Seorang teman pernah bilang bahwa semua yang di posting di
dunia maya adalah hanya cover baik nya aja. Seluruh yang terpampang disana
hanyalah sisi kehidupan yang ingin
dipamerkan ke penduduk dunia ini (atau mungkin sebagian dari penduduk dunia
ini), yang mana bisa jadi itu merupakan bestfriend, co-workers, bosses, atau
mungkin temen lama dari jaman SD yang udah lamaaaaaa banget ga ketemu dan
akhirnya kembali “berteman” di dunia maya karena dua alasan: Gak enak kalau gak
approve friend request-nya, atau temen lo itu udah gak kalah eksis dan menarik
hidupnya sehingga lo merasa harus catch up lagi dengan kehidupannya sekarang.
“Eh, jelaslah kalo apa yang lo liat disitu (sebuah jejaring
sosial dengan lambang "P") cuma yang bagus-bagusnya aja. Mana mau mereka share
sama lo kalo lagi susah”
Gue cuma bisa bilang, ada benernya juga nih kesimpulan.
Malahan hampir sepenuhnya benar, sampai gue mengingat kadang ada temen yang
emang hobi nya share hal-hal konyol dan cenderung bersifat “memalukan” di mata
orang kebanyakan, yang mungkin di mata
dia hal itu bersifat “anjrit kocak banget nih”.
Sebenarnya, jejaring sosial sendiri hingga hari ini masih
belum menembus seluruh kalangan masyarakat, atau dalam kata lain gue masih
memiliki banyak temen yang tidak (atau mungkin belum) merasakan manfaat dari
dunia maya. Beberapa rekan masih ada yang dengan batu nya mempercayai bahwa
teknik melamar kerja yang paling efektif adalah door to door macam Si Doel,
dengan menenteng hard copy curriculum vitae dari satu perusahaan ke perusahaan
lainnya, atau mungkin dari booth satu ke booth lainnya dalam event-event
jobfair yang marak diselenggarakan, ketika sebagian teman lebih dulu berpikir,
“Emang itu lowongan ga bisa lo temuin di twitter?”
Dari hal ini gue melihat sebenarnya perilaku orang
berselancar di dunia maya dengan kekhususan jejaring sosial itu dibagi menjadi
beberapa kategori besar utama:
Aktivis Kehidupan
Tipikal orang ini ialah tipikal yang
seringkali dapat memprediksi the future after this social networks. Mereka
adalah orang-orang yang setelah aplikasi tersebut ramai maka akan segera
berpikir, “OMG I’m done with this shit, what’s next?” ketika akun private nya
mulai dipenuhi kicauan berbau perdanganan lokal, bahkan oleh temannya sendiri.
Orang ini berpikir apapun dalam hidupnya, baik menarik maupun tidak, akan
mereka share ke teman-temannya, dan (mungkin) seringkali tidak menyadari (atau
tidak menggubris) bahwa banyak temannya di luar sana yang sudah berpikir “Anjir
gini gini doang pake di post deh, maunya apa sih?!”.
Go With The Flow
Ini adalah golongan kebanyakan umat manusia
saat ini (walau gue belom pernah melakukan research) terutama apabila mereka
adalah Gen Y. Ketika para Aktivis
Kehidupan sudah beralih ke jejaring paling update, maka mereka akan mulai
membuat account juga, dan bergaul dengan para Aktivis Kehidupan lalu mendorong
orang-orang kudet di luar sana untuk join dengan mereka dengan mempromosikan jejaring
sosial ini. Sesuatu yang tidak akan dilakukan oleh para Aktivis Kehidupan.
Terlalu banyak variasi dalam golongan ini, dan beberapa diantara mereka
seringkali melakukan efesiensi dalam membandingkan “sejak kapan sih gue main
ini?” dengan “gue udah berapa kali posting ya sejak pertama kali main?”, dan
akan coba menyesuaikan hal tersebut secara berkala, agar tidak terlihat
bergeser ke arah Aktivis Kehidupan maupun Silent Reader (yang akan kita bahas
setelah ini).
Silent Reader
Yang terakhir adalah tipikal orang kudet tapi
tidak tertinggal. Mereka tipikal orang-orang yang sudah terinformasi apa yang
booming sejak lama, namun menyangsikan kegagahan dan kehebatannya sehingga
menghabiskan banyak waktu untuk menganalisa “Buat apa sih gue main itu?” hingga
akhirnya menyerah terhadap dominasi dan tekanan khalayak luas dalam
superioritas jejaring sosial, lalu bikin akun dimana salah satu hal paling
konyolnya disebabkan oleh perubahan status: pacaran!
Dari tiga golongan utama yang gue share di atas, at the end
of the day semuanya bergabung pada jejaring sosial, dan kehidupannya terukut
dari: jumlah posting, apa yang di posting, kapan melakukan posting, daaaaaan
sebagainya yang menjurus pada satu kesimpulan bagi yang memperhatikannya: apa
sih tujuan dia melakukan posting tersebut?
Kode? Atau jangan-jangan, terpaksa?
Jika gue boleh berpendapat, hari gini, 2015, ketika seluruh
kebebasan berpendapat (yang bertanggung jawab, tentunya) dapat disuarakan oleh
siapa saja, even itu mencak-mencak terhadap Presiden negara ini, maka tidak
seharusnya aktivitas jejaring sosial dilakukan dengan terpaksa. Bener ga?
Dalam perjalanan gue menggunakan jejaring sosial, gue selalu
share apa yang memang pengen gue share, dan gue sendiri menggolongkan diri gue
dalam kelompok orang-orang “Go With The Flow”, yang melakukan efesiensi dan
tidak begitu memperdulikan spam-spam pedagangan lokal.
Tentunya, sungguh sah apabila orang menggunakan jejaring
sosial untuk tujuan tertentu: kampanye politik, beropini tentang hak asasi,
memperjuangkan demokrasi, hingga flirting sana dan sini. It’s your own
expression and nobody can’t stop you, unless you breaking a life-rule. Namun
yang gue sayangkan hari ini ialah beberapa orang menggunakan jejaring sosial
karena terpaksa.
Kok tau? Iya, karena gue kenal orang-orang itu, dan gue
yakin beberapa diantara mereka tidak mengerti mengapa mereka harus menggunakan
jejaring sosial tersebut, dan/atau posting hal hal yang tidak mereka inginkan,,
apalagi karena faktor eksternal.
Ada beberapa teman gue yang menggunakan jejaring sosialnya
hanya untuk berpacaran: posting apa yang mereka lakukan bersama pacarnya, yang
bahkan dilakukan oleh pacarnya sendiri, bukan sang pemilik akun. Sebagian dari
beberapa teman gue itu malah mengaku bahwa mereka tidak mengerti mengapa
pacarnya menghendaki hal seperti itu. Sebagian dari orang-orang yang tidak
mengerti ini pun berpikir kembali, “They kill their own market, don’t they?”,
dan beberapa orang yang berpikir demikian, parahnya, tetap menemukan pacar
mereka berselingkuh setelah melakukan perilaku tersebut.
Bukan mau suudzon, tapi banyak kan diantara kalian yang
ketika melihat akun sosial temen kalian dan mendapati isinya seperti album
perpacaran semata?
Gue tidak merasa hal ini adalah satu-satunya concern gue
dalam memperhatikan perilaku manusia di jejaring sosial. Sejak Facebook booming
pada pertengahan dekade kemarin, dan setelah The Social Network yang
menceritakan perjalanan Mark Zuckerberg dalam menciptakan Facebook, jejaring
sosial selalu menciptakan kawan dan lawan.
Maka gue rasa pantas bila hari ini kita semua harus kembali
mempertanyakan, benarkan apa yang terlihat di jejaring sosial selama ini adalah
fakta, realita, atau jangan-jangan hanya fana digital semata?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar