Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Sabtu, 14 Mei 2011

Kamu Bicara Kamu

Inspirasi kembali hinggap dalam kamar mandi sore ini, entah mengapa, tapi ini sering terjadi akhir-akhir ini. Mandi sore membuat saya kembali fresh untuk menyongsong siaran siaran olahraga di malam hari.


Setiap manusia memiliki kemampuan yang berbeda, dan sepatutnya setiap insan manusia memaksimalkan apa yang mereka punya. Mengapa? Efesiensi bakat dan efektifitas usaha adalah jawabannya. Menurut saya, usaha untuk mengejar sebuah asa adalam sesuatu yang wajib hukumnya, namun tentu usaha yang dilakukan untuk sebuah hal yang sangat jauh dari kemampuan dan bakat kita membutuhkan energi dan waktu yang lebih lama dibandingkan usaha untuk mengejar sesuatu yang 'mungkin' menjadi bakat kita.


Contoh, seorang yang terampil dalam menggambar mungkin tidak begitu terampil dalam berhitung. Tentu, bila dia berusaha memahirkan skill menggambarnya akan membutuhkan usaha yang tidak sekeras usaha untuk memahirkan berhitung, karena pada dasarnya dia tidak terampil dalam berhitung. Waktu yang dibutuhkan baginya untuk terampil menghitung sebuah soal al-jabar pasti akan jauh lebih lama dibandingkan dengan waktu yang dia butuhkan untuk terampil menggambar sebuah bajaj.


Yang jadi pokok permasalahan, bagaimana setiap insan manusia dapat menilai dirinya sendiri dalam hal 'bakat' dan 'keunggulan'?


Dunia modern dengan segala teknologi terbarukan tentunya akan menyarankan untuk tes bakat, pergi ke psikolog handal, finger-print, dan segala hal lainnya. Apa ada yang bisa membuktikan seberapa besar kejituan media media penilai bakat tersebut, selain teori teori dasar dari setiap bidangnya?


Seorang psikolog mungkin melandasi segala asumsi yang dia berikan pada kita dengan segala teori-teori perkuliahannya dahulu, dan juga pengalaman-pengalamannya selama ini. Akankah selamanya teori-teori tersebut benar-benar dapat diandalkan?


Disini saya tidak berusaha memberikan pola pikir untuk tidak percaya pada semua media-media penilai bakat tersebut, namun menyarankan anda untuk pede dan sedikitlah bersikap sombong.


Aneh? Tidak menurut saya, karena pada dasarnya yang benar-benar mengetahui diri anda, adalah anda sendiri. Otak anda sejak lahir tidak pernah diganti, dan sejak lahir hanya otak itulah yang menggerakan seluruh jiwa raga anda. Lalu, mengapa anda harus begitu percaya penuh terhadap penilaian dari otak orang lain? Sedikitlah pede dan bersikap sombong.


Di sisi lain, sebenarnya bukan merupakan sebuah kesalahan bila media-media tersebut anda gunakan untuk bahan acuan, penambah wawasan dan pandangan serta pola pikir. Gampangnya, sebagai pihak ketiga untuk input segala hal, serupa seperti diskusi anda dengan kedua orang tua atas suatu masalah. Setuju?


Masalah lainnya, seberapa handalkah anda menilai diri anda sendiri?


Mari kita ambil sebuah contoh. Akuntansi adalah sebuah ilmu yang membutuhkan kesabaran dalam memandang setiap angka, berikut dengan tanda titik dan koma di dalamnya. Ketika anda ingin memilih ilmu tersebut untuk dipelajari, (misal saya memberi dua faktor yang mempengaruhi) lebih penting untuk menimbang 'kemampuan berhitung' atau 'ketelitian kerja' ? Keduanya adalah hal yang penting, mungkin sama pentingnya, dan andalah yang bisa menilai diri anda sendiri.


Hal yang sama juga terjadi pada pendidikan desain. Lebih penting 'pandai menggambar' atau 'pandai berimajinasi'?


Tentu tidak akan menjadi sebuah masalah bila anda menguasai segala faktor-faktor yang harus dipertimbangkan, dan anda adalah salah satu yang terbaik diantara rekan anda lainnya. Namun bila terjadi sebuah ketimpangan pada salah satu faktor, pilihannya cuma satu : Pikir ulang baik-baik, bersikaplah pede dan jangan ragu untuk sedikit sombong atas kemampuan anda.

1 komentar: