Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Sabtu, 16 Oktober 2010

Mimpi dari Pelosok Negeri

Obrolan saya dengan seseorang yang bercerita mengenai mimpi dia dan kawan kawannya membawa saya merasa bahwa tokoh tokoh dalam Laskar Pelangi dan cerita cerita yang serupa benar benar nyata sepenuhnya. Check it right here!


Beberapa saat yang lalu, saya menjalani sebuah ospek jurusan yang menamakan dirinya 'PPJ', kependekan dari 'Program Profesionalisme Jurusan' dalam program studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. Sebuah ospek yang, well, lumayan keras dan memberi saya banyak cerita menarik di dalamnya sekaligus menguras isi dompet tanpa ampun.


Dalam ospek yang berjalan sekitar 8 hari tersebut, kami dituntut untuk menjadi satu kesatuan yang terdiri dari 185 kepala mahasiswa baru. Sesuatu yang sulit, karena saya pernah merasakan betapa sulitnya mengumpulkan anggota OSIS di SMA yang memiliki anggota hanya sekitar 80 kepala siswa.

Senior menekankan beberapa hal kepada kami agar kami, satu angkatan prodi ESP, dapat menjadi satu kesatuan yang solid dan kompak. Satu kalimat yang masih teringat dengan jelas dalam memori saya adalah jawaban atas pertanyaan yang berbunyi, "Bagaimana agar kami bisa kompak dan kenal satu sama lain?"


Senior yang berperan sebagai Tim Evaluasi (TE), jabatan yang membutuhkan sifat sifat jutek dan segala tetek bengeknya agar dapat membentuk kami menjadi mahasiswa yang teladan dalam tugas dan kompak dalam universitas, menjawab bahwa satu satunya cara ialah dengan keluar dari area nyaman, sharing dan tukar pikiran dengan orang yang berbeda visi serta misi dengan diri kita.


Saya berfikir, mana ada orang yang berbeda visi serta misi dengan saya dalam prodi ini? Kami berdiri menjunjung nama jurusan yang sama, tentu visi dan misi kami pastinya serupa. Setuju? Palingan cuma beda jabatan yang diimpikan dalam cita-cita, dan cara untuk mencapai itu semua. Namun selebihnya saya yakin kami semua pasti memiliki visi dan misi yang sama, belajar dan sukses.


Namun, saya pikir tidak ada salahnya untuk bertukar pikiran dengan mereka yang berasal dari tempat yang jauh dengan saya. Mereka yang mungkin tidak hidup di kota besar layaknya Jakarta dan Bandung. Mereka yang memiliki pengalaman one-hundred percent berbeda dengan siswa siswa yang memiliki otak cetakan guru guru di kota besar.


Saya kemudian bertukar pikiran dengan seorang kawan yang berasal dari sebuah pesantren besar dan sudah terkenal secara skala internasional yang terletak di Pulau Jawa, Indonesia. Dan dia menggiring pembicaraan kita menjadi sebuah topik menarik, dan memberikan saya cerita mengenai pengalaman hidup seorang siswa yang sangat sulit ditemukan dari mulut siswa siswa seperti saya dan kebanyakan siswa lainnya.


Apa?


Sang narasumber ini bercerita mengenai kehidupan dia di pesantren yang begitu keras. Enam tahun menimba ilmu plus satu tahun mengajar disana sebagai bentuk pilihan pengabdian pada masyarakat adalah jalan hidup yang dia lewati dengan keras selepas lulus dari sekolah dasar.


Satu hal yang membuat saya tertarik dengan ceritanya yang panjang ialah 'mimpi'.


Dia bercerita, bahwa tidak semua siswa disana memiliki cita cita menjadi seorang agamawan, ustad, atau profesi yang berbau keagamaan, seperti apa yang dipelajari sebagai majorisasi pendidikan selama enam tahun di sana. Sebagian dari mereka ingin keluar, dan meneruskan pendidikan di luar lingkungan pesantren, termasuk dia. Dia bersama beberapa temannya memiliki mimpi, dan berkata bahwa memang mimpi lah yang membuat dia nekat untuk berjuang masuk gerbang perkuliahan.


Mengapa saya katakan nekat? Karena pendidikan mereka tidak menomorsatukan akademis, tapi lebih kearah pembentukan jati diri serta kepribadian. Mereka tidak mengenal jurusan ipa, ips, atau bahasa. Dia bercerita bahwa dia belajar mata pelajaran yang serupa dengan sekolah kebanyakan di Indonesia, kecuali ekonomi, tapi akhirnya dia dapat menembus gerbang fakultas ekonomi melalui SNMPTN. Lebih jauh, dia mengatakan bahwa memang benar dia belajar lebih banyak mata pelajaran dari sekolah lainnya, karena dia juga diwajibkan untuk kelas english conversation, arabic conversation, hingga kelas filsafat hidup.


Secara keseluruhan, dia sendiri menyimpulkan bahwa disana tidak banyak diberikan pelajaram, tetapi pengajaran. Sesuatu yang dibutuhkan negeri ini, karena telah rusaknya pendidikan di negeri kita.


Menurut ceritanya, pesantren dia tidak memberikan UN alias Ujian Nasional, ujian yang bocornya 'mampus-mampusan' di beberapa daerah setiap tahunnya, termasuk Kota Bogor. Dia dan beberapa rekannya yang memiliki 'mimpi' untuk menjadi seorang mahasiswa memutuskan untuk mencari tempat les dan akhirnya mengikuti UN 'nebeng' di sebuah Madrasah kecil di daerah sana. Segalanya mereka urus sendiri, tanpa campur tangan pesantrennya.


Alhamdulillah, dia dan beberapa rekannya lulus semua dalam UN 'nebeng' tersebut. Selanjutnya? Mereka memilih Kota Bandung sebagai tempat untuk les berikutnya, dan berusaha sekeras kerasnya untuk dapat menjadi mahasiswa di Bandung ini. Sekali lagi saya ingatkan, bahwa mereka disini berjuang dengan mimpi, karena bekal akademis mereka tidak cukup bahkan untuk UN sekalipun.


Dengan les inilah, sebagian dari mereka pun mencoba untuk mengikuti Ujian Mandiri dari beberapa universitas, juga SNMPTN. Sekarang, mereka semua berhasil menjadi mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Padjajaran, Institut Teknologi Bandung, dan seorang dari mereka di Universitas Islam Bandung.


Mungkin ada dari anda yang kesal baca notes ini ya? Garing dan membosankan. Hanya saja, saya sangat terinspirasi dengan apa yang mereka sebut dengan 'mimpi'. Sesuatu yang sulit saya temukan dalam diri saya dan teman teman saja. Mimpi yang mereka maksud, lebih dari sekedar cita-cita.


Mengapa lebih? Karena seorang siswa SMA biasa sudah sewajarnya bercita cita untuk kuliah dan menjadi seorang sarjana di bidang yang dia pilih, dengan fasilitas di kota yang memadai. Akademis yang di-dewa-kan di sekolah sekolah unggulan di kota kota besar, dan juga belasan pilihan tempat les dari berbagai institusi semakin memudahkan kita sebagai siswa SMA biasa. Mereka? Tidak.


Satu lagi, pengajaran pada dasarnya sesuatu yang lebih baik dari pendidikan, dan mereka, sang anak anak penuh 'mimpi' itu mendapatkannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar