Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Selasa, 26 Februari 2013

Dis-


Bagi saya, liburan kali ini penuh dengan kata ‘sakit’. Entah itu saya atau mereka,keluarga atau rekan kerja, bahkan saudara atau ‘bukan siapa siapa’. Sebuah keadaan dimana saya memutuskan untuk menjadi pesakitan hingga hari telah dimulainya perkuliahan ini saya sebut liburan, dimana dua hari di kampung halaman tidaklah cukup bagi saya untuk bersuka cita.

Disgnati nama penyakitnya, orthognati langkah penyembuhannya. Itulah saya di hari ke-29 tanpa mengunyah ini. Entah ketidakberuntungan apa yang terjadi, namun sepertinya Allah memberikan ujian penyakit bagi mereka yang ada di dekat saya, terutama keluarga. Namun disamping hal itu semua, hal yang menjadi akrab bagi saya pada liburan kali ini adalah rumah sakit itu sendiri.

Berkeliling rumah sakit membuat saya lebih dekat dengan mereka yang sakit, juga orang-orang berjasa tinggi yang menjadi tangan Tuhan dalam proses penyembuhan. Melihat mereka yang susah membuat saya melihat bahwa saya ada dalam posisi yang mudah. Melihat mereka yang menyembuhkan membuat saya melihat kuasa Tuhan. Melihat itu semua membuat saya sadar seberapa sakit Indonesia.

Industri rumah sakit tentunya memberikan yang terbaik untuk setiap mereka yang sakit. Namun apa yang mampu mereka perbuat bila tidak memiliki cukup kamar untuk menangani para pesakitan? Ketika saya hendak melakukan operasi, dokter menjadwalkan saya untuk dioperasi pada tanggal 29 Januari. Semua tersusun rapi dan pasti, kecuali satu: kamar inap. Bagi saya yang terjadwal saja, sulit untuk mendapatkannya. Mungkin memang begitu prosedurnya, karena para dokter pun seperti ‘meng-iya-kan’ susahnya memperoleh kamar. Saya jadi berpikir, apa yang terjadi bila segala sesuatunya tidak terjadwal? Korban tabrak lari, misalnya?

Sepertinya dunia pun menyadari pentingnya rumah sakit, maka pembangunan pun dilakukan. Rumah sakit modern menjamur di tengah kota, diiringi dengan mahalnya sekolah-sekolah kedokteran terutama swasta. Begitu mahalnya kehidupan yang sehat, bukan? Saya pikir semua menyadari.

Tapi mengapa rumah sakit yang menjamur, bukan rumah sehat?

Rumah sakit megah berdiri dikelilingi pedagang gorengan kaki lima dengan katel penuh minyak goreng yang nyaru dengan oli mesin. Positif untuk penyembuhan, negatif pada pencegahan. Semua setuju sehat itu mahal, tapi apa harus bayar mahal ketika di rumah sakit?

Ekonomi penuh dengan angka-angka, namun interpretasinya tetaplah sebuah kata-kata yang dipakai dalam kehidupan sosial. Ekonomi adalah ilmu sosial yang tidak pernah berkata bahwa ‘mahal’ adalah ‘uang’, tapi mahal adalah ‘tidak seharusnya’. Ya, tidak seharusnya sehat itu mahal, dan tidak seharusnya sakit itu murah.
Industri ini bergerak para arah yang salah. Pembangunan menandakan sehatnya ekonomi, kemampuan untuk bergerak demi kehidupan yang lebih baik, serta niat untuk lebih sehat. Namun saya pikir kesehatan tidak layak untuk disejajarkan dengan uang, karena profit dari proses penyembuhan itu ialah definisi dari kata ‘sehat’ itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar