Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Selasa, 25 Februari 2014

Aura Gaib

Gue selalu percaya kalo kepercayaan itu sesuatu yang gak bisa lo buat dalam semalem. Kepercayaan itu dilahirkan. Bagi saya, kepercayaan, sesuatu yang muncul dari sebuah proses, adalah ukuran dari harga sebuah pribadi di mata masyarakat. Dengan kepercayaan, beragam hal dapat terlihat lebih nyata  dan terprediksi mendekati pengharapan yang ada.

Kayaknya udah berulang kali dalam beragam tulisan gue menjelaskan apa definisi kepercayaan tersebut bagi gue pribadi. Berulang kali juga gue menjelaskan bahwa kepercayaan itu diawali dengan 'hamil' dan 'melahirkan'. Yang jadi pertanyaan gue saat ini, seberapa jelas blue-print dari sebuah definisi 'hamil' dan 'melahirkan' kepercayaan tersebut? Apakah semua kepercayaan berasal dari kandungan yang serupa dan dilahirkan melalui media yang sama?

Agak sukar gue menjelaskan ini karena pada dasarnya gue melihat bahwa penilaian sebuah kepercayaan itu bermacam-macam. Gue punya teman dengan tipikal orang yang gampang percaya, yang juga berarti gampang ditipu. Ada pula orang yang susah percaya dan merasa tidak begitu yakin bila belum melihat dan mengerti sepenuhnya, contohnya bokap gue. Pendekatan kedua macam orang itu berbeda pula. Yang pertama lebih menghargai pertemanan dan jiwa sosial, sedangkan yang kedua lebih logis, teknis, dan well-planned.

Dari dua macam manusia yang berbeda cara memandang arti dari sebuah kepercayaan, kepercayaan tetap hadir dalam kehidupan mereka. Maka jelaslah proses 'hamil' nya berbeda karena cara pandang yang berbeda pula. Ketika salah satu hanya perlu berkata, "Eh gue nitip mobil ya di rumah lo? Sabi kan?", dengan asumsi dia sendiri belum pernah datang melihat garasi dan tingkat keamanan rumah tersebut, ketika orang yang lainnya harus, "Bro, lo di rumah ga ntar sore? Gue main dong. Ada rencana mau nitip mobil nih di rumah lo kalo aman. Boleh ga?"

Hal yang menurut gue menarik adalah, gue percaya bahwa hal yang paling jujur yang menentukan kepercayaan sebuah kepercayaan adalah aura.

Gue sendiri gak begitu paham apa sih arti dari sebuah aura manusia. Ada yang menjelaskan bahwa aura adalah energi positif yang terpancang dari dalam diri. Selain itu juga banyak rumor bila aura tuh banyak macam warnanya, dan melambangkan kepribadian setiap manusia. Bukannya gue gak percaya, tapi gue gak bisa liat warna apapun jadinya gak bisa yakin juga terhadap warna-warna tersebut.

Namun walau gue gak begitu mendalami pengertian dari aura tersebut, gue tetap percaya bahwa aura itu ada, aura itu terpancar dari dalam diri manusia, dan aura mampu menentukan kepercayaan orang lain terhadap diri kita. Kenapa? Karena bagi gue, aura itu dibentuk oleh perjalanan waktu.

Beberapa waktu yang lalu alhamdulillah gue diterima untuk bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang saham. Melalui penelusuran yang gue lakukan di berbagai media, perusahaan ini adalah nomor wahid di seantero Indonesia. Gue percaya, dan jika kalian bertanya sama gue apakah gue udah pernah kesana atau belom pada saat memutuskan untuk percaya, maka jawabannya adalah, "Belom. Bahkan punya kenalan disana aja kaga".

Mungkin itu cukup simpel karena melihat dari sisi gue, pencari kerja, yang sebenarnya memang tidak mencari-cari alasan untuk tidak percaya pada perusahaan. Tapi gimana kalo dilihat dari sisi mereka, si perusahaan?

Dalam perjalanan proses seleksi, gue melalui beragam tahapan termasuk psikotes dan beberapa wawancara. Yang menarik, sebagai fresh-graduate yang ijazahnya belom jadi, mereka tetap percaya gue adalah fresh-graduate, tanpa sedikitpun berkas asli kelulusan yang gue tunjukan, contohnya surat tanda lulus. Satu-satunya hal yang gue perlihatkan adalah CV dan fotokopi KTP.

Aura. Ya, gue pikir mungkin selama ini tidak pernah ada yang mencoba menipu mereka, dan gue pun gak nipu karena emang udah lulus, tapi aura yang menjawab itu semua. Apa yang mereka cari tentunya adalah kandidat terbaik untuk perusahaan tersebut. Bagi gue, definisi terbaik juga termasuk dalam proses 'mampu memberi lebih banyak dari apa yang perusahaan beri'. Mereka harus mengetahui seluk beluk orang tersebut sebelum menerimanya karena mereka akan berinvestasi sumber daya manusia.

Dan proses melihat potensi investasi tersebut tergambarkan dari rangkaian seleksi yang dijalani, utamanya wawancara. Maka ketika gue diterima, pertanyaan gue terletak pada, "Apa ya yang membuat gue diterima?". Bukannya gimana gimana, tapi proses wawancara terkadang proses yang cukup gaib untuk diramalkan.

Contohnya, sebagian pihak pernah menjelaskan pada saya bahwa kadang terlalu ambisius itu buruk, seperti bila menjelaskan bercita-cita menjadi direktur di perusahaan tersebut bila diterima. Nyatanya, selalu ada juga cerita teman diterima dengan menjawab seperti itu, walau tentunya ada juga yang tidak.

Contoh lainnya, sebagian pihak berusaha keras menampilkan yang terbaik dalam proses wawancara dan mengikuti segala yang diminta oleh pewawancara, termasuk menunjukan kemampuan berbahasa asing. Banyak dari kalian tentu berpikir bahwa bila tidak mampu menunjukan dengan baik, maka logisnya itu sudah menjadi nilai buruk dari wawancara kalian. Nyatanya, gue punya teman yang menawar, "Boleh dengan bahasa saja, Pak?" dalam proses wawancara ketika diminta untuk berbahasa Inggris, dan diterima.

Gaib, dan gue pikir Aura lah yang menjawab semua itu (dan tentunya doa).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar