Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Senin, 26 Desember 2011

Teh dan Cinta

Bercerita mengenai lebih dari satu tahun yang lalu, hal yang teringat oleh saya mungkin hanya satu: masuk kuliah. Setelah menjalani hampir setengah dari semester tiga, artinya saya telah memakan sedikitnya lebih dari dua semester di sini. Waktu terasa cepat, secepat flashback ingatan yang diceritakan ulang oleh secangkir teh yang menemani malam saya belakangan ini.


Akhir-akhir ini? Hmmmm singkat cerita, teh rasa cinta ini benar-benar sebuah momen re-behaviour atas apa yang saya lakukan dahulu, mungkin lebih dari satu bulan lamanya. Mungkin tidak baik untuk meng-egois-kan dan memukul rata fakta atas hal yang baru saja terjadi, tapi sejujur-jujurnya teh yang saya ceritakan kali ini memiliki cinta di dalamnya.


Jika pembaca meniliki notes saya jauh jauh sebelum notes ini, mungkin pembaca mengerti bahwa setelah ujian nasional tahun lalu, saya pergi merantau ke Bandung untuk mengikuti bimbingan belajar. Tidak merantau sepenuhnya, karena saya tidak tinggal sendiri seperti banyak anak rantau 'asli' di sana.


Jalan Kejaksaan di Bandung adalah rumah Enin saya. Akrab rasanya. Hampir pusat kota letaknya. Ramai isinya. Sederhana kehidupannya. Basah pelukannya. Dan satu hal yang tidak terlupakan: luar biasa teh nya.


Satu tahun lebih saya disana ketika balita, dan satu bulan lebih saya (kembali tinggal) disana sekiranya satu tahun lalu, atas nama perjuangan pendidikan dan masa depan. Saya tidak menyangka akan benar-benar kuliah di Bandung pada akhirnya, dan Bandung yang memang kampung halaman saya menjadi lebih akrab terlebih dahulu sebelum akhirnya saya benar-benar (kembali) tinggal di Bandung.


Satu hal yang absolutely tradisi disini: teh hangat. Sebenarnya ini sebuah teh biasa yang proses penyajiannya bukan merupakan teh celup, melainkan teh rebus (daun teh keringnya dimasukan ke dalam poci dan di rebus beserta air di dalamnya). Bahkan saya tidak ingat berapa gelas air putih yang sebenarnya bening itu saya teguk setiap harinya, karena begitu seringnya teh hangat tersedia di meja makan, lengkap dengan pilihan gula di sebelah poci teh tersebut.


Gula pasir, batu, hingga merah tersedia disana. Sejujurnya, rasa manis menjadi favorit saya sejak kecil, dan pedas (masih) menjadi musuh hingga saat ini. Hal ini membuat preferensi saya selalu memilih teh hangat dan manis nan enak itu dibandingkan lain-lainnya, bahkan segelas susu yang seyogyanya menjadi menu sarapan saya.


Mungkin seumur hidup saya, saat itu adalah masa masa yang cukup berat untuk dijalani, dan masa masa itu dilalui dengan bercangkir-cangkir teh setiap pagi dan malamnya. Teh menjadi pelengkap sarapan, penghibur sore hari, dan akrab dengan lampu belajar serta soal-soal pada malam hari. Banyak manusia berasumsi, sebuah masa berat yang telah terlewati membuat kesan yang berarti, dan sepertinya (untuk saya) hal ini terangkum pada teh hangat.


Rasa cinta mereka, penghuni Kejaksaan, dalam dukungan moril pada saya tercermin dari teh hangat yang tersedia. Tanpa bisa dipungkiri, itu kebiasaan mereka, dan saya beradaptasi dengan baik pada hal itu.


Dan teh kembali hadir minggu ini, menemani saya, juga dengan rasa cinta namun dari pihak yang tidak sama. Selamat minum teh bagi kalian yang menyukainya, semoga kehangatan selalu bersama anda semua!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar