Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Jumat, 13 Juli 2012

Mata Hamka


Manusia adalah makhluk Tuhan yang memiliki akal pikiran. Sejengkal otak dalam kepala manusia memiliki kemungkinan yang besar untuk mampu menyelesaikan ribuan persamaan logatirma, dan itulah yang memang terjadi di dunia. Para nama besar ilmuwan yang menopang kehidupan hingga hari ini, selayaknya Einstein dan Thomas Alfa Edison, mungkin dulu tidak banyak berpikir dan bertanya 'Akan jadi apakah saya nantinya?', namun mereka belajar, bukan hanya hidup dan bekerja.

Buya Hamka pernah berkata, "Kalau hidup sekedar hidup,  babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja."

Entah apa solusi yang solutif dari perkataan beliau tersebut, namun saya meyakini bahwa dengan belajar semua dapat terselesaikan. Kuasa manusia atas pikiran dan pandangan adalah anugerah terbesar Tuhan dalam kehidupan, dan beliau berpikir bahwa otak tidak cukup baik jika hanya dimanfaatkan untuk bekerja dan menyambung hidup. Elevasi kehidupan haruslah menjadi sebuah tujuan.

Dalam kehidupan, manusia dianugerahi panca indera untuk dapat terus belajar dan bekerja. Sepasang bola mata ialah salah satu bagian dari indera untuk melihat, yang kerap dimanfaatkan manusia untuk menjalani hari ini untuk besok dan besok untuk lusa.

Namun, bila memang Anda percaya bahwa pernyataan Buya Hamka diatas adalah benar, maka Anda harus percaya jika keberadaan mata (dan juga telinga) ialah untuk meraba. Tangan? Untuk bekerja. Kaki? Berjalan (atau mungkin berlari, yang juga bagian dari 'kerjaan').

Meraba kehidupan menjadi sebuah ide untuk menciptakan pandangan. Situasi perlu untuk dipelajari, sehingga manusia bisa menentukan aksi dan melangkah pasti dengan percaya diri. Semua tahu, perbedaan pandangan adalah hal rutin dalam kehidupan. Argumen menjadi hal yang dianggap manusia dapat 'menyelesaikan', sehingga 'melobi' terkadang menjadi hobi dan politik menjadi sesuatu yang tidak lagi antik dan unik.

Seorang ahli manajemen sumber daya manusia pernah berujar kepada saya, dan juga tujuh orang teman saya (yang memiliki pola pikir tak sama), bahwa sudah menjadi kodratnya bila manusia hidup dengan asas kepentingan dan kebutuhan akan sesuatu. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang 'bekerja' dengan kebutuhan untuk 'melanjutkan hidup'. Setuju? Hingga detik ini saya belum menemukan alasan untuk tidak setuju, seiring dengan kepercayaan ilmu ekonomi bahwa 'people respond to incentive'.

Tapi, satu hal yang pasti, hidup tidaklah hidup bila hanya sekedar 'melanjutkan hidup' dari hari ke hari, tanpa sebuah aksi yang (mungkin) melahirkan opsi dan mosi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar