Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Selasa, 11 Desember 2012

Bandung, Not Bandoeng


Gak perlu ngomong panjang panjang, semua tentu telah memahami mengapa Bandung menjadi tujuan yang diinginkan oleh ribuan anak bangsa. Bandung memiliki ITB, Unpad, dan sederet kampus swasta lainnya. Jangan lupa, Jatinangor juga masih sering ditafsirkan banyak orang sebagai bagian dari Bandung. Ya, ibukota provinsi ini telah di-set sebagai kota pelajar di Jawa Barat. Maka jangan pernah heran bila sangat banyak orang dalam hidup anda yang berbau Bandung.

Tapiiiiiiiiiiiiii, itu dulu. Sekarang Bandung tak ubahnya sebagai kota metropolitan. Ok, tentu parawalanda tidak akan pernah menyematkan nama Parijs van Java bila memang tak ada sesuatu yang berarti disini, tapi dengan penuh rasa hormat, saya pikir Bandung telah terlalu banyak make-up.

Perencanaan pembangunan tentu bukanlah hal yang dapat diselesaikan dengan asal-asalan Keberlanjutan dari suatu program adalah sesuatu yang diharapkan dan juga fungsi dari sebuah sistem. Tentu keputusan untuk mendirikan perguruan tinggi teknik pertama Indonesia di kota ini tidaklah tanpa perhitungan, terutama oleh pihak Belanda. Iklim yang dingin, perkotaan yang penuh dengan bunga, serta aspek geografis lainnya membuat H.W Daendels yakin membuat keputusan untuk menjadikan Bandung sebagai pemukiman terhitung 25 September 1810, yang turut diiringi dengan pembangunan sarana kehidupan lainnya, salah satunya Technische Hoodgeschool te Bandoeng pada 1920. Walau Belanda tidak seperti Inggris yang membangun masyarakatnya selama masa penjajahan, tapi Belanda berperan penting dalam kelahiran Bandoeng.

Hingga akhirnya Indonesia merdeka, Bandung ditetapkan sebagai ratu Jawa Barat. Berbagai pembangunan dilakukan untuk mempersakti citra kota ini. Sekolah, universitas, dan segala hal termasuk masyarakatnya. Salah satu pencapaian yang cukup membanggakan ialah masuknya kota ini sebagai salah satu kota teraman di dunia versi majalah Time pada 1990.

Namun sekarang Bandung bukanlah Bandoeng. Bandung tetaplah kota pelajar, tapi juga kota metropolitan terutama dalam aspek fashion, kuliner, hingga kemacetannya yang luar biasa. Bandung yang kota pelajar ini bahkan telah tidak mampu menghadapi keadaan perayaan wisuda mahasiswa dari kampus-kampus yang ada. Satu wisuda, matilah kota. Wisuda ditambah hujan, hancurlah kota. Wisuda bersamaan dengan demo buruh, hujan, dan awal dari libur panjang adalah neraka.

Bukan asal saya berkata, tapi kata-kata ini dibentuk oleh fakta yang diwakili oleh tarian jemari saya sebagai mahasiswa. Saya yang merupakan mahasiswa semester lima saja sudah cukup penat melihat kenyataan yang ada, apalagi mereka yang tinggal disini dari jaman baheula? Entah solusi apa dari pemerintah kota, tapi usaha dari kampus-kampus yang ada tercermin dari spanduk yang terpampang di Jalan Tamansari sebelah Cafe Halaman. Beragam kalimat yang ada, tapi kira-kira begini bunyinya,

"Mohon maaf perjalanan Anda terganggu dikarenakan adanya Wisuda Gelombang XX di XXYY pada MM-NN-OOOO hingga MM-NN-OOOO"

Selalu saya lihat minimal satu spanduk setiap ada hari wisuda. Kenapa saya begitu memperhatikan? Jelas karena kemacetan, hingga saya bisa menatap cukup lama untuk membaca spanduk tersebut. Yang ada dalam benak saya, apa gunanya memasang spanduk tersebut? Spanduknya sendiri dibaca ketika macet, dan yang ada hanyalah permintaan maaf. Lalu apa?

Bandoeng bukan lagi Bandung, brader! Bandung yang sekarang isinya plat B, dengan sapaan brader (bukan lagi jang). Bandung ini metropolitan, yan tidak lagi digerakkan untuk kota pendidikan. Sungguh tak ada yang dapat melarang kunjungan setiap insan, tapi bila memang menyesakkan, apa masih perlu berteriak-teriak pengusiran?

Setiap saya stuck di macetnya perkotaan Bandung, saya selalu berfikir apa sih yang membuat Jakartans melancong ke Bandung? Bukankah mereka memiliki segalanya di Jakarta sana, termasuk kemacetannya? Bila kita tilik alasannya, sebenarnya riil. Anak mereka menuntut ilmu di Bandung, dan anak mereka memberikan setidaknya satu buah kendaraan kepada anaknya untuk kebutuhan transportasi selama hidup empat tahun diperantauan. Tak jarang, mereka (orang tua) datang berkunjung untuk melancong sekaligus jajan-jajan makanan di seputaran Bandung.

Itu riil. Namun suatu waktu saya pernah berkesempatan berbincang cukup panjang dengan seorang sopir taksi di Bandung, setelah terlalu larut untuk pulang. Awalnya kami tak banyak bicara, hingga tiga-empat mobil plat Jakarta hampir ia tabrak. Lalu, mulailah sang sopir ngedumel. "Sok lah diadu jeung taksi yeuh anj*ng", ujarnya. Alhamdulillah, saya mengerti bahasa itu. Mulailah kami berbincang, dan segala hal yang ia keluhkan ialah seputar kemacetan. "Ya da sekarangmah ada yang bisnis buat makan siang aja ke Bandung, cuma buat makan siang da garelo Jakarta teh", cetusnya. Menurutnya, Bandung memiliki tatakota yang buruk karena terlalu banyak persimpangan di perkotaan, dan Cipularang memperkeruh permasalahan dengan menambah debit mobil dari luar kota secara signifikan. "Apalagi kalo malem minggu Dek, saya mah ga ngerti da aya wae acara teh di Gasibu. Puguh mobil teh loba tapi ongkoh weh jalanan teu meunang liwatGeus kuduna mah teu kudu aya acara tapi meunang liwat"

Kemana jagoan-jagoan planologi yang wisuda hari itu? Apakah mereka 'menata' kota dengan wisuda dirinya hari itu dengan segerombolan mobil (termasuk mobil orang tuanya dari Jakarta) yang stuck tak bergerak? Kemana pula birokrat-birokrat pemerintah kelas kakap ketika mengetahui bahwa (bahkan) diatas jalan layang Pasupati saja bisa terjadi banjir?

Jelas mereka memikirkan toga nya masing-masing, dan dosen-dosennya sedang memesan spanduk untuk dibentangkan di sebelah Cafe Halaman. Solusi tiada henti: Maaf (Bandung bukan lagi Bandoeng)!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar