Bagi saya, liburan kali ini penuh dengan kata ‘sakit’. Entah
itu saya atau mereka,keluarga atau rekan kerja, bahkan saudara atau ‘bukan
siapa siapa’. Sebuah keadaan dimana saya memutuskan untuk menjadi pesakitan
hingga hari telah dimulainya perkuliahan ini saya sebut liburan, dimana dua
hari di kampung halaman tidaklah cukup bagi saya untuk bersuka cita.
Disgnati nama penyakitnya, orthognati langkah penyembuhannya.
Itulah saya di hari ke-29 tanpa mengunyah ini. Entah ketidakberuntungan apa
yang terjadi, namun sepertinya Allah memberikan ujian penyakit bagi mereka yang
ada di dekat saya, terutama keluarga. Namun disamping hal itu semua, hal yang
menjadi akrab bagi saya pada liburan kali ini adalah rumah sakit itu sendiri.
Berkeliling rumah sakit membuat saya lebih dekat dengan
mereka yang sakit, juga orang-orang berjasa tinggi yang menjadi tangan Tuhan
dalam proses penyembuhan. Melihat mereka yang susah membuat saya melihat bahwa
saya ada dalam posisi yang mudah. Melihat mereka yang menyembuhkan membuat saya
melihat kuasa Tuhan. Melihat itu semua membuat saya sadar seberapa sakit
Indonesia.
Industri rumah sakit tentunya memberikan yang terbaik untuk
setiap mereka yang sakit. Namun apa yang mampu mereka perbuat bila tidak
memiliki cukup kamar untuk menangani para pesakitan? Ketika saya hendak
melakukan operasi, dokter menjadwalkan saya untuk dioperasi pada tanggal 29
Januari. Semua tersusun rapi dan pasti, kecuali satu: kamar inap. Bagi saya
yang terjadwal saja, sulit untuk mendapatkannya. Mungkin memang begitu
prosedurnya, karena para dokter pun seperti ‘meng-iya-kan’ susahnya memperoleh
kamar. Saya jadi berpikir, apa yang terjadi bila segala sesuatunya tidak
terjadwal? Korban tabrak lari, misalnya?
Sepertinya dunia pun menyadari pentingnya rumah sakit, maka
pembangunan pun dilakukan. Rumah sakit modern menjamur di tengah kota, diiringi
dengan mahalnya sekolah-sekolah kedokteran terutama swasta. Begitu mahalnya
kehidupan yang sehat, bukan? Saya pikir semua menyadari.
Tapi mengapa rumah sakit yang menjamur, bukan rumah sehat?
Rumah sakit megah berdiri dikelilingi pedagang gorengan kaki
lima dengan katel penuh minyak goreng yang nyaru
dengan oli mesin. Positif untuk penyembuhan, negatif pada pencegahan. Semua
setuju sehat itu mahal, tapi apa harus bayar mahal ketika di rumah sakit?
Ekonomi penuh dengan angka-angka, namun interpretasinya
tetaplah sebuah kata-kata yang dipakai dalam kehidupan sosial. Ekonomi adalah
ilmu sosial yang tidak pernah berkata bahwa ‘mahal’ adalah ‘uang’, tapi mahal
adalah ‘tidak seharusnya’. Ya, tidak seharusnya sehat itu mahal, dan tidak
seharusnya sakit itu murah.
Industri ini bergerak para arah yang salah. Pembangunan
menandakan sehatnya ekonomi, kemampuan untuk bergerak demi kehidupan yang lebih
baik, serta niat untuk lebih sehat. Namun saya pikir kesehatan tidak layak untuk
disejajarkan dengan uang, karena profit dari proses penyembuhan itu ialah
definisi dari kata ‘sehat’ itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar