Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Sabtu, 13 Oktober 2012

Dinosaurus, Lalu Ayam


Banyak orang di dunia ini percaya bahwa menjadi raksasa dan memiliki hidup selamanya adalah hal yang menarik. Film kartun seringkali bercerita tentang tokoh jahat yang hendak menguasai dunia, dan hidup abadi dengan umur yang muda. Puncak kekuatan menjadi alasannya, dan kekuasaan menjadi tujuannya.

Bila direnungkan, apakah Tuhan memungkinkan kehidupan yang seperti itu? Manusia pada kodratnya adalah makhluk sempurna yang juga diberikan kekurangan. Well, saya sebenarnya tidak menganggap ketidakmampuan manusia untuk dapat terbang adalah sesuatu yang 'kurang' dibandingkan burung elang, namun memang benar kan?

Ibarat ayam yang kalah oleh dinosaurus bila makhluk-makhluk ini hidup pada zaman dan ekosistem yang sama, manusia pun demikian. Makhluk haruslah adaptif untuk bertahan, agar tetap memiliki kekuatan dan kekuasaan, meskipun hanya seekor ayam.

Suatu hari, Ibu saya pernah berusaha menjabarkan skema kehidupan manusia secara singkat. Beliau melakukan penjelasan dengan menjadikan ayahnya sebagai contoh. Kakek saya dapat dikatakan sebagai orang yang berhasil pada zamannya, dan keberhasilan itu tidak membuat dia mati ketika harus berganti zaman dalam kehidupan. Adaptif dan solutif mungkin menjadi dua kata yang mewakili, dimana setelah itu dapat saya simpulkan bahwa kakek saya adalah orang yang non-post-power-syndrome.

Ketika manusia tersiksa dengan sindrom kekuasaan, kala dia menjadi seorang dinosaurus pada zamannya, maka tidak semua mampu menjalani kehidupan seekor ayam pada zaman selanjutnya, zaman dimana anak-anaknya adalah dinosaurus.

Semua orang harus menyadari bahwa tidaklah baik untuk memulai kehidupan dengan ekspektasi yang rendah dan cepat puas, apalagi membatas-batasi diri. Namun disamping itu manusia juga perlu menyadari bahwa suatu saat mereka harus turun gunung, dan menjadi ayam ketika pernah merasakan sekuat dinosaurus.

Sejauh yang saya tahu hingga saat ini, ada dua macam cara orangtua dalam mengajarkan kesuksesan pada anaknya. Yang pertama ialah mengajarkan kesusahan pada anaknya sejak muda, dan yang kedua ialah sangat menjauhkan kesusahan hidup dari anaknya sejak muda. Sorry,  ini hanya berlaku bagi orangtua yang memiliki kehidupan yang sulit pada masa kecilnya.

Dalam sering waktu, Papi saya berulang kali mengatakan dua hal: Hidup susah itu tidak enak, dan belajar hidup susah itu susah.

Tentunya saya sama sekali tidak memiliki hak untuk memberikan penilaian atas cara didik yang paling baik, karena saya percaya bahwa setiap orang memiliki cara belajar yang berbeda-beda. Pemukul-rataan cara pendidikan adalah sisi statis disamping kemajuan dunia. Namun, belajar jatuh ketika muda menjadikan kita tidak akan heran bila harus menjadi ayam ketika tua (nantinya). Contoh hidup, ya kakek saya.

Hanya memiliki dua stel pakaian ketika muda, bergelimang harta pada puncak karirnya, dan di umurnya yang menginjak kepala delapan beliau masih tidak keberatan untuk naik angkutan kota.

Dosen saya pernah memberikan pemaparan yang kira-kira seperti ini,

"Semua yang ada di dunia ini penuh dengan luck. Ketika lahir, siapa yang dapat memilih? Itu abstrak. Agama dan ekonomi tidak menjadi pilihan ketika anda lahir ke dunia, walau setelah itu anda dapat mengubah nasib anda sendiri."

Sesuatu yang perlu dihindari ialah bentuk kehidupan yang tidak menghidupkan anda. Jelasnya, kalau bisa, jangan menjadi ayam untuk pertama kalinya ketika tua. Oleh karena itu, saya percaya bahwa kehidupan yang baik ialah kehidupan yang mampu menghidupkan, setidaknya untuk diri anda sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar