Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Minggu, 03 Maret 2013

Butuh


Sejak lama saya tidak pernah menyukai film-film yang inti ceritanya adalah percintaan. Banyak laki-laki mengasumsikan bahwa itu adalah film ‘lenje’. Action selalu menjadi pilihan utama saya, dengan sederet pembunuhan dan tembak-tembakkan, walau saya cenderung takut untuk yang thriller, terror, dan juga horror. Satu hal yang s ebenarnya membuat saya bergairah untuk rela membuang uang demi sebuah film adalah pacar. Kekasih yang satu ini agak freak terhadap film-film cinta. Singkat cerita, salah satu dvd yang ia tawarkan untuk saya coba tonton adalah ‘Before Sunset’ dan ‘Before Sunrise’.

Apapun yang saya lakukan, saya cenderung detail terhadap kata-kata. Ada satu kalimat yang menarik dari salah satu film yang saya tonton (walau tidak selesai) ini. Seorang tokoh dalam film tersebut berkata, “We are sum of each tiny moments of our life”. Setiap memiliki momen untuk mengetahui kalimat menarik seperti ini, saya selalu berfikir ‘Ada benarnya juga ya!’. Hal yang saya pikirkan adalah semua orang pasti butuh ‘terima kasih’, dan begitu pula dengan ‘maaf’.

Minggu lalu, di tengah perjalanan menuju terminal bus, ada seorang pemulung yang berterima kasih pada saya. Karena apa? Karena saya meminta izin untuk langsung membuang sampah botol bekas minum saya tepat ke karung sampah di punggungnya. Saya dan teman saya, Reva, saat itu berfikir bahwa itu adalah hal yang gila. Membuang sampah pada tempatnya sudah seharusnya menjadi kewajiban setiap umat, dan pemulung itu memang ‘berkewajiban’ memulung sampah demi hidupnya. Saya berfikir sebenarnya ia tak perlu berterima kasih karena saya memang melakukan hal yang merupakan kewajiban saya, tapi ia melakukannya. Saya heran, dan tidak bisa bohong kalau hati saya merasa senang.

Saya pikir pemulung itu menyenangkan hati saya, karena kewajiban yang saya tuntas telah membantu kewajibannya. Pertanyaannya, sebenernya harus gak sih mengucapkan ‘terima kasih’ pada mereka yang hanya menjalankan kewajibannya? Yang seharusnya menjadi hal yang biasa saja?
Sebuah buku seharga tiga puluh ribu memberi saya banyak ilmu minggu lalu. Buku yang berjudul Indonesia Di Mata Orang Jepang ini memuat cerita seorang warga negara Jepang yang menjadi ‘Indonesia’ setelah dua puluh tahun bekerja di nusantara. Dari beragam hal yang ia ceritakan, hal yang paling ia kagumi ialah bagaimana mungkin orang Indonesia selalu berkata ‘Gak apa apa, santai saja’ setelah seseorang tidak datang tepat waktu atau melanggar janjinya.

Menurut Anda, haruskah ada kata ‘maaf’ disana?

Sepertinya, tidak ada yang harus meminta maaf ketika salah, berterima kasih ketika telah dimudahkan, atau mungkin ‘tolong’ ketika merasa (akan) merepotkan orang lain. Manusia hanya perlu memahami bahwa setiap orang butuh kata kecil itu, and those tiny words make you more than just a human. Kata-kata yang menyenangkan hati dan melambangkan rendah diri seorang pribadi. Mikroekonomi merangkumnya dengan sebuah kalimat: People respond to incentives.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar