Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Senin, 17 Maret 2014

4.15

Pada dasarnya, hidup gue tiga minggu terakhir ini dimulai pada pukul 4.15. Alarm ponsel berbunyi, maka waktunya untuk segera pergi mandi. Pagi sekali, tapi yaaaaa mau apa lagi. Kereta menanti, busway siap untuk kunaiki. Selamat pagi, Jakarta.

Tapi suer deh di waktu yang amat sangat pagi sekali ini, gue rasa gue mulai lebih menghargai waktu per menitnya. Bagi kalian yang mungkin sudah terbiasa untuk menggunakan Commuter Line Jabodetabek, terutama dari Bogor, maka pasti ngerti deh apa arti telat satu menit untuk satu kursi demi satu jam sauna.

Hal yang paling menarik dalam hidup gue tiga minggu terakhir ini adalah kemampuan gue untuk melihat lebih jauh sisi kemanusiaan para rombongan kerja. Gue mulai banyak mengetahui seberapa pentingnya kereta bagi mereka semua. Seberapa rela nya mereka berdesakan untuk pekerjaan. Seberapa capek nya seorang ibu tergopoh turun angkot mengejar kereta. Juga seberapa tangguhnya mereka-mereka yang mengurusi perjalanan kereta setiap harinya.

Hari pertama, gue cuma melihat kucuran keringat. Hari kedua, gue cuma melihat ibu-ibu sok lugu memohon kursi pada pria gagah di ujung gerbong kereta. Hari ketiga, gue mulai muak dan merasa kereta bagaikan neraka. Namun hari keempat, gue melihat kehidupan ini semua jauh lebih dalam dari sekedar yang saya lihat.

Pernah nonton "I Don't Know How She Does It"? Film ini menceritakan kehidupan seorang istri, ibu, dan wanita karir yang sukses  namun cukup kesulitan mengatur waktunya karena begitu dibutuhkannya ia dalam setiap detik kehidupan suami, anak, serta bos nya. Sarah Jessica Parker memerankan tokoh utama dengan luar biasa dalam film ini, dan bila ada film seperti itu, maka gue percaya pasti amat sangat banyak orang diluar sana yang memiliki hidup serupa.

Tentunya ibu-ibu yang tergopoh-gopoh turun angkot dan berlari mengejar kereta setiap harinya adalah ibu-ibu yang (sebagian besar) memiliki keluarga. Jika dia jam 5.00 sudah di stasiun, jam berapa ia meninggalkan rumah, keluarga, dan anak-anaknya? Akan amat sangat luar biasa bila ia membereskan semua pekerjaannya sebagai seorang istri dan ibu tepat waktu sebelum berlari ke stasiun kereta. Lalu juga bapak-bapak kaya dengan pangkat tinggi yang masih saja rela berdesakan di kereta sauna untuk menafkahi keluarganya. Bukan tidak mampu bayar transportasi lain, tapi macet di jalanan Jakarta amat sulit untuk di prediksi. Kereta sauna, baginya (dan bagi saya juga), memang terasa neraka namun lebih mudah untuk ditakar waktunya.

Dan semua perjuangan mereka ini belum gue jelaskan dengan adu otot ketika turun kereta nantinya. Sejauh ini, penumpang kereta memang belum banyak mengerti apa definisi dari kata 'antre', walau gue merasa alhamdulillah bila penumpang busway TransJ tidak se-beringas KRL.

Entah kenapa, gue merasa senang aja memperhatikan para penumpang kereta setiap perjalanan pulang dan pergi kantor. Melihat begitu banyak orang berbeda, dengan tujuan naik kereta yang mungkin serupa dengan gue, namun pasti raut muka mereka menggambarkan seperti apa hari yang telah mereka lalui.

Dan menyenangkan bila melihat orang begitu bersemangat turun kereta dan hendak pulang menuju keluarganya. Sedikit sisi humanis ini menggambarkan sungguh banyak rasa sayang mereka terhadap yang menunggu di rumah. Semoga kedepannya Jabodetabek dapat merasakan kualitas perjalanan kereta yang lebih baik lagi, mengingat ribuan orang baik rela mengantre dan menggunakan jasanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar