Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Sabtu, 22 Maret 2014

Ekspektasi

Pernah denger lagu Khalayan Tingkat Tinggi? Lagu yang populer dengan suara Ariel, vokalis Peterpan, ini sedikit banyak bercerita mengenai apa yang dinamakan dengan mimpi dan harapan. Dalam liriknya yang bisa lo semua cek di google, tersurat seluruh harapan sang penyanyi terhadap seorang gadis idaman.

Tidak jauh dari itu, rasanya hampir semua lagu jaman sekarang seringkali bercerita mengenai cinta, sampai-sampai Cholil dari Efek Rumah Kaca mungkin bosen dan terinspirasi menciptakan Lagu Cinta Melulu. Gue rasa semua cinta itu berasal dari harapan yang terkadang terlihat fana namun bisa jadi benar adanya

Dari kacamata gue, gue merasa sebenarnya seluruh hidup kita itu berawal dari harapan. Hal Lindsey berujar, "Man can survive 40 days without food, 3 days without water, 8 minutes without breathing, but only a sec without hope". Harapan selalu menjadi kunci dari segalanya, karena tampa adanya harapan memperoleh makanan, air, ataupun bernafas, segalanya menjadi sia-sia saja.

Terus apa sih yang dimaksud dengan harapan? Harapan bagi gue sudah sewajarnya memperlihatkan keinginan dan kegigihan untuk mencapai kehendak yang ingin dilakukan. Harapan juga sepantasnya menciptakan kemampuan dan mengakali segala permasalahan menjadi sebuah proses penyelesaian. Harapan bukanlah sesuatu yang independen, melainkan kontrol. Harapan harus diciptakan, kecuali lo melawan Tuhan.

Seminggu terakhir ini ada sebuah pertanyaan terlempar dari mulut pengisi materi training di kantor. Beliau berujar, "Apa sih yang menggerakkan harga pasar (saham)?". Maka beberapa saat kemudian terlempar pula beragam jawaban, dan jawaban paling tepat ialah 'ekspektasi'. Orang yang menggerakan harga. Tepatnya jutaan orang pemain saham lah yang menggerakannya. Sesuai dengan cara berpikir seorang ekonom, penawaran dan permintaan lah yang akan mempengaruhi harga suatu komoditi. Pengisi materi pun menambahkan bahwa banyak jawaban yang mampu menjelaskan perubahan harga saham, namun kata 'ekspektasi' menjadi yang terbaik. Idem bagi gue.

Lucunya, dalam kehidupan seringkali orang berpikir bahwa ekspektasi itu menyakitkan. Dalam tulisan gue sebelumnya, jauh sebelum posting ini, gue pernah membahas apa yang sebut batas atas dan batas bawah sebuah ekspektasi. Mungkin ada baiknya gue ulang sekali lagi. Bandingkan:

"Bercita-citalah setinggi langit, sehingga jika gagal, maka Anda mendapatkan awan"

"Bercita-citalah setinggi langit-langit, sehingga Anda pasti mampu meraihnya"

Kalimat pertama memiliki ekspektasi tinggi, namun tersirat bahwa keyakinannya adalah hanya mencapai awan. Sedangkan kalimat kedua memiliki ekspektasi rendah, namun amat sangat yakin bahwa ekspektasi tersebut mampu (dan pasti mampu) diraih.

Bagi gue, segala ekspektasi harus diciptakan, dan tidaklah bijak jika mengungkapkan ekspektasi dengan keyakinan tidak mampu memperolehnya. Walau pada akhirnya kita semua harus berserah diri pada Tuhan YME, yang mutlak menentukan pencapaian lo semua, tapi tidak bijak kan jika berujar tanpa keyakinan?

Kasarnya, apa bedanya dengan menipu diri lo sendiri? Gue juga merasa motivasi tidak dilahirkan dengan kata-kata dari diri sendiri, tapi dari ketakutan akan kegagalan.

"Aduh, gue takut nih kalo gak lulus" atau "Kalo gak lulus gimana ye?" gue rasa adalah bagian dari cara setiap pribadi (salah satunya gue) untuk memotivasi diri sendiri. Bukankah setiap kehidupan yang hidup pasti memiliki tantangan? Bukankah hampir semua orang mengatakan bahwa kesuksesan tidak akan berasal dari comfort zone, dan membutuhkan usaha untuk mampu keluar dari sana?

Banyak orang bijak berujar bahwa yang berhasil itu adalah orang yang berfokus diri pada kelebihan, bukanlah kekurangan. Setuju, tapi lebih setuju lagi dengan, "Orang yang berhasil itu adalah orang yang berfokus diri pada tantangan, berekspektasi menyelesaikan tantangan tersebut, dan selesai."

Semoga semua mampu berkhayal tingkat tinggi, dan meraihnya. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar