Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Senin, 26 Desember 2011

Peliharaan Negara

Kota metropolitan seringkali (atau bahkan selalu) menjadi acuan perkembangan zaman. Ibukota negara seringkali (maaf, lagi lagi saya harus menggunakan kata-kata 'atau bahkan selalu') menjadi acuan kemajuan suatu negara dalam sebuah rezim pemerintahan yang sedang berkuasa. Sejauh apa berkembangnya? Apa yang berbeda? Telah ada apa, dan telah berkurang apa?


Maka setiap orang secara tidak langsung berbicara mengenai signifikansi. Sesuatu yang detail mungkin hanya akan dapat teramati oleh mereka-mereka yang memang jeli. Entah oleh pengamat asli ataupun orang-orang yang memiliki sifat jeli dari Sang Illahi. Terkadang sebuah hal kecil yang terjadi dapat menjadi besar bila ada publikasi, dan itulah yang menjadi tugas mereka yang jeli dalam mengukur sebuah signifikansi. Sedangkan hal besar yang terjadi, biarlah itu mengalir sendiri.


Sembilan belas tahun umur saya. Rekanan bilang saya terlihat lebih 'dewasa' dibanding seharusnya, namun riil nya saya baru dapat mengamati dunia mungkin sekitar 10-12 tahun terakhir ini. Banyak hal akrab dari Indonesia yang saya lihat dari bola mata saya sendiri, dan cukup dapat merepresentasikan seperti apa negara kita bersama ini.


Korupsi, multi-kultural, polemik hari lebaran, banjir, juara olimpiade, narkoba, tawuran pelajar, dan sederet hal lainnya yang apabila tidak banyak pembaca lihat, mungkin kata-kata diatas akrab dengan koran-koran ternama. Bukankah begitu?


Sebenarnya bukan kapabilitas saya untuk membicarakan apa yang disebut-sebut dengan signifikansi. Setiap orang memiliki indera sendiri-sendiri untuk dapat menilai aspek-aspek yang mengalami dan tidak mengalami perubahan. Karena hal ini juga berlaku pada saya, maka izinkan saya mengutarakan aspek dari balik kacamata saya.


Pengamen dan anak jalanan tampaknya tetap melekat pada bumi Indonesia ini. Semenjak saya dapat mencerna apa yang tampak di dunia, anak jalanan selalu saja terlihat di mana mana. Gepeng sebutannya. Entah dari mana asal muasal kata tersebut. Apakah sekedar gabungan kata yang dibuat oleh para wartawan dan pekerja media untuk menghemat tinta, ataukah memang telah dibakukan sebuah kata 'gepeng' yang memiliki arti 'gembel dan pengemis'.


Sekedar me-review (dan menginfokan bagi pembaca yang belum tau) bahwa UUD 1945 Pasal 34 banyak berbicara mengenai janji negara kepada mereka yang di-label-i sebagai 'gepeng'. Ayat 1 berbunyi, "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara". Melihat kenyataan yang ada, saya bingung atas ambiguitas dari kata 'pelihara' tersebut. Sepertinya benar-benar dipelihara agar makhluk Homo sapiens tipe 'gepeng' itu tidak punah.


Belakangan, UU ini makin diperkuat dengan diresmikannya sejumlah aturan daerah mengenai larangan untuk memberi sumbangan kepada 'gepeng' ini. Aturan yang merupakan buah dari otonomi daerah dengan semacam 'instruksi' skala nasional ini mungkin mempertegas kekuatan dan gengsi negara atas sebuah ayat yang tercantum pada ideologi bangsa ini.


Sedikit bercerita. Saya seorang mahasiswa yang dalam jangka waktu berkala seringkali menempuh perjalanan menggunakan moda transportasi bus kota. Selain suara dan asapnya yang luar biasa, tentu suara nyanyian menjadi akrab di telinga bila kita berada pada mobil raksasa ini. Ya, nyanyian anak anak jalanan.


Maaf untuk para pejabat Satpol PP, Gubernur, Presiden, bahkan bapak-bapak punggawa NKRI yang menyusun UUD 1945 ini sebagai ideologi negara, karena terkadang nyanyian mereka menghibur saya di perjalanan sehingga saya rela memberi mereka sumbangan.


Saya tahu kritik adalah hal mudah untuk dilontarkan, dan perubahan adalah sesuatu yang sulit untuk dilakukan dan terlihatnya realisasi kadang bisa dibilang hoki-hokian. Tapi, punten, saya ada beberapa alasan mengapa saya tetap mengeluarkan sumbangan.


Pertama, saya merasa negara banyak memberikan solusi untuk mereka,tapi entah mengapa sepertinya tidak kena pada sasaran yang ada. Analisis ekonomi akhir-akhir ini dikemukakan jelas bahwa perekonomian kita tumbuh pesat ditengah guncangan ekonomi yang melanda Amerika-Eropa. Namun hal itu ternyata banyak dipacu oleh mereka kalangan jetset dan menengah-keatas yang memiliki perilaku konsumtivitas dan hedonitas cukup tinggi. Kesenjangan ekonomi tetap terjadi. Kaya bagi mereka yang 'telah kaya', miskin bagi mereka yang 'masih miskin'.


Kedua, Pasal 33 Ayat 1 berbunyi, "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan". Namun, sepengetahuan saya (maafkan bila salah), kekeluargaan ini belumlah selayaknya sebuah keluarga yang menginginkan kesejahteraan bersama. Sebagai contoh, prinsip kapitalisme sepertinya masih mendasari bank-bank negara. Sulitnya prosedur kredit bagi para pengusaha kelas menengah adalah fakta yang ada. Bisa anda bayangkan bagaimana sulitnya bagi mereka kalangan bawah yang hendak berusaha? Lalu, matinya koperasi juga memperburuk keadaan yang ada.


Dua alasan diatas menjadi sedikit alasan saya untuk berusaha membantu mereka. Ada banyak dari 'gepeng' itu dapat fasih menggunakan biola mini di bus kota, band sederhana di dalam kereta, hingga suara merdu dalam angkot tengah kota.


Saya tidak bisa bermusik. Semua itu tidak bisa saya lakukan, dan salahkah saya bila saya menganggap hal itu sebagai sebuah 'usaha jual jasa'? Jual suara? Sama seperti Anang & Ashanty, hanya saja ini versi murahannya. Ketika mereka yang berduit merasa terpenuhi utility nya dengan duet Anang & Ashanty, maka saya pun cukup terpuaskan oleh gesekan biola dan dentuman tam-tam anak-anak jalanan. Sebegitu berbedanyakah itu semua?


Lebih menjijikan lagi dengan keadaan sebuah ibukota provinsi yang dipenuhi manusia manusia tak jelas jenis kelaminnya di setiap perempatan ataupun simpang lima.


Pendidikan menjadi satu-satunya jalan untuk menyelamatkan para peliharaan negara ini agar cepat punah dari kehidupan yang demikian. Setidaknya, solusi ini lah yang digunakan Korea Utara hingga dapat menjadi salah satu negara maju di dunia. Jika boleh saya menambahkan, mungkin pendidikan disini tidak diartikan sebagai sebuah sekolah ataupun universitas. Melainkah etos kerja, mental baja, serta kemauan untuk berusaha.


Oiya, jangan lupa kalau tuhan tidak buta (dan jeli akan usaha yang ada).

1 komentar:

  1. kasihan, gw komen deh muf.

    udah denger desa pengemis?
    mungkin ada juga hubungannya, dimana kala bekerja terasa begitu mudah. mengeluarkan keringat, menghabiskan waktu.
    dibandingkan dengan duduk di keramaian, dengan pakaian yang compang camping, atau bernyanyi dan mendapatkan uang tanpa mengeluarkan keringat. berawal dari satu, mulai ada pengikut sampai menjadi mainstream bagi kalangan kurang berada.
    coba sedikit di pikirkan.

    cuma sebuah opini dari sudut lain, bukan berarti anti tapi cuma berpikir. tidak ada yang salah kan? kalau ada pengemis dan penyanyi jalanan tetap di kasi receh kok.

    BalasHapus