atas sebuah ayat yang tercantum pada ideologi bangsa ini.


Sedikit bercerita. Saya seorang mahasiswa yang dalam jangka waktu berkala seringkali menempuh perjalanan menggunakan moda transportasi bus kota. Selain suara dan asapnya yang luar biasa, tentu suara nyanyian menjadi akrab di telinga bila kita berada pada mobil raksasa ini. Ya, nyanyian anak anak jalanan.


Maaf untuk para pejabat Satpol PP, Gubernur, Presiden, bahkan bapak-bapak punggawa NKRI yang menyusun UUD 1945 ini sebagai ideologi negara, karena terkadang nyanyian mereka menghibur saya di perjalanan sehingga saya rela memberi mereka sumbangan.


Saya tahu kritik adalah hal mudah untuk dilontarkan, dan perubahan adalah sesuatu yang sulit untuk dilakukan dan terlihatnya realisasi kadang bisa dibilang hoki-hokian. Tapi, punten, saya ada beberapa alasan mengapa saya tetap mengeluarkan sumbangan.


Pertama, saya merasa negara banyak memberikan solusi untuk mereka,tapi entah mengapa sepertinya tidak kena pada sasaran yang ada. Analisis ekonomi akhir-akhir ini dikemukakan jelas bahwa perekonomian kita tumbuh pesat ditengah guncangan ekonomi yang melanda Amerika-Eropa. Namun hal itu ternyata banyak dipacu oleh mereka kalangan jetset dan menengah-keatas yang memiliki perilaku konsumtivitas dan hedonitas cukup tinggi. Kesenjangan ekonomi tetap terjadi. Kaya bagi mereka yang 'telah kaya', miskin bagi mereka yang 'masih miskin'.


Kedua, Pasal 33 Ayat 1 berbunyi, "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan". Namun, sepengetahuan saya (maafkan bila salah), kekeluargaan ini belumlah selayaknya sebuah keluarga yang menginginkan kesejahteraan bersama. Sebagai contoh, prinsip kapitalisme sepertinya masih mendasari bank-bank negara. Sulitnya prosedur kredit bagi para pengusaha kelas menengah adalah fakta yang ada. Bisa anda bayangkan bagaimana sulitnya bagi mereka kalangan bawah yang hendak berusaha? Lalu, matinya koperasi juga memperburuk keadaan yang ada.


Dua alasan diatas menjadi sedikit alasan saya untuk berusaha membantu mereka. Ada banyak dari 'gepeng' itu dapat fasih menggunakan biola mini di bus kota, band sederhana di dalam kereta, hingga suara merdu dalam angkot tengah kota.


Saya tidak bisa bermusik. Semua itu tidak bisa saya lakukan, dan salahkah saya bila saya menganggap hal itu sebagai sebuah 'usaha jual jasa'? Jual suara? Sama seperti Anang & Ashanty, hanya saja ini versi murahannya. Ketika mereka yang berduit merasa terpenuhi utility nya dengan duet Anang & Ashanty, maka saya pun cukup terpuaskan oleh gesekan biola dan dentuman tam-tam anak-anak jalanan. Sebegitu berbedanyakah itu semua?


Lebih menjijikan lagi dengan keadaan sebuah ibukota provinsi yang dipenuhi manusia manusia tak jelas jenis kelaminnya di setiap perempatan ataupun simpang lima.


Pendidikan menjadi satu-satunya jalan untuk menyelamatkan para peliharaan negara ini agar cepat punah dari kehidupan yang demikian. Setidaknya, solusi ini lah yang digunakan Korea Utara hingga dapat menjadi salah satu negara maju di dunia. Jika boleh saya menambahkan, mungkin pendidikan disini tidak diartikan sebagai sebuah sekolah ataupun universitas. Melainkah etos kerja, mental baja, serta kemauan untuk berusaha.


Oiya, jangan lupa kalau tuhan tidak buta (dan jeli akan usaha yang ada).

Teh dan Cinta

Bercerita mengenai lebih dari satu tahun yang lalu, hal yang teringat oleh saya mungkin hanya satu: masuk kuliah. Setelah menjalani hampir setengah dari semester tiga, artinya saya telah memakan sedikitnya lebih dari dua semester di sini. Waktu terasa cepat, secepat flashback ingatan yang diceritakan ulang oleh secangkir teh yang menemani malam saya belakangan ini.


Akhir-akhir ini? Hmmmm singkat cerita, teh rasa cinta ini benar-benar sebuah momen re-behaviour atas apa yang saya lakukan dahulu, mungkin lebih dari satu bulan lamanya. Mungkin tidak baik untuk meng-egois-kan dan memukul rata fakta atas hal yang baru saja terjadi, tapi sejujur-jujurnya teh yang saya ceritakan kali ini memiliki cinta di dalamnya.


Jika pembaca meniliki notes saya jauh jauh sebelum notes ini, mungkin pembaca mengerti bahwa setelah ujian nasional tahun lalu, saya pergi merantau ke Bandung untuk mengikuti bimbingan belajar. Tidak merantau sepenuhnya, karena saya tidak tinggal sendiri seperti banyak anak rantau 'asli' di sana.


Jalan Kejaksaan di Bandung adalah rumah Enin saya. Akrab rasanya. Hampir pusat kota letaknya. Ramai isinya. Sederhana kehidupannya. Basah pelukannya. Dan satu hal yang tidak terlupakan: luar biasa teh nya.


Satu tahun lebih saya disana ketika balita, dan satu bulan lebih saya (kembali tinggal) disana sekiranya satu tahun lalu, atas nama perjuangan pendidikan dan masa depan. Saya tidak menyangka akan benar-benar kuliah di Bandung pada akhirnya, dan Bandung yang memang kampung halaman saya menjadi lebih akrab terlebih dahulu sebelum akhirnya saya benar-benar (kembali) tinggal di Bandung.


Satu hal yang absolutely tradisi disini: teh hangat. Sebenarnya ini sebuah teh biasa yang proses penyajiannya bukan merupakan teh celup, melainkan teh rebus (daun teh keringnya dimasukan ke dalam poci dan di rebus beserta air di dalamnya). Bahkan saya tidak ingat berapa gelas air putih yang sebenarnya bening itu saya teguk setiap harinya, karena begitu seringnya teh hangat tersedia di meja makan, lengkap dengan pilihan gula di sebelah poci teh tersebut.


Gula pasir, batu, hingga merah tersedia disana. Sejujurnya, rasa manis menjadi favorit saya sejak kecil, dan pedas (masih) menjadi musuh hingga saat ini. Hal ini membuat preferensi saya selalu memilih teh hangat dan manis nan enak itu dibandingkan lain-lainnya, bahkan segelas susu yang seyogyanya menjadi menu sarapan saya.


Mungkin seumur hidup saya, saat itu adalah masa masa yang cukup berat untuk dijalani, dan masa masa itu dilalui dengan bercangkir-cangkir teh setiap pagi dan malamnya. Teh menjadi pelengkap sarapan, penghibur sore hari, dan akrab dengan lampu belajar serta soal-soal pada malam hari. Banyak manusia berasumsi, sebuah masa berat yang telah terlewati membuat kesan yang berarti, dan sepertinya (untuk saya) hal ini terangkum pada teh hangat.


Rasa cinta mereka, penghuni Kejaksaan, dalam dukungan moril pada saya tercermin dari teh hangat yang tersedia. Tanpa bisa dipungkiri, itu kebiasaan mereka, dan saya beradaptasi dengan baik pada hal itu.


Dan teh kembali hadir minggu ini, menemani saya, juga dengan rasa cinta namun dari pihak yang tidak sama. Selamat minum teh bagi kalian yang menyukainya, semoga kehangatan selalu bersama anda semua!

Senin, 14 November 2011

Optimistis, Realistis

Akal manusia terkadang tidak terbatas imajinasinya. Susah untuk menakar jangkauan imajinasi manusia, walau memang sangat terbatas kemampuan manusia itu sendiri untuk menjawab segala pertanyaan yang ada. Namun, manusia terkadang dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok sifat berbeda, optimistis dan realistis.


Pada dasarnya, optimis pasti diartikan oleh pembaca sekalian sebagai sifat untuk berpikiran positif, percaya diri, yakin atas kemampuan, dan masih banyak lagi definisi lainnya. Terserah! Tapi satu hal yang pasti, optimis mencerminkan harapan.


Di samping itu, realistis juga memiliki sederet arti dalam lingkup pribadi. Sebagian orang menilai realistis sebagai sesuatu yang mendekati realita, mencerminkan asa dalam segala posibilitas kehidupan, dan juga kemampuan akan sesuatu yang dapat diperbuat olehnya. Satu hal yang menurut saya menjadi ciri dari realistis itu sendiri: kemungkinan


Jika diharuskan untuk memilih, anda akan mendahulukan harapan atau kemungkinan? Secara kasat mata, kedua kata ini mungkin tampak memiliki arti yang serupa, tapi serupa tidak pernah bisa menggantikan arti kata 'sama'. Hal Lindsey mengatakan: "A man can survive 40 days without food, 3 days without water, 8 minutes without breathing, but only a sec without hope". Tersurat bahwa harapan adalah satu-satunya hal yang dibutuhkan manusia. Lalu bagaimana dengan 'kemungkinan'? Telusuri saja seberapa besar kemungkinan objek manusia tersebut untuk menghadapi keadaan 40 hari tanpa makanan, 3 hari tanpa air, 8 menit tanpa oksigen, serta 1 detik tanpa harapan.


Lalu sebenarnya apa yang kita bicarakan?


Ambil contoh, ada sebuah atraksi pesulap yang ekstrim. Pada atraksi ini, sangmagician akan beraksi di dalam sebuah tabung, dan menenggelamkan dirinya pada tabung tersebut, dengan tangan dan kaki terikat pada borgol, dan harus melepaskan diri sebelum dirinya meninggal, tanpa kunci! Berapa besar harapan serta kemungkinan yang ada untuk atraksi ini?


Kemungkinan, dari awal atraksi, selalu besar karena predikat magician yang melekat pada orang tersebut. Semua orang jelas beranggapan bahwa segala trik yang dipertunjukan pasti telah di coba secara berulang, dan pesulap itu telah paham seluk beluk trik tersebut. Namun, jika kita bicara mengenai harapan, hal tersebut bergantung pada satu hal: kemampuan.


Selalu ada kemungkinan bagi Indonesia untuk menembus babak final Piala Dunia, namun soal harapan, sepertinya tidak. Kenapa mungkin? Jelas karena Indonesia terdaftar sebagai anggota FIFA, dan mengikuti seleksi Pra-Piala Dunia. Tapi soal harapan, tentu kita bicara kemampuan, dan sayangnya hal itu masih banyak diragukan.


Optimis dan realistis menjadi dua kata yang mendeskripsikan manusia dalam keadaan apapun yang dihadapinya.


Ketika pesulap tersebut tidak dapat lolos dari jeratan borgol yang membuatnya kehabisan nafas lalu meninggal, maka akan banyak faktor berbicara. Nasib, kemampuan, kerasionalan, hingga proses latihan. Semua faktor tersebut sebenarnya tidak muncul ketika sang pesulap telah gagal, tapi terlihat ketika dia memang sudah terlalu lama tidak dapat menyelesaikan tantangan yang ada. Asumsinya, ekspektasi yang ada seharusnya dalam 3 menit atraksi tersebut telah berakhir, namun ketiga memasuki menit keempat, tentu tingkat optimis para panitia dan penonton berkurang, dan pikiran bahwa tantangan ini realilistis untuk dapat diselesaikan juga berkurang.


Ada sebuah quote yang menarik soal ini. Semoga bisa menjadi penutup kata yang baik, dan tetap menumbuhkan semangat yang kuat.


"Kadang gue anggep cita-cita gue itu digantung setinggi atap rumah aja, walaupun ga setinggi langit tapi gue pasti bisa menggapainya."

Selasa, 11 Oktober 2011

Kosakata Mereka

Siapa Anda?


Ketika seseorang bertanya kepada anda demikian, jawaban apa yang akan anda berikan? Mungkin akan ada banyak pilihan dan itu seringkali melibatkan keadaan.


Jika yang bertanya adalah sahabat anda, pasti anda mengira dia bercanda. Jika yang bertanya adalah orang tua, bisa saja mereka menganggap anda adalah anak yang telah durhaka. Jika manusia tak dikenal yang bertanya, jelaslah hal wajar karena memang tidak saling kenal antara anda dan dia. (Maaf, penulis ini memang humornya jongkok)


Namun sebenarnya bukan hal itu yang dicari. Tapi kosakata pilihan yang sang penjawab berikan setelah dilemparkan sebuah pertanyaan. Tidakkah anda menyadari bahwa bisa begitu banyak macam jawaban yang bisa diberikan dari pertanyaan diatas yang hanya disusun oleh dua kata?


A: Siapa Anda?

B: Saya B


Itu versi simpel, mari tilik yang satu lagi.


A: Siapa Anda?

B: Saya orang keren yang easy-going


Dua hal berbeda kan? Satu lebih to the point, dan satu lagi lebih ke deskripsi personal secara singkat. Tapi, tidak ada yang bisa menyalahkan dua jawaban tersebut kan? Keduanya sama sama benar, sama sama menjelaskan siapa diri mereka.


Tapi dua jawaban dari satu pertanyaan ini menunjukan pemilihan kosakata yang menarik. Menunjukan kepribadian seseorang yang memang apa adanya. Kesampingkan penilaian baik dan buruk, tapi serously ini menunjukan sedikit sisi siapa mereka.


Contoh lebih real, buat anda yang remaja, coba tilik ketika ada teman yang berkata....

(Gunakan asumsi anda adalah seorang pria yang memiliki pacar bernama Susi. Dan anda memiliki seorang sahabat bernama Tono)


Tono: Mau kemana lo ntar malem?

Anda: Gatau, cabut paling sama cewe gue


Ok, contoh kedua


Tono: Pergi ga lo ntar malem

Anda: Gatau, gimana Susi kalo gue sih


Lagi, contoh ketiga


Tono: Malem kemana lo? Cabut sama cewe lo ga?

Anda: Iya palingan gitu sih

Terakhir nih, contoh keempat


Tono: Malem kemana lo? Susi lo ajak cabut ga ntar?

Anda: Gatau, ga ada duit nih gue


Pada dasarnya semua bukan merupakan problema dan tidak akan mengganggu hidup sebanyak ikan di samudera, tapi jelas setiap kata-kata menunjukan sesuatu yang tidak sama.


Kata ganti 'Susi' dengan 'cewe gue' atau 'cewe lo' merupakan hal kecil yang sama sekali tidak menggeser arti dari obyek yang bersangkutan. Tapi kenapa harus menggunakan kata ganti selagi bisa tidak diganti? Saya bukan jagoan tata bahasa, tapi seingat saya kata ganti dapat digunakan untuk menjelaskan lebih rinci mengenai sesuatu.


Lalu, apakah anda pikir bahwa si Susi itu akan sedih bila tau kalau anda hanya seringkali menyebut namanya, tanpa mengganti namanya dengan kata 'cewe gue' jika berbicara pada orang lain? Bisa ya, bisa juga tidak. Namun pikir ulang, buat apa juga dia sedih, dan buat apa juga dia senang? Toh tetap saja itu mengacu pada dirinya, kan? Lain hal bila objek yang di maksud telah mengalami pergeseran individu (artinya main serong, nyong!)


Hal ini pun terjadi di beragam pembicaraan dalam segala kepentingan bermasyarakat. Maksud-maksud rahasia, curhat, ejekan, pujian, hingga politik dan perbincangan bertopikkan mengenai keluarga seringkali menggunakan apa yang saya sebut sebagai fitur underground-talking.


Seingat saya, orang terlalu banyak bicara juga bukan sesuatu yang baik. Peribahasa mengatakan bahwa diam adalah emas. Walau emas sekarang lebih 'murah' karena seringkali diartikan sekedar 'warna', tapi tetaplah peribahasa itu menyampaikan kasta diam itu sungguh sungguh berharga. Tapi menurut saya sekarang ini dunia memang banyak bicara. Peribahasa tua yang kita tau sepertinya sudah dimakan usia, walau nilai nilai moral nya tetap ada. Singkatnya, diam itu tidak lagi berarti sebuah emas, tapi cukup menganut paham "Tak semua hal perlu dibicarakan".


Sebuah pilihan kata jelas menunjukan makna siapa diri kita, walau hanya kecil yang dibuatnya. Tapi anda jelas tidak menemukan hal yang lebih kecil untuk dapat digunakan melihat seperti apa manusia itu selain dari pilihan katanya walau sebagai sesama manusia sungguh kurang etis untuk saling menilai sesamanya.


Di lain hal, pilihan kosakata merupakan kemerdekaan dalam bersuara. Suka-suka anda, asalkan angan lupa tanggung jawab dan wibawa (juga maksud di dalamnya).

Sang Makna

Mulut untuk bicara

Dua suara, atau tiga

Pikirku, semua ada asa

Malu tuk ungkap semua

Semua? Hanya soal rasa

Yang diselimuti kata kata


Wajar saja

Itulah dunia, wahai manusia

Romansa untuk saya

Cukup diam tanpa kata

Dan lihat semua

Lalu? Lihat siapa yang juara

Raksasa Jumawa

1 September 2011. September ceria. Ya, banyak kepala memerintahkan mulut untuk berdoa agar mereka dapat menjalani kehidupan yang ceria di bulan ini. Saya? Sama dengan mereka, dan rutinitas yang saya lakukan setiap harinya juga tak lupa untuk dilakukan: buka timeline


Sebagian orang sangat anti terhadap twitter. Fergie berkata bahwa masih banyak hal yang dapat anda lakukan dengan manfaat yang lebih banyak daripada membuang waktu untuk twitter-an. Well, sepertinya beliau sedang nyepet pemilik akun @rioferdy5 yang memang memiliki kpentingan lebih dengannya.


Namun bagi saya, twitter adalah sebuah kicauan manusia yang (ok, harus diakuin) terkadang meracau secara kacau. Tapi, itu semua kembali kepada owner dari setiap akun-akun yang ada. Indra Herlambang mengatakan bahwa twitter itu dulunya indah sebelum ada istilah 'eh follback gue dong' dan lain sebagainya. Twitter sekarang menjadi ajang balap gap antara following dan followers. Seharusnya mereka sadar bahwa itu tidak memberi mereka uang, dan tidak pula dapat mengenyangkan isi perut mahasiswa yang belum sarapan.


Buat saya, twitter tetap berguna. Contohnya?


Goenawan Mohamad, pemiliki akun twitter @gm_gm, adalah inspirasi dari notes yang saya ketik ini. Dan sumpah, dia memberi inspirasi ini hanya dengan mengetik dua puluh kata!


"Ide awal dari mobil adalah utk bergerak cepat. Kini mobil adalah ruang utk bisa sedikit nyaman dalam keadaan tak bergerak"


Sehari sebelum tweet ini nongol di timeline saya adalah hari lebaran, yang juga H+1 lebaran, juga H-1 lebaran. Isi hari itu? Selain minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin, hape yang tak berhenti berdering dengan sederet ucapan selamat lebaran, dan ada dua huruf 'M' penting yang tak boleh dilupakan: mudik dan macet.


Bukankah sebenarnya mudik itu melibatkan hubungan sakral antar manusia yang terikat dengan ikatan darah dan perkawinan? Adakah ikatan antara manusia dengan mobilnya? Manusia dengan motornya? Dapat dipahami bila disana terdapat hubungan antara manusia dengan moda transportasi, itu jelas. tapi transportasi yang mana?


Sebenarnya, tak hanya mudik untuk mencari contoh kecil dimana manusia menjadi raksasa. Disini kita dapat melihat jelas dimana manusia memanjang hingga hampir dua meter, memiliki berat seratusan kilogram, dan terlapisi oleh kulit fiber. Ya, itu adalah manusia motor.


Di lain kasus, manusia lainnya tumbuh hingga memiliki volume 12m³, dengan bemper pada setiap dengkul kakinya, juga cermin pada telinganya. Kali ini adalah makhluk bernama manusia mobil.


Maka jelas ketika dasarnya manusia menciptakan sebuah kendaraan untuk dapat bergerak lebih cepat, tetapi dengan penggunaan yang salah membuat penemuan ratusan tahun lalu yang terus berkembang ini menjadi sampah. Tak berpikirkah mereka bahwa dunia ini tetap pada ukuran yang sama? Bahkan diprediksi menyempit karena termakan oleh air di luar sana?


Saya juga bukan manusia sempurna yang begitu cinta dunia hingga tidak menggunakan kendaraan untuk aktivitas kemana-mana. Tapi saya berusaha untuk mengurangi ke-eksklusivitas-an dalam berkendara. Mungkin jujur saja bukan karena saya cinta dunia, tapi ekonomi tidak mendukung saya untuk berfoya-foya. Ya, saya masih mahasiswa.


Maka lain halnya bagi mereka, para bapak yang bekerja atas nama cinta keluarga dan negara, yang membawa tiga kursi kosong kemana-mana, padahal ia tau bahwa kursi-kursi tersebut harus senantiasa dibersihkan walau tanpa penghuni. Luar biasa kan manusia ini?


Merekalah para raksasa dunia. Mereka yang tidak memanfaatkan transportasi umum yang ada. Mereka yang dengan senang hati memperbesar ukuran 'badan' mereka dan menari indah di ruas ruas jalan ibukota. Mereka adalah superstar. Tak percaya? Lihatlah, bukankah mereka sampai rela membayar pantat orang untuk duduk di kursi kosong yang mereka bawa kemana-mana hanya untuk melewati sebuah jalan dengan sebuah aturan yang diciptakan pemerintah demi efesiensi mobilitas manusia dan menekan angka kemacetan dalam kota?


Tweet @gm_gm berikutnya ialah: "Makin banyak orang mampu mencari tempat yang sepi -- dan menemukannya sudah tak bisa sepi lagi."


Saya adalah pengguna sepeda motor setiap harinya. Saya mengerti betapa banyaknya sepeda motor yang ada saat ini. Kemudahan memperoleh kuda besi tersebut bahkan mengalahkan kemudahan untuk memperoleh kuda sungguhan yang diciptakan Tuhan. Hingga saya terkadang kesal dengan fasilitas parkiran motor yang sangat tidak menghargai harga motor tersebut....


Wajarkah keluhan saya tersebut? Wajar, mengingat tidak terjaminnya motor anda dari baret gaib yang terkadang ujug-ujug ada.


Namun dengan mengeluh begitu, berarti anda menganggap wajar banyaknya tempat luas yang diciptakan hanya untuk parkiran kendaraan. Ketika parkiran menjadi bisnis yang menggiurkan, maka benar bahwa tempat sepi telah menjadi ramai. Ramai oleh para raksasa...


Negara kita memang masih kelas dua dalam hal moda transportasi umum dan kurang memberi kenyamanan dan keamanan di dalamnya. Namun, ada baiknya anda berusaha mengurangi apa yang bisa anda kurangi. Mungkin dengan membuka nebeng.com? Bukan promosi, karena tak satupun adminnya adalah keluarga saya. Tapi sumpah ini adalah gerakan yang peduli lingkungan.


Ataukah ada diantara kalian yang mampu memperbesar bumi ini? Let's try!

Sabtu, 03 September 2011

Pengukur (Yang) Sempurna

Dunia menyuguhi kita, para manusia, dengan sederet kenyataan yang nyata, fakta, dan tidak (begitu banyak) rahasia. Dunia, yang sering disempitkan artinya oleh manusia awam sebagai 'bumi', adalah sesuatu yang sebenarnya hampa, dan dibuat penuh serta nyata oleh manusia. Ya, kita.


Dalam arti kecil, mungkin saya bisa menyimpulkan bahwa Bogor adalah dunia saya. Lalu saya berekspansi, dan Bandung pun setahun ini begitu akrab dengan saya. Kecilkah dunia saya? Setidaknya bertambah luas, namun tetap saja saya (masih) buta akan ibukota nusantara, Jakarta.


Sebuah dialog lucu dengan Paman saya malam itu memberi inspirasi untuk menulis sebuah catatan kecil ini. Beliau melemparkan sebuah pertanyaan,


"Sal, kamu tahu apa ukuran kemacetan di Jakarta?"

"Engga"


Oke pembaca, apakah menurut kalian saya ini bodoh? (Sebenarnya apa yang bakal kalian jawab kalo dikasih pertanyaan kaya gitu? Pukul rata, situasinya lagi di lampu merah duaratus-an detik?)


Saya cenderung untuk menjawab tidak tahu, padahal terbesit dalam otak saya jawaban yang sungguh-sungguh sophisticated (bukan sok pinter tapi ini serius!).


Hal pertama yang hinggap dalam jalan pikiran saya, yang hampir diutarakan oleh mulut saya, adalah jumlah mobil dan motor yang luar biasa banyak.


Jawaban itu, bila benar-benar saya utarakan, pasti akan saya jelaskan secara simpel karena tentunya malesin banget berbicara soal kredit motor yang sekarang ini begitu murah, perbaikan mutu jalan yang tidak seimbang dengan jumlah pertambahan kendaraan, pajak yang diselewengin oleh para copy-cat maupun founder Gayus Tambunan, hingga jeleknya moda transportasi umum yang ada.


Namun beliau menjawab, "Pengamen".



Kadang-kadang pengamen memang hanya bekerja di sebuah lampu merah. Namun apakah setiap lampu merah itu menjadi kantor bagi para pengamen? Tidak rasanya. Tentu kalian sadar kan bahwa ada beberapa yang menjadi 'kuburan', dan beberapa yang selayaknya 'pertunjukan orkestra'? Terlepas dari faktor satpol pp dan polisi, tentu keramaian kantor lah yang diincar para 'pekerja suara kemiskinan'. Sebuah ukuran yang nyata dan sempurna, bukan?


Bila pengamen digolongkan sebagai pekerjaan resmi, dan setiap pekerjaan berorientasi pada penghasilan, maka pengamen tentunya akan berusaha mengumpulkan penghasilan sebanyak-banyaknya. Bagaimana? Dengan bekerja pada sumber pundi-pundi mereka. Siapa? Para pengguna lalu lintas yang sedang terhenti mobilitasnya.


Tilik lebih dalam! Dunia yang tidak sempurna ini berarti diukur kesempurnaannya oleh manusia-sang-makhluk-sempurna-ciptaan-Tuhan. Ironis?


Dalam kehidupan, sepertinya benar bahwa kita tidak membutuhkan sesuatu yang rumit dan panjang. Mungkin disini kita bisa sama-sama memahami ulang, mengapa dalam ujian sekolah, guru seringkali meminta jawaban yang singkat, jelas, dan padat. Tilik mulai dari hal ter-simpel dan terjarang ditilik oleh orang lain.


Jadilah seorang yang berbeda, karena kita adalah makhluk sempurna di dunia yang tidak.

Minggu, 07 Agustus 2011

8erusaha

Anggap saja saya memiliki lima saudara yang bisa dibilang seumur. Well, rentang usia antara SMA hingga mahasiswa agaknya bisa di bilang sungguh rata. Singkat cerita, mereka akhir-akhir ini sering ngajakin main billiard (Aduh, menurut saya kalo pake istilah 'nyodok' itu sungguh ambigu sekarang-sekarang ini).


Saya sendiri sebenarnya tidak begitu pandai dalam olahraga yang satu ini. Bisa dibilang saya penganut paham 'Asal kena', bukan 'Harus masuk'. Sebelum game pertama, jujur aja saya lupa aturan mainnya! Ada lebih dari satu tahun gak megang stick, membuat saya harus kembali dijelaskan apa yang dinamakan 'Bola Delapan'.


Game ini mengharuskan kita untuk memasukan bola nomor delapan ke dalam enam lubang yang tersedia di setiap sudut meja, namun dengan syarat harus menghabiskan bola nomor-nomor lainnya terlebih dahulu. Singkat cerita, memasukan bola nomor delapan tidak pada waktunya membuat kita kalah dan kehilangan segalanya.


Dan memang bodohnya saya, hari itu saya melakukan hal yang mencetak kekalahan pertama sore itu. Bola delapan masuk sarang dengan cepat.


Pikir saya (sembari mengelak atas kebodohan saya soal aturan permainan dan melakukan pembelaan mati-matian) kalo memang bisa mencetak goal dengan cepat, buat apa berlama-lama mengurusi bola lainnya?


Tiga detik berselang, saya berniat menulis notes sok-bijak ini. Maaf jika tiga detik terlalu lama, tapi saya bisa pastikan tiga detik itu adalah sebuah proses yang tercipta alamiah.


Lupa kah kita semua akan arti dari 'proses'? Alhamdulillah saya hanya lupa hal tersebut selama tiga detik lamanya. Terlepas dari kenyataan dimana aturan game tersebut memang telah demikian adanya, dan hidup yang baik mengajarkan saya untuk mematuhi segala peraturan yang ada, aturan ini mengajarkan kita bagaimana melakukan sebuah 'proses' dan 'berusaha'.


Studi kasusnya: Mari pikirkan oleh Anda. Pemenang game ini adalah siapapun yang memasukan bola delapan paling cepat dan tepat waktunya. Artinya, pemenang adalah dia yang dapat memasukan bola delapan setelah seluruh bola nomor lainnya hilang dari meja. Adakah aturan bahwa sang pemenang haruslah orang yang memasukan bola terbanyak? Adakah constraint yang mengatakan bahwa ia tidak dapat menjadi seorang pemenang apabila hanyan mampu memasukan bola delapan di saat-saat akhir?


Tidak. Dan menurut anda, lebih jago manakah seseorang yang mampu menuntaskan seluruh bola selain bola delapan, lalu terpeleset dan gagal menuntaskan bola delapan, dan sang lawan menjadi pemenang karena bola delapan masuk oleh sodokan stick nya?


Hidup memang kejam. Bila game itu mempertaruhkan gelar juara dunia, tentu orang kedua tetaplah yang juara. Apakah itu adil?


Aturan tetap aturan. Tidak bisa dikondisikan bila memang takdir yang mengatakan demikian. Namun, secara pribadi jelas saya lebih menyukai orang pertama, walau ia menjadi pecundang di hadapan si piala dunia. Saya rasa juga banyak spectator diluar sana berpendapat demikian, bahkan juga mungkin anda yang membaca cerita ini.


Hoki? Ya, sebagian dari manusia berpendapat bahwa keberuntungan adalah bagian dari kemampuan. Boleh jadi saya pun adalah orang-orang yang setuju dengan pemikiran seperti ini, tapi bagaimanapun juga keberuntungan itu tidak akan pernah menjadi bagian dari usaha, kan? Ingat-ingatlah tokoh bernama Untung dalam komik Donal Bebek yang mungkin menjadi santapan anda sebelum beranjak remaja dan dewasa dahulu kala.


Terkadang kita memang terlena dengan segalanya di luar apa yang dinamakan usaha. Hal ini tidak hanya dapat terilustrasikan dalam cabang olahraga billiard.


Sudah lama saya mengharapkan adanya penghargaan yang setara terhadap mereka para top-assist dengan para top-scorer dalam cabang olahraga sepakbola, karena tidak selamanya goal legendaris aksi individu Maradona ke gawang Inggris itu lebih keren daripada dua assist Beckham untuk Ole dan Sheringham ke gawang Muenchen tahun 1999.


Idealisnya, berusaha adalah sebuah kewajiban, dan proses adalah sebuah rangkaian yang menciptakan kehidupan. Berusahalah, toh teori Newton III yang mengatakan "Aksi = Reaksi" masih berlaku, kan?

Jumat, 29 Juli 2011

Flow

Apa yang membuatmu betah melakukan suatu rutinitas? Profesionalisme? Gengsi? Tuntutan beberapa pihak? Atau mungkin kebutuhan hidup? Well, semua orang tentunya memiliki jawaban yang berbeda, karena kehidupan yang dijalani oleh setiap individu selalu berbeda. Mungkin saja serupa, tapi tetap saja kata 'serupa' tidak dapat di definisikan sebagaimana kata 'sama'.


Jika saya boleh bertanya, maka menurut anda darimanakah rasa jenuh akan sesuatu itu datang?


Okay, saya bukan ahli bahasa Indonesia yang juara, maka mari kita samakan arti dari kata jenuh dan bosan hanya di dalam notes ini, selanjutnya silahkan buka kamus besar bahasa kita yang tebalnya sangat jumawa.


Terkadang beberapa orang mendapatkan kehidupannya tidak dengan sebuah rutinitas, namun sebagian besar melakukan rutinitas untuk memperoleh apa yang di inginkannya. Benarkah? Ya, melakukan sesuatu yang berulang setiap harinya, dengan tujuan yang sama, bahkan mungkin dengan misi yang tidak diinovasi dari waktu ke waktu adalah contoh dari sebuah rutinitas. Contoh riil? Menurut Anda, apakah memasak dan makan ketupat saat hari raya Idulfitri adalah sebuah rutinitas tahunan? Sebagian dari Anda mungkin menjawab ya, dimana sebagian lagi menjawab, "Itu sih adat lah!".


Kedua jawaban tersebut mumpuni untuk menjawab pertanyaan yang ada, dan tidak ada keraguan akan itu. Namun, terlepas dari rutinitas atau bukan, apakah anda tidak bosan jika melakukan sesuatu tanpa adanya perubahan?


Sejauh saya mempelajari ilmu ekonomi, salah satu kurva-kurva yang menarik bagi paradigma saya mengenai kehidupan ialah The Law of Diminishing. Hukum ini menjelaskan berbagai hal, misalnyadiminishing of marginal utility, atau mungkin diminishing of marginal product. Ditilik dari arti katanya,diminishing mewakili arti 'adanya pengurangan dari suatu variabel yang diamati'. Hal menarik yang patut dicermati adalah, pengurangan pengurangan yang ada selalu terjadi manakala suatu faktor penentu variabel tersebut telah berada pada titik puncak, sehingga input dan output tidak akan seimbang dengan sama ekspektasi semula dan hasil-hasil sebelumnya.


Sekarang bagaimana bila kita buat studi kasus ini dalam kehidupan keseharian manusia. Pertama, ubah kata 'puncak' menjadi 'titik jenuh', lalu kata 'rutinitas' menggantikan 'suatu faktor penentu variabel tersebut'. Asumsinya, variabel yang diukur adalah 'kesenangan'. Got It? Ubah juga kata 'input' menjadi 'usaha' dan 'output' menjadi 'kesenangan'


Bagaimana redaksi kalimatnya?


Bahkan dengan seyakin-yakinnya saya dapat mengatakan bahwa bagi orang yang loyal sekalipun, sesuatu yang rutin dan telah berlebihan pasti akan menurunkan 'gairah' untuk melakukan hal itu lagi di esok harinya, bahkan mungkin tahun berikutnya! (Ya bayangin aja kalo tiap lebaran nyamperin engkong terus disuguhin ketupat dengan rasa yang sama, meja makan yang sama, orang-orang yang sama, serta isi acara yang sama?)


Flow. Bila saya dapat ciptakan teori The Flow of Spirits and Willingness, mungkin David Ricardo dan Karl Marx akan menertawakan gelar S.E yang insyaallah akan saya peroleh beberapa tahun kedepan karena flow ini juga salah satu yang bersifat diminishing.


Rutinitas tentunya tidak bisa dihindari, tapi wajib untuk diakali. Pengaturan flow adalah salah satu kunci untuk menyelesaikan hal ini. Tentunya disadari atau tidak, inilah yang mendasari sebagian besar manusia berpikir untuk menyisipkan games di tengah-tengah seminar padat karya, membuat janji baju lebaran sewarna untuk satu keluarga besar dan berbeda warna setiap tahunnya (sehingga album foto lebaran keluarga pasti udah kaya pallet cat lukis), atau mungkin menggunakan jatah bolos bagi para mahasiswa karena merasa absensinya masih cukup untuk ikut serta dalam ujian akhir.


Hal-hal baik di luar rutinitas tentunya adalah sesuatu yang terkadang diharapkan. Itulah salah satu alasan mengapa surprise selalu menjadi hal yang menarik dan menyenangkan, walaupun pada hari ulang tahun anda tidak mendapat kue apapun tetapi pulang dengan badan bau comberan. Semua tetap menyenangkan dan berkesan.


Jadi, let it flow and keep up the good flow!

Sabtu, 09 Juli 2011

Alasan (dan Pertanyaan)

Sedikit-sedikit, orang selalu bertanya mengenai alasan atas setiap keputusan yang diambil. Entah itu oleh dirinya sendiri maupun pihak lain. Yang jelas, menurut saya hal ini bersifat sungguh manusiawi, dan sudah menjadi hal lumrah (bahkan sangat lumrah) mendengar, "Kenapa?" atau "Jelasin coba sama gue..." dalam setiap kesempatan yang berbau adanya kebutuhan unsur-unsur penjelasan. Ya, pihak penanya mengejar apa yang dinamakan 'alasan'.


Dalam ilmu manajemen, dijelaskan bahwa sesuatu yang dibutuhkan setiap manusia agar termotivasi dengan sempurna ialah 'kebutuhan'. Artinya, kebutuhan manusia itulah yang menjadi alasan dari apa-apa yang mereka lakukan. Simpelnya, alasan mengapa ayahmu pergi gelap dan pulang gelap pasti salah satunya untuk dapat membayar biaya semesteran kuliahmu.


Sebenarnya saya sendiri bingung, kenapa alasan selalu menjadi faktor penting dari setiap keputusan. Menurut Anda, mengapa? Entah, saya yakin pastinya setiap kalangan memiliki definisi tersendiri mengingat pertanyaan ini bukanlah sesuatu yang eksak. Definisi akan hal hal kecil seringkali lahir dari dalam diri secara spontan dan dipengaruhi oleh kata hati dan perasaan. Betul?


Contoh dari dunia remaja? Hmmmm, mari ilustrasikan dalam diri anda....


Ada dua orang remaja yang memiliki keterkaitan cinta (yaaaa, cinta monkey juga gapapa asal mereka pacaran). Lalu, bayangkan mereka putus secara sepihak (misal si pihak pria memutuskan hubungan tiba-tiba). Tebak kelanjutannya, pasti pihak wanita akan bertanya-tanya kan atas keputusan yang ada? Jelas cuma satu yang dikejar, alasan.


Bila di runut ulang sesuai imajinasi dari setiap individu yang membaca tulisan ini, terutama anda yang sekarnang sedang membaca dengan bosan, mungkin aje si cowo itu selingkuh, atau mergokin cewe nya main api kemarin malamnya, mungkin kan? Yaaaa, apapun itu, tentu memiliki alasan. Sulit untuk melakukan sesuatu hal tanpa sebuah alasan.


Yang sebenarnya jadi masalah, seberapa pentingnya sih mempertanyakan sebuah alasan untuk setiap keputusan? Ok, jelas setiap yang diperbuat oleh manusia pasti memiliki alasan. Dalam kasus percintaan diatas, saya sendiri setuju bahwa adanya keharusan untuk menjelaskan alasan, karena hal ini berhubungan antara dua pihak dan harus diselesaikan dengan bijak. Namun, apakah benar bahwa setiap keadaan memerlukan penjelasan alasan?


Semakin dewasa, sewajarnya anda dapat menjawab berbagai pertanyaan yang lahir dalam benak tanpa perlu banyak bertanya, tapi melalui intuisi, membaca raut wajah, perilaku, cara tutur kata, dan lain sebagainya.


Seseorang pernah berkata, 'Segala pertanyaan pada akhirnya akan terjawab sendiri oleh si pemilik pertanyaan'. Entah mungkin saya yang salah tafsir atau bagaimana, tapi yang saya tangkap ialah 'Pada akhirnya sang pemilik pertanyaanlah yang berhak menentukan jawaban mana yang akan disetujui olehnya'. Got this? Selalu lahir banyak jawaban dari sebuah pertanyaan simpel, dan hanya sang pemilik pertanyaan yang berhak memilih jawaban mana yang ia kehendaki dan dirasa memuaskan sel-sel pemikir dalam otak.


Di sisi lain, seperti tulisan saya terdahulu yang berjudul Otak dan Hati, Sugesti dan Sinergi, jangan lupa bahwa dasar kehidupan manusia berasal dari logika dan perasaan, dua hal berbeda yang harus senantiasa berjalan beriringan dalam berbagai macam keadaan. Terkadang, perasaan dapat menentukan sesuatu tanpa sebuah alasan. Sebaliknya, logika selalu mencari sebuah alasan sebelum memutuskan sesuatu dalam sebuah keadaan.


Seorang wanita pernah berkata, 'Love has no reason'. Ada benarnya saya pikir, karena terkadang anda tidak dapat menjelaskan abstraksi perasaan anda karena memang ada hal-hal yang sungguh abstrak untuk diungkapkan dengan kata-kata. Inilah yang dinamakan perasaan, dan anda tidak selalu menemukan alasan dalam setiap perkara mengenai perasaan.


Jadi, masihkah anda merasa bahwa mempertanyakan setiap alasan adalah sebuah keharusan? Ataukah sekarang anda mulai berpikir bahwa beberapa pertanyaan tidak memerlukan alasan? Yang benar adalah setiap perbuatan pasti memiliki alasan, namun tidak setiap alasan perlu dipertanyakan.

Sabtu, 28 Mei 2011

Dua Sisi, Pilihan, dan Konsistensi

Dalam keseharian, selalu terdapat waktu untuk memilih berbagai pilihan dengan sederet kemungkinan yang hasilnya hanya dapat diperkirakan. Kearah manapun anda berfikir, sejauh apapun, sekreatif apapun, tetap saja ketidakpastian itu muncul sebagai sebuah jawaban. Tidak pernah ada sesuatu yang pasti untuk setiap kemungkinan.


Satu-satunya kepastian yang diberikan dari sebuah kemungkinan adalah 'opsi'. Opsi, atau langkah, adalah hal hal yang pasti ada dan harus di pilih sebagai sebuah jawaban dari permasalahan yang hadir. Tanpa melangkah, anda adalah benda mati. Tak perlu hiraukan dahulu apakah anda akan melangkah maju atau mundur, tapi pilihan anda untuk melangkah adalah permasalahan awal yang harus diselesaikan.


Layaknya sepakbola, tidak ada salahnya kan untuk melakukan passing ke belakang? Sebaliknya, melangkah kedepan terlalu jauh dan terlalu cepat adalah sebuah off-sideyang melanggar peraturan.


Lahirnya beragam pilihan bisa saja terjadi pada saat yang bersamaan. Suatu saat anda merasa tidak punya pilihan, dan saat berikutnya anda merasa memiliki beragam pilihan. Sebuah hal yang wajar, mengingat pilihan terkadang tidak hanya output dari pemikiran sendiri, tapi juga dari lingkungan, keadaan, atau mungkin kawan dan rekan-rekan.


Namun, disini kita tidak membicarakan berapa pilihan yang dimiliki, tetapi tentang satu pilihan yang harus dipilih. Konsistensi, cita-cita, atau mungkin goal adalah beberapa kata yang bisa mewakili apa yang dimaksud dari 'hanya sebuah pilihan'


Baik pria maupun wanita, asal mereka masih manusia, rasanya wajib untuk menentukan sebuah pilihan, dan selayaknya pilihan itu harus dipikirkan matang-matang, jangan sampai dirasa baik untuk pribadi sendiri, tapi buruk untuk pihak lain sisi.


Malam ini perhelatan final sepakbola eropa, mari kita ambil contoh dari sisi sepakbola.


Semua tahu Lionel Messi adalah seorang striker kelas dunia milik Barcelona. Andaikan oleh anda, saat ini Barcelona dipimpin oleh seorang pelatih baru. Sang pelatih, entah dari sisi pandang mana, menilai bahwa Messi cocok bermain sebagai seorang pemain belakang.


Messi, yang dikenal sebagai pemain baik hati dan jarang lepas kontrol emosi di dalam dan luar lapangan, menerima keputusan sang pelatih untuk memainkannya sebagai seorang pemain belakang, walau dalam hatinya ia tidak suka tapi ia memilih untuk menerima.


Percobaan pertama, Messi dinilai bermain baik sebagai pemain belakang dan pelatih yang merasa diberi 'angin segar' terus merasa pede dengan keputusannya memainkan Messi sebagai pemain belakang. Ia melihat Messi senang akan keputusannya, walau di sisi lain Messi 'terpaksa menerima' karena tidak enak dan hanya tidak ingin memiliki hubungan buruk dengan pelatih saat ini.


Cerita diatas memperlihatkan apa yang dinamakan dua sisi yang berinteraksi. Interaksi fisik terjadi dengan cover yang baik, tapi entah dengan batin serta hati. Sebuah pilihan selayaknya diprioritaskan untuk menjalani kehidupan, dan harus mempertimbangkan dari dua sisi. Dalam pandangan saya, Messi harus lantang bicara tidak bila memang dia tidak suka, sehingga sang pelatih dapat mengerti dan tidak seperti diberi harapan kosong yang segar oleh seorang striker sekaliber Messi.


Jujur terhadap kata hati adalah sebuah sisi, dan isilah sisi lainnya dengan pilihan yang telah dipertimbangkan matang-matang demi anda dan pihak-pihak lainnya.

Kau Percaya, Maka Berharga

Pernahkah anda membaca sebuah 'cerita rakyat modern'? Sebuah cerita yang beredar dari internet,instant message, e-mail, hingga broadcast message? Mungkin sebagian banyak diantara kalian adalah figur-figur yang pernah membacanya, walau hanya sedikit yang memperhatikan. Namun, pernahkah anda memperhatikan sebuah cerita mengenai kepercayaan?


Cerita itu memiliki inti dimana sebuah kepercayaan tidak ubahnya sebuah paku yang telah ditanamkan ke dinding. Sekali engkau percaya, maka itu akan tertanam kuat. Sekali engkau mengkhianati, hal itu akan dicabut terpaksa dan membekas selamanya.

Sebuah cerita yang menurut saya sederhana, tapi tidak hanya masuk dengan logika, melainkan juga 'ngena' dengan jalan pikiran suara hati. Kepercayaan disini hadir dengan status 'sakral' dan tidak bisa sembarang dibongkar-pasang. Butuh usaha untuk menanamkan, dan sakit ketika harus untuk melepaskan.


Mahal? Jelas!


Sesuatu dikatakan mahal tidak didasari oleh sumber daya maupun power dari calon konsumen, tetapi dari tingkat kebutuhan dan ukuran rasionalitas fungsional. Walaupun anda seorang Richie Rich, atau mungkin Bruce Wayne, yang hartanya memiliki bilangan yang tidak dapat lagi terbilang, pasti akan berfikir puluhan kali untuk membeli sebuah ponsel Nokia 1112 seharga $1000.


Mengapa? Jawabannya adalah sebuah pertanyaan retorik. "Buat apa?"


Setelah itu, saya yakin bahwa mereka-mereka yang bilionaire tidak akan ragu bila menggunakan $1000 untuk membeli sebuah sepeda motor, dengan asumsi mereka benar-benar membutuhkannya, setidaknya untuk pembantunya.


Kepercayaan menjadi sebuah komoditas yang mahal. Terbentuk dengan proses yang tidak dapat digantikan, dialihfungsikan, ataupun dijual kembali!


Bingung? Bagi anda yang k*skus-er, mungkin malah saya yang bingung bila anda tidak mengerti dengan apa yang saya jabarkan diatas. Salah satu situs terpopuler di Indonesia ini menjaring transaksi dan informasi berdasarkan asas kepercayaan.


Online shopping merupakan salah satu aktifitas penuh asas kepercayaan. Beragam cara di gunakan untuk mengukur tingkat kepercayaan, salah satunya dengan status pengguna akun tersebut. Dari'newbie' hingga mungkin 'addict' adalah salah satu tolok ukur seberapa pantaskah kepercayaan anda dipercayakan pada para pihak kedua atau ketiga.


Kepercayaan juga membuat anda dapat memperoleh sesuatu yang benar-benar berharga. Kepercayaan ada dalam setiap lubuk hati, hingga segala aktivitas yang selama ini kita lalui.


Akhir dari segala pencapaian atas dasar kepercayaan, janganlah pernah lupa untuk berucap 'terima kasih!'

Sabtu, 14 Mei 2011

Kamu Bicara Kamu

Inspirasi kembali hinggap dalam kamar mandi sore ini, entah mengapa, tapi ini sering terjadi akhir-akhir ini. Mandi sore membuat saya kembali fresh untuk menyongsong siaran siaran olahraga di malam hari.


Setiap manusia memiliki kemampuan yang berbeda, dan sepatutnya setiap insan manusia memaksimalkan apa yang mereka punya. Mengapa? Efesiensi bakat dan efektifitas usaha adalah jawabannya. Menurut saya, usaha untuk mengejar sebuah asa adalam sesuatu yang wajib hukumnya, namun tentu usaha yang dilakukan untuk sebuah hal yang sangat jauh dari kemampuan dan bakat kita membutuhkan energi dan waktu yang lebih lama dibandingkan usaha untuk mengejar sesuatu yang 'mungkin' menjadi bakat kita.


Contoh, seorang yang terampil dalam menggambar mungkin tidak begitu terampil dalam berhitung. Tentu, bila dia berusaha memahirkan skill menggambarnya akan membutuhkan usaha yang tidak sekeras usaha untuk memahirkan berhitung, karena pada dasarnya dia tidak terampil dalam berhitung. Waktu yang dibutuhkan baginya untuk terampil menghitung sebuah soal al-jabar pasti akan jauh lebih lama dibandingkan dengan waktu yang dia butuhkan untuk terampil menggambar sebuah bajaj.


Yang jadi pokok permasalahan, bagaimana setiap insan manusia dapat menilai dirinya sendiri dalam hal 'bakat' dan 'keunggulan'?


Dunia modern dengan segala teknologi terbarukan tentunya akan menyarankan untuk tes bakat, pergi ke psikolog handal, finger-print, dan segala hal lainnya. Apa ada yang bisa membuktikan seberapa besar kejituan media media penilai bakat tersebut, selain teori teori dasar dari setiap bidangnya?


Seorang psikolog mungkin melandasi segala asumsi yang dia berikan pada kita dengan segala teori-teori perkuliahannya dahulu, dan juga pengalaman-pengalamannya selama ini. Akankah selamanya teori-teori tersebut benar-benar dapat diandalkan?


Disini saya tidak berusaha memberikan pola pikir untuk tidak percaya pada semua media-media penilai bakat tersebut, namun menyarankan anda untuk pede dan sedikitlah bersikap sombong.


Aneh? Tidak menurut saya, karena pada dasarnya yang benar-benar mengetahui diri anda, adalah anda sendiri. Otak anda sejak lahir tidak pernah diganti, dan sejak lahir hanya otak itulah yang menggerakan seluruh jiwa raga anda. Lalu, mengapa anda harus begitu percaya penuh terhadap penilaian dari otak orang lain? Sedikitlah pede dan bersikap sombong.


Di sisi lain, sebenarnya bukan merupakan sebuah kesalahan bila media-media tersebut anda gunakan untuk bahan acuan, penambah wawasan dan pandangan serta pola pikir. Gampangnya, sebagai pihak ketiga untuk input segala hal, serupa seperti diskusi anda dengan kedua orang tua atas suatu masalah. Setuju?


Masalah lainnya, seberapa handalkah anda menilai diri anda sendiri?


Mari kita ambil sebuah contoh. Akuntansi adalah sebuah ilmu yang membutuhkan kesabaran dalam memandang setiap angka, berikut dengan tanda titik dan koma di dalamnya. Ketika anda ingin memilih ilmu tersebut untuk dipelajari, (misal saya memberi dua faktor yang mempengaruhi) lebih penting untuk menimbang 'kemampuan berhitung' atau 'ketelitian kerja' ? Keduanya adalah hal yang penting, mungkin sama pentingnya, dan andalah yang bisa menilai diri anda sendiri.


Hal yang sama juga terjadi pada pendidikan desain. Lebih penting 'pandai menggambar' atau 'pandai berimajinasi'?


Tentu tidak akan menjadi sebuah masalah bila anda menguasai segala faktor-faktor yang harus dipertimbangkan, dan anda adalah salah satu yang terbaik diantara rekan anda lainnya. Namun bila terjadi sebuah ketimpangan pada salah satu faktor, pilihannya cuma satu : Pikir ulang baik-baik, bersikaplah pede dan jangan ragu untuk sedikit sombong atas kemampuan anda.

Minggu, 03 April 2011

Satu


Satu

Satu kata yang hanya satu

Mungkin rancu, tapi berharga bagiku

Juga bagimu, kawanku

Almamater SMA Negeri 1


Selamat ulang tahun untuk-Mu, Negeri Satu

Tetaplah seperti itu

Berjayalah selalu

Bergerak lebih cepat dari jamanku

Tentu, kearah yang maju

Soal ilmu dan perilaku


Hanya ini, satu puisi untuk-Mu

Long live, SMA Negeri 1 Bogor

Minggu, 27 Maret 2011

Ekonomi Sampai Mati

Ekonomi menjadi sebuah bahasan dunia, setiap harinya!


Tentu dengan kalimat yang saya pampangkan di atas ini, Anda dapat mengerti sedikit banyak mengenai ekonomi. Koran apa yang tidak memiliki rubik ekonomi? Berapa kali headline koran-koran internasional dihiasi bahasan ekonomi? Apa yang sering menjadi penyebab perdebatan hingga peperangan di dunia ini selain uang, yang notabene aset bahasan utama dalam ekonomi? Ekonomi, ekonomi sampai mati....


Ekonomi pada dasarnya merupakan ilmu yang mengajari bagaimana seharusnya manusia berinteraksi, bersikap, dan mengambil keputusan sesuai dengan apa-apa yang menjadi batasan dirinya dalam memenuhi kebutuhan yang tentu dibutuhkannya. Paham pemuasan diri dan efesiensi serta efektifitas merupakan hal-hal sakral yang patut dipahami dan diterapkan seorang ekonom.


Dunia berbicara dengan lantang mengenai segala permasalahan, lalu manusia berteriak saling menyalahkan keadaan. Kisruh timbul sebagai efek domino kegoncangan, dan selain hari kiamat, mungkin hal ini hanya dapat disebabkan oleh sebuah permasalahan yang menyeret apa yang saya maksud 'ekonomi'.


Dahulu, Adam Smith mengemukakan sistem perekonomian kapitalisme, sesuatu yang sepertinya tidak menjadi jalan keluar yang baik saat ini, namun tiliklah pola pikir kritis seperti, "Kenapa Dia berfikir sebuah sistem kapitalisme?"


Jawabannya mungkin hanya satu, kemakmuran dan kesejahteraan. Ekonomi mengajarkan kita untuk selalu meraih profit dari setiap tindakan, bahkan setidaknya meminimalisasi kerugian tak mungkin lagi dielakkan dari garis kehidupan. Kehidupan anda, sampai mati, bukan?


Ekonomi terkadang memiliki citra sebagai sesuatu yang mudah dipelajari dan diperbincangkan. Para engineer mungkin berkesempatan dan masih memiliki peluang dipercaya untuk berbicara banyak mengenai ekonomi, walau dia bukan seorang ekonom sejati. Contoh? Bagi kalian yang tidak tahu,Googling untuk cari biografi Menteri Koordinator Perekonomian kita saat ini.


Namun, apakah ada seorang ahli ekonomi yang berbicara banyak mengenai dunia teknik atauengineering? Saya rasa, tidak. Tolong ingatkan saya bila memang ada yang berbicara lantang dalam tingkat nasional ataupun internasional soal ini, tapi saya rasa tidak ada. Lalu, apakah ekonomi lantas dicampakkan dan dianggap 'dunia ketiga'?


Hingga saat ini saya yakin, pendidikan adalah proses pembentukan pola pikir serta kepribadian. Mayor yang Anda ambil dan jalani adalah sebuah media yang secara tidak langsung membentuk sebuah pribadi dan pola pikir. Sosial terkadang sering dinomorduakan, dan saya pernah memiliki pandangan bahwa sosial adalah ilmu mudah.


Seiring waktu, mungkin penggunakan kata deskreiptif 'mudah' disini kurang tepat, tapi lebih diwakilkan oleh 'luas'. Pola pikir anak IPA biasanya lebih luas, walau itu kembali pada setiap individu yang ada. Tapi, coba tilik lebih dalam, apa yang dipelajari anak IPA?


Kedokteran mungkin membutuhkan otak cemerlang, tapi social-responsibillity lebih utama disini. Blunder dunia terjadi ketika rumah sakit telah sebegitu komersilnya dalam mencari keuntungan dari pasien yang membutuhkan. Lho, bukankan ekonomi mengajarkan untuk meraup profit sebanyak-banyaknya? Benar, tapi profit tidak melulu soal uang, melainkan kepuasan dan kesejahteraan. Puaskah bila pasien,dying, tapi diajak berbincang soal uang di muka? Mungkin sang perawat bisa ikut masuk rumah sakit.Ekonomi berbicara tentang uang, tapi uang bukanlah ekonomi.


Beberapa mayor teknik sekarang ini mempelajari ekonomi dalam studinya. Pertanyaannya, jika ekonomi berasal dari 'dunia ketiga', mengapa teknik mengadopsi ilmu kita?


Sedikit masih ada rasa ingin menggugat dalam diri, ketika beberapa rekan berkata bahwa meraih IP di dunia teknik susah, dan IP di ekonomi itu mudah. "Malu lu Sal kalo sampe dibawah 3 sih..", begitu ujar seorang rekan dari universitas yang berbeda. "Terus lo merasa bangga kalo IP lo sekitaran dua-koma-beberapa dengan notabene lo anak teknik?". "Ya teknik kan susah kali...".


Rasional yang ada dalam benak saya sih, "Teknik yang sulit atau lo yang ga cocok di teknik sih?"


Lepas dari perbincangan itu semua, ekonomi adalah bahasan hingga mati nanti. Ekonomi ada dalam darah setiap manusia, di dompet mahasiswa, dan tentunya di benak setiap pemimpin dunia. Kesejahteraan dan kebahagiaan adalah tujuan utama dalam kehidupan, dan ilmu ekonomi memberikan rumusan.


Ekonomi, ekonomi sampai mati...