Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Kamis, 13 Februari 2014

Mati Suri, Hidup Lagi

Kehidupan yang hidup ialah kehidupan yang menghidupkan

Saya selalu percaya bahwa kehidupan yang hidup ialah kehidupan yang menghidupkan. Apapun itu, tak terkecuali diri Anda sendiri. Kehidupan yang menghidupkan ialah kehidupan yang tidak melulu bicara tentang bagaimana Anda hidup, bagaimana Anda menjalani hari-hari Anda, dan bagaimana Anda beranjak tua. Kehidupan yang hidup, menurut saya, sudah seharusnya dapat membawa kehidupan bagi setiap hal yang terkait dengan Anda yang hidup dan menjalani kehidupan ini.

Merujuk pada shared-link dalam akun Facebook salah satu dosen favorit saya, ada sebuah satir menyentuh karya Seno Gumira Ajidarma:

Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin yang hanya akan berakhir dengan pensiun yang tidak seberapa.

Sebuah kalimat suram yang dituangkan penulisnya dalam karya yang berjudul Menjadi Tua di Jakarta ini, dalam kacamata saya, telah "mematikan kehidupan yang seharusnya hidup". Kasarnya, secara hiperbolis diwakili dengan "memilih kematian dalam hidup". Tentu selalu ada pro dan kontra dari setiap karya dan mahakarya di dunia ini, mengingat itu adalah sifat dasar manusia yang secara alamiah mencintai adanya perbedaan. Sebagian dari kalian mungkin terpesona dengan satir diatas, dimana sebagian lagi mencibir sembari ngedumel, "Kayak udah pernah pensiun aja!".

Apapun itu, saya pribadi telah merasakan bahwa kehidupan yang tidak menghidupkan sesuatu terasa sia-sia, dan bahkan sangat mungkin lupa untuk merasa hidup kembali.

Persoalan pertama saya menulis tulisan ini ialah ketika saya menyadari bahwa saya sudah amat sangat meninggalkan dunia ketik-mengetik di blog ini, dengan terlalu asyik menyelesaikan tulisan-tulisan lain yang sifatnya kewajiban: tugas, skripsi, presentasi, dan lainnya. Tetek bengek itu mungkin cukup mewakili sepenggal satir diatas untuk refleksi dari kata-kata "tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat" dan "kehidupan seperti mesin". Saya merasa sudah tidak lagi hidup dalam dunia ini, dan cukup kesulitan untuk memulainya kembali.

Empat tahun terakhir, selama masa perkuliahan, saya memang merasa cukup sulit meluangkan waktu pribadi dan berjam-jam duduk di depan laptop, meluangkan waktu untuk mengetik apapun yang tersirat. Saya merasa telah tumbuh menjadi pribadi yang lebih banyak membaca dari sebelumnya, dan juga lebih sering menceritakan segalanya kepada mereka-mereka yang ada dalam kehidupan saya, dan melupakan gairah untuk menumpahkannya dalam tulisan.

Saya rasa saya telah mematikan salah satu kehidupan saya dengan tidak menghidupkan dunia tulisan, dan kesulitan untuk memulainya kembali karena tidak banyak hal yang belum saya tumpahkan di melalui ketukan jemari di keyboard ini, hingga saya benar-benar memaksakan diri untuk menulis dengan menceritakan kesulitan saya dalam menulis ini.

No one ever takes a picture of something they want to forget

Quote diatas, yang saya temukan dari akun instagram seorang sahabat (dan ternyata berasal dari sebuah film), saya pikir juga berlaku bagi setiap sisi kehidupan dan hobi manusia. Sebagai seorang yang seringkali mengaku hobi menulis, saya ingin meninggalkan kesan dari setiap tulisan. Lebih jauh, saya ingin mampu mengingat segala sesuatu yang pernah saya rasakan dengan membaca ulang setiap tulisan.

Menulis telah menjadi emosi pribadi, dan sudah seharusnya hal itu terjadi bagi setiap hobi yang Anda miliki. Seluruh harapan dan keinginan ada di sana,dan harus selalu dihidupkan selama Anda bisa, karena sekali mati, cukup sulit untuk hidup kembali.

1 komentar: